Zat-zat anastesi itu berhasil menumpulkan ujung-ujung saraf Lionel, menghindarkannya dari rasa sakit yang terlalu menyiksa. Sampai pada satu titik, Lionel hampir memilih untuk tenggelam dalam tidur selamanya saja, karena tak ada hal baik yang menyapanya saat terjaga. Napasnya masih dibantu mesin, selang yang memasuki tenggorokannya memicu gatal-gatal di waktu tertentu, tungkai-tungkainya masih tidak bisa digerakkan dan sensasi tusukan jarum acapkali menuruni tubuhnya tanpa aba-aba.
"Assalamu'alaikum, Lionel!"
Sapa bernada ceria itu mungkin satu-satunya sauh yang menahannya di bumi ini. Lionel tahu Adara terpaksa tersenyum cerah di hadapannya, dan Lionel justru menghargai usaha sebesar itu.
"Ini buat kamu," ujar Adara sembari mengarahkan jemari Lionel menyentuh sebuah sweater warna biru yang terlihat sangat nyaman.
"Ini bener buat aku, Ra?"
"Beneran. Ini bikinan aku sendiri, lho. Nggak bentar bikinnya, dari semester kemarin."
"Dari semester kemarin? Kenapa kamu seniat ini bikinin sesuatu buat aku?"
"Kamu udah bantu aku banyak banget, Yo. Aku berencana ngasih sweater ini sebagai tanda terima kasih. Sebagai hadiah ulang tahun kamu bulan Maret besok. Sekarang, anggap sweater ini sebagai tanda aku masih nunggu kamu untuk sembuh, oke?"
She would wait for me. Lega membasuh batin Lionel. Lionel tidak bisa memungkiri, ia ketakutan orang-orang di sekitarnya telah melanjutkan kehidupan mereka, sementara ia terbaring lemah di atas kasur di sebuah rumah sakit tanpa bisa melakukan apa-apa. She would wait for me. Keyakinan itu memberi asa untuk Lionel, bahwa seonggok tulang berbalut daging seperti dirinya masih berharga untuk seseorang.
"Makasih. Makasih banyak, Adara."
"Terima kasih kembali, Lionel."
Lionel sangka, sweater itu adalah penutup yang manis untuk kunjungan sore hari Adara. Ternyata, masih ada sebuah benda lain yang Adara pamerkan ke Lionel. Benda itu memicu keran di otak Lionel terbuka dan mengalirkan potongan-potongan memori ke dalam benaknya. Ia mengerjapkan mata berkali-kali karena tak percaya.
"Mungkin kamu bingung, kenapa aku kasih lihat kamu buku tulis yang udah lawas banget kayak gini. Hehe. Sebenernya ... ini buku yang penting banget buat aku, Lio. Duluuu banget, waktu aku SD, aku susah dapet temen. Saat itu, aku bisa sekolah di tempat yang bagus dan mahal, tapi aku ngerasa ... bukan tempat aku di sana. Temen-temen aku terus-terusan pamerin barang-barang bagus yang mereka dapet dari luar negeri. Aku nggak pernah punya apa-apa.
Sampai akhirnya, aku ngadu ke Bapak. Bapakku itu ... spesial, Lio. Pas aku sekitar umur tiga tahun, Bapak kecelakaan. Kalau ngelihat badannya dari luar dia kelihatan nggak banyak terluka, tapi kepalanya kebentur cukup keras dan semenjak itu, dia mulai nunjukin tingkah laku kayak anak kecil lagi. Meskipun begitu, dia sayang banget sama aku, Lio. Sayaaaang banget. Aku bisa rasain sayangnya dari hal-hal kecil yang dia lakuin. Justru kataku, ya, itu bentuk sayang paling murni yang bisa terpikirkan oleh seseorang yang kapasistas inteligensinya menurun karena keadaan medis.
Nah, suatu hari, Bapak bawain buku ini ke aku. Bapak nemu bukunya dari rongsokan yang dia ambil di suatu rumah gede, katanya. Bapak emang suka kerja macem-macem kayak gitu. Bapak bilang, gambarnya bagus-bagus. Pas aku lihat, ternyata ini komik yang ditulis tangan gitu, Yo!"
Adara menunjukkan lembar demi lembar buku itu, sembari merapalkan cerita singkat tentang tiga bersaudara bernama Yuzhua, Ashuzu, Zushara, yang mengemban misi dari para dewa untuk menyelamatkan dunia.
"Sayang, ya, gambarnya bagus, ceritanya bagus, tapi belum selesai. Aku ulang-ulang terus bacanya, Yo, sambil berimajinasi Zushara kira-kira dapat kekuatan apa, ya?" Adara terkekeh geli. "Gara-gara buku ini, Yo, aku bisa menerima bahwa hal-hal terbaik di dunia ini nggak mesti sesuatu yang mahal dan dibeli di luar negeri. Buku ini bikin aku percaya diri lagi ke sekolah. Temen-temen aku bisa aja beli komik Marvel yang Bahasa Inggris, tapi aku punya komik yang cuma ada satu-satunya di dunia ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Teen FictionAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...