Meletakkan sepiring masakan daging kijang di seberang mejanya, Benedict kemudian tersenyum. Lalu menikmati makanan miliknya. Tumis daging rusa dengan potongan paprika.
"Kali ini aku yang memasak, lho... jarang, kan?" Ucapnya yang kemudian menikmati makanannya dengan senyuman.
"Bulan ini pasukan hanya bisa mendapatkan dua rusa dan satu kijang... Jadi aku buru-buru merebut satu potong untukmu... Haha."
"Kau tau? Ikan di sungai juga semakin menipis. Buah-buahan juga tidak selebat tahun lalu."
"Rambutku dan Hunus sudah berhenti rontok... Tapi Hunus hampir botak. Sudah ada pitak di belakang kepalanya. Lucu sekali!"
"Biasanya... kesatria putih tidak akan menunggu berita kehamilan penduduk sampai selama ini, kan? Kenapa, ya? Apalagi sampai sekarang masih belum ada kabar lagi."
"Ah... Desa aman... Satu bulan terakhir... Sama sekali tak ada musuh yang mendekat ke hutan. Tapi..." Benedict menghela nafasnya. Memandang kembali udara di hadapannya.
Hanya kursi kosong yang kini berhadapan dengan dirinya. Tak ada gadis yang ia ajak bicara. Hanya bayangannya saja. Senyuman yang ia pasang perlahan meluntur dan kemudian hilang. Seiring dengan kesadarannya bahwa gadis yang ia bayangkan tak ada di hadapannya.
"Aku pikir pasukan benar-benar melemah. Ingat, kan? Kau selalu mengomel sepanjang hari pada kami... Setiap hari mengingatkan kami untuk melakukan sesuatu dengan benar meskipun hanya sebatas mandi tepat waktu."
"Saat kau pergi... Itu semua tak ada. Dan mereka saat ini harus dipaksa mandiri." Ia tertawa kecil. Mengingat betapa bodohnya dia saat berbicara sendiri seperti ini.
"Hampir dua Minggu ini aku tidur di rumahmu... Ya... Beberapa kali, ada yang datang meminta obat. Dan semakin kesini... Obat yang kau siapkan semakin menipis." Benedict menoleh. Memperhatikan deretan toples berisi tanaman herbal yang ada di sampingnya.
Ia kemudian menghela nafas. Menunduk. Memperhatikan tumis daging yang ia makan. Lalu tertawa keras. Bukan tawa kebahagiaan. Melainkan tawa seseorang yang tengah putus asa.
Benedict hampir kehilangan akalnya saat mendengar berita Luna menghilang di malam patroli bulan lalu. Ia bahkan langsung mengecek sendiri kebenarannya. Menunggangi kudanya dengan cepat mencari Luna di rumahnya, kemudian beralih ke daerah-daerah gadis itu memanen obatnya. Namun hanya nihil yang ia dapatkan.
Penduduk kota juga tak tau dimana dia ketika tiba saatnya mereka kembali ke kota. Pasien yang mengantri di depan bangunan tempatnya praktik pun juga harus dibubarkan karenanya.
Walaupun begitu, pundi-pundi Trias masuk semakin deras ke kantor bendahara desa.
Pasukan tak diizinkan mencarinya secara khusus karena dikhawatirkan keberadaan mereka ketahuan dan membahayakan penduduk desa.
Selepas gadis itu pergi rasanya seperti, segala hal dimudahkan begitu saja.
Tapi tak ada yang merasa menyenangkan.
Ia bangkit dari duduknya. Mendekati rak obat-obatan yang berdiri tegak di depan wajahnya. Di setiap toples yang berisi tanaman herbal itu, ditulisi dengan tinta khusus permanen yang menunjukkan fungsi dan juga dosisnya. Lalu ada juga keterangan yang tertempel yang menjelaskan dimana obat itu didapatkan, dan bagaimana harus diolah agar nantinya bisa dikonsumsi sebagai obat.
Seolah-olah Luna sudah benar-benar mempersiapkan kepergiannya hari itu.
"Jangan bercanda!" Benedict meraih toples yang berada tepat di depan wajahnya. Ingin sekali ia membanting segalanya. Menghancurkan obat-obatan yang sudah susah payah Luna kumpulkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Empress | CIX
FanfictionCover image : @all_need_is (twt) Ada satu suku di negeri Ecestarias dimana tak ada satu orangpun yang buruk rupa di antara mereka. Terkenal dengan kulit putih pucat kemerahan dan juga rambut pirangnya. Semakin terang warna rambut dan semakin cerah k...