Bab Tujuh Belas-Hari Pernikahan Steven dan Cindy

8 2 0
                                    

Aku tertegun menatap bos yang mengenakan jas body fit dengan tenang mengemudikan Lexus-nya. Bos terlihat sangat tampan pagi ini sampai aku hampir menyuruh Fanny yang ikut bersama kami memukul kepalaku agar aku tersadar. Di jok belakang, Fanny membaca buku tanpa mengangkat kepalanya sedetik pun.

"Fanny, kita bukan mau ke kampus. Kakak sakit kepala lihat kamu baca buku terus dari tadi," ujarku.

"Wah. Pasti Kakak waktu kuliah dulu nggak pernah mau baca buku pelajaran, ya. Ini untuk persiapan ujian," serunya tanpa mengangkat kepala.

Aku malas berkomentar. Mengingat masa itu sama saja aku menarik diriku ke dalam bayang-bayang antara aku, Steven dan Cindy.

Sambutan hangat dari Kevin yang ternyata sudah menunggu kami. Ketika kami akan masuk, adiknya Steven, Stevany berlari kecil menyambut, dia memelukku sekilas sebelum menanyakan kabarku. Aku mengamatinya dari ujung kaki sampai ujung kepala, gaun yang kami kenakan sama. Tidak perlu ditanya siapa yang membuatnya.

Aku hampir mundur saat melihat Tante Liana duduk di barisan kursi paling depan. Stevany menggamit tanganku dan berkata, "Tenang Kak. Mama nggak akan marah-marah lagi sama Kakak. Jangan takut. Stevany janji."

Aku tahu maksud baiknya mengatakan itu untuk menenangkanku, tapi bagaimana aku bisa duduk tenang sementara wanita itu ada di kursi depanku. Karena bujukan Kevin dan Stevany, akhirnya aku bersedia duduk dengan bos dan Fanny menghampitku dan hanya bisa tersenyum kaku saat Tante Liana sekilas melirikku yang duduk di kursi baris kedua, tepat di belakang kursinya.

"Kau tidak ingin bertemu dulu dengan Steven atau Cindy?" tanya bos sambil menunjukkan jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Masih ada waktu sedikit lagi."

Aku menggeleng. Akan sangat menyakitkan hati jika aku melakukannya, lebih baik aku duduk diam di sini. Aku meminta ponselku yang dititipkan pada bos dan langsung memeriksa pesan masuk. Kosong. Mei maupun Jun tidak memberi kabar. Sepanjang mata memandang, tidak ada tanda-tanda kehadiran mereka, bahkan juga Evriana.

Aku memberanikan diri untuk memanggil Stevany yang duduk di sebelah Tante Liana. "Stevany... Mei, Evriana dan Jun udah datang atau mereka sedang bersama Cindy? Randy juga datang?"

Stevany menoleh. "Dari tadi aku nggak lihat mereka. Mungkin nggak datang. Kalo Kak Evriana agak terlambat katanya. Bang Randy nggak bisa datang. "

"Janji adalah janji."

Aku langsung membalikkan badan dan mendapati Mei dan Chris duduk tepat di belakang kami. Disusul Jun yang berlari dan duduk di sebelah Fanny.

"Sebenernya aku malas, tapi si Mei yang paksa," kata Jun kesal, wajahnya terus cemberut sampai Fanny memasang mimik takut.

Tanpa sadar aku menghela napas lega. Syukurlah Jun dan Mei datang. Tidak terbayangkan betapa sedihnya Cindy saat tahu hanya aku yang hadir. Aku tidak ingin persahabatan kami hancur hanya karena aku. Kalau saja aku tidak kembali ke Medan, kalau saja... Ah, aku mengakatan itu lagi.

"Bukannya ini sudah waktunya," seru bos. Dia menatap kami satu persatu dengan tatapan bertanya.

"Kok kayaknya ada yang nggak beres, ya." Mei menunjuk ke arah depan.

Stevany, Mama, dan papanya mulai kasak-kusuk di tempat duduk mereka. Sementara di barisan kursi paling depan seberang kami, mamanya Cindy dan Kevin saling berbisik dengan wajah panik yang berusaha mereka tutupi. Aku hampir melompat saat ponselku berdering.

"Kak, tolong ikuti Kevin." Suara di ujung sana sebelum aku mengatakan 'halo'.

Refleks aku berdiri ketika Kevin berjalan menuju pintu. Aku mengikutinya setelah meyakinkan bos, Jun dan Mei tidak perlu mengkhawatirkan aku pergi keluar sebentar. Kevin membawaku ke salah satu ruangan, ketika melangkahkan kaki ke dalam perasaanku mendadak tidak enak. Di sudut ruangan Cindy duduk sendirian dengan tangan yang saling meremas dan kepalanya menunduk.

Double STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang