Satu

1.3K 69 6
                                    

"Nis, kamu jadi hadir ke acara seminarnya?" tanya Bunda yang sedang sibuk membuat kue pesanannya.

"Jadi, Bunda ...! nanti Anisa minta antar bang Fahri boleh yah, Bun?" tanyaku seraya memeluk Bunda dari arah belakang.

"Tanyakan itu langsung pada abang kamu, Nis. Lagian bang Fahri itu sekarang bukan hanya milik kamu seorang, dia juga udah milik kak Khadijah," ucap Bunda tanpa menoleh ke arahku.

"Pasti boleh kok sama ka Khadijah. Lagian ka Khadijah kan baik," kataku yang langsung melepaskan pelukan.

Bunda memutar tubuhnya dan menoleh ke arahku, lalu setelahnya menggenggam kedua tanganku dengan tangannya . "Anak Bunda yang cantik, dengarkan Bunda. Bang Fahri itu sekarang udah punya istri. Anisa, kan udah besar, udah mau wisuda pula. Jadi berhentilah bersikap manja sama Abang kamu itu. Dan ingat, kamu itu sebentar lagi jadi tante. Masa iya mau manja terus," kata Bunda yang membuatku terdiam dan memonyongkan bibir. "Sebaiknya kamu segera menikah! Kasian juga anak laki-laki orang kalau di gantungin terus mwnerus!"

"Gak apa-apa kali, Bun. Lagian Fahri itu udah janji sama almarhum Ayah, buat selalu jagain Anisa. Sampai gadis kecil yang di hadapan Fahri ini menikah," kata Bang Fahri yang tiba-tiba hadir bersama istrinya dan mengusap lembut pangkal kepalaku yang sudah terbalut hijab.

Aku pun tersenyum merekah dan mendekat pada Kakak laki-laki ku satu-satunya. Dia lelaki yang selalu menjaga ku dari kecil sampai sekarang, yang menggantikan sosok Ayah dari kehidupanku. Karena Ayah meninggal saat umurku masih satu tahun, dan belum mengerti apa-apa. Sedangkan Bang Fahri saat itu sudah berumur sepuluh tahun.

Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Jadi nama ku Anisa Kamila Khiyari. Anak kedua dari dua bersaudara. Aku seorang mahasiswa jurusan kesenian semester akhir. Lebih tepatnya mahasiswa yang sedang menunggu wisuda.

Selain itu aku juga termasuk perempuan yang aktif dalam hal sosial, ingat sosial. Bukan media sosial yah!

Selain itu aku juga masuk ke dalam komunitas muslimah indonesia, di sana banyak sekali perempuan-perempuan hebat yang ku kenal. Di sana kami selalu mendapatkan banyak sekali pelajaran, dan motivasi hidup.

Aku wanita berjilbab, tapi tidak bercadar, karena bercadar atau tidak itu sebuah pilihan. Sedangkan memakai jilbab itu kewajiban untuk semua perempuan muslim. Wanita yang menutup aurat memang tidak selalu baik, tapi setidaknya kami berusaha menjadi muslimah yang lebih baik lagi.

Ada hal yang selalu membuat perempuan muslimah sangat sensitif, yaitu lelaki dan pernikahan. Jalan satu-satunya untuk menghidari hal Sensitif itu adalah menikah dengan cara ta'aruf. Tapi di jaman yang seperti ini rasanya sulit sekali mencari lelaki yang mau di ajak ta,aruf, karena kebanyakan lelaki itu menginginkan pacaran sebelum menikah.

Aku sendiri tidak keberatan, karena memang keluarga kami melarang keras untuk berpacaran.

Sama halnya dengan prinsip yang ku pegang, yaitu memilih untuk pacaran setelah menikah. Orang bilang pacaran setelah menikah itu rasanya nikmat, apa-apa yang kita lakukan dan kerjakan adalah ibadah.

"Tuh, kan! Abang aja bilang gak apa-apa, Bun!" jawabku.

"Iya abang kamu gak apa-apa, coba tanya Kak Khadijah nya?" ucap Bunda yang masih kekeh.

"Boleh gak, Kak?" tanyaku di jawab senyuman yang dibarengi anggukan kecil sebelum akhirnya menjawab.

"Boleh kok, Nis!" jawab Ka Khadijah.

"Tuh, bun boleh. Ya udah kalo begitu Anisa ganti baju dulu yah. Dadah ..., Bunda!" Seruku yang membuatnya meringis saat melihatnya.

Aku pun bergegas untuk bersiap-siap, dan tak lama ku dengar ada suara nada dering Maher Zain, yang tak lain berasal dari telepon genggam milik ku.

"Assalamualaikum ..., Neneng cuantik," ucap ku pada sahabat baik ku dengan nada sarkas.

"Ahhh .... Nisa mah selalu manggil begitu. Neneng juga udah tau kalau Neneng itu emang cantik."

"Orang itu jawab dulu salamnya, baru jawab yang lain, Neneng ...!" kataku menegaskan.

"Oh iya, lupa. Hehe ...! Waalaikumsalam, Anisa cantik ..., meski lebih cantikkan Neneng, sih!"

"Iya deh ..., iya tau kalau Neneng itu kecantikannya se Bogor raya. Artis aja kalah sama Neneng yah!" kataku yang dia langsung dia setujui.

Nah kalau yang ini sahabat terbaik ku. Namanya Neneng rosidah. Dia itu teman yang bisa di ajak lucu-lucuan bareng, tapi dia juga tetap bisa di ajak serius, kok. Meski terkadang suka keceplosan kalau bicara. Keceplosannya kaya apa nanti juga kalian tau sendiri.

"Yaudah Neneng telepon Anisa mau ngapain?" tanyaku langsung ke inti.

"Nis! Neneng mau ikut seminar sama kamu boleh, gak? Boleh yah ...! Boleh dong ...! Asik boleh ..., kalau begitu Neneng on the way sekarang yah ke rumah kamu. Kita naik motor Neneng aja kesananya. Dah Anisa kalau begitu, Assalamualaikum," kata Neneng yang membuat ku menggelengkan kepala saat mendengarnya.

Itulah dia, sahabat baik plus terkonyol yang aku miliki. Sering kali dia bertanya kepadaku, tapi dia tidak memberi ku kesempatan untuk menjawabnya karena sebelum aku jawab, dia sudah menjawabnya lebih dulu.

Jangan aneh, namanya juga Manusia. Karena Tuhan itu menciptakan umatnya dengan beragam karakter.

Aku yang sudah selesai berdandan pun langsung menghampiri Kakak laki-laki ku. Untuk bilang kalau aku tidak jadi minta antar padanya.

"Kenapa gak jadi?" tanya Bang Fahri.

"Mau bareng sama si Neneng!" jawabku sembari mencicipi kue buatan Bunda.

"Ikh kebiasaan main comot aja," kata Bunda yang ku jawab tawa cengengesan.

Dan tak lama dari itu ku dengan suara Klakson motor yang sudah di bunyikan. Yang tak lain adalah Neneng. Rumah kami memang tidak terlalu jauh kalau di tempuh dengan kendaraan motor palingan hanya lima sampai sepuluh menitan sudah sampai.

Neneng yang tak sabaran itu pun kembali membunyikan klaksonnya, itu membuat aku langsung berpamitan.

"Bilang sama si Neneng. Lain kali jangan kaya tukang ojek, main klakson-klakson aja. Suruh dia masuk dulu!" Seru Bang Fahri dengan nada sarkasnya.

Aku yang mengabaikan seruan dirinya memilih bergegas keluar untuk segera berangkat dengan Neneng.

Jam menunjukkan pukul satu siang, dan dua puluh menit lagi acara sudah di mulai. Sedangkan jarak tempuh yang kami lalui berkisar tiga puluh menit.

"Neng. Ngebut Neng!" Pintaku mengepuk-ngepuk pundaknya dan langsung di respon oleh Neneng.

Dengan lihai Neneng melajukan kendaraan roda duanya.

Jam sekarang sudah menunjukan pukul satu lebih delapan belas menit.

"Neng ... Buruan!"

"Bentar lagi sampe, sabar!" jawabnya yang semakin menambah kecepatan.

Tak di sangka dengan keahlian yang Neneng miliki aku dan dirinya sampai tepat waktu.

Sesampainya di gedung kami langsung mencari tempat duduk yang kosong, dan semua bangku belakang ternyata sudah penuh. Terkecuali di barisan paling depan, aku melihat ada empat bangku kosong yang belum berpenghuni. Tidak ada pilihan lain, aku dan Neneng bergegas duduk di bangku tersebut.

"Yakin gak ada yang duduk di sini?" tanya Neneng saat mau duduk.

"Harusnya sih gak ada. Soalnya setau ku yang datang ke sini itu harus isi daftar hadir dulu sebelumnya," jawabku tak yakin.

"Terus aku?" tanya Neneng.

"Kamu udah daftar bareng aku, cuma kamu aja labil bentar bilang datang bentar engga," jawabku.

"Mba, tolong jangan berisik, Mba. Acaranya sudah di mulai," sela seseorang perempuan yang berada tepat di belakang aku.

Aku yang merasa bersalah pun meminta maaf dan kembali fokus pada acara yang kini sedang berlangsung.

Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang