Ada satu keyakinanku yang tidak lagi kuyakini. Tentang hal yang tidak lagi sama dengan dulu, yang bagiku itu sangat menyebalkan. Tapi ternyata sesuatu yang telah berbeda itu, tidak selamanya buruk.
Perubahan membawa kita ke momentum yang berbeda.
Dan cerita-cerita yang berbeda, mungkin salah satu tanda kita hidup.
Aku harap kalian setuju denganku.
***
Semua berubah saat kita akan naik kereta yang sama beberapa bulan yang lalu. Bermula saat kita bertemu lagi secara tidak sengaja setelah tidak lama bertemu. Lelaki yang dulu populer seantero sekolah, tidak hanya karena ketampanannya, ia juga sangat pintar.
Dan lucunya, dia itu mantanku.
Kami jalan bersebelahan tanpa saling bertegur sapa. Padahal dulu, kita saling tidak bisa untuk menghentikan telefon. Dia itu pacar pertamaku. Dan sekarang dia bukan lagi orang yang kukenal.
Jeez... Jeez.. Jezz.
Suara kereta berbunyi. Kereta sudah datang. Apa akan lebih baik kalau aku lari ke stasiun?
Kudengar langkah disebelahku yang keras. Ternyata dia berlari. Kurasa dia butuh kereta itu segera. Tapi aku tidak tau jarak kami ke kereta tersebut masih terlalu jauh atau tidak untuk dikejar. Dan aku juga belum tau, apa kereta itu jurusanku atau bukan. Jadi aku memilih untuk tetap berjalan.
Kulihat dia berlari menjauh lalu menghilang ke dalam stasiun.
*
Seperti dugaan, kereta itu sudah pergi.
Aku celingak celinguk untuk mencari tempat duduk terdekat. Lalu kulihat, Dia, juga duduk disana. Berkeringat sambil meminum sebotol air.
Jadi begitu. Meskipun aku tadi berlari, kereta itu tidak akan terkejar. Aku sudah membuat keputusan benar untuk tidak berlari.
"Kenapa tadi lo ga lari?" Tanyanya setelah aku duduk.
Di bangku panjang ini hanya ada kami berdua. Kurasa dia bicara padaku.
"Gue gatau kereta itu bisa kekejar atau engga" Jawabku jujur.
"Ya tapi bisa aja, kalau lo lari".
"Tapi ga kekejar kan?".
"Ya, itu karena lo ga lari".
Lalu dia melempar botol minumnya ke tempat sampah didepan kami.
*
Lima belas menit, dan kereta jurusanku belum kunjung tiba.
Aku ingin terlihat sibuk dengan handphoneku tapi itu hal mustahil. Handphoneku tertinggal dirumah. Akhirnya aku hanya duduk diam sambil mengamati orang orang yang datang silih berganti.
"Lo tau, sebenernya lo bisa naik kereta itu tadi. Asalkan lo lari" Kata dia tiba-tiba.
"Lo tadi lari tapi keretanya ga kekejarkan?".
"Tadi itu gue nunggu lo" Jawabnya.Lalu dia buang muka.
Loh?
*
Beberapa menit lagi kereta akan datang.
Kami masih terjebak kesibukan masing-masing. Meskipun sebenarnya aku masih diam liat-liat orang aja sih. Tapi kami masih tetap di posisi masing-masing.
"Kenapa lo keliatan kesel gitu kalo gue ga lari?" Tanyaku penasaran.
"Karena lo masih sama aja kayak dulu".
"Maksud lo?" Tanyaku makin penasaran.
"Ya lo ga berubah. Lo ga pernah bener-bener berjuang buat dapet sesuatu".
Lah?
*
Kereta pun datang.
Aku dan dia sama-sama masuk ke dalam kereta yang sama. Kereta tidak sesak seperti kereta di pagi hari, tapi bukan berarti kereta ini sepi. Aku duduk di salah satu kursi, dan dia duduk disebelahku.
"Kenapa lo masih tetap nunggu gue, padahal lo belum tau kereta jurusan gue kemana" Tanyaku sekali lagi karena penasaran.
"Gue tau, makanya gue nunggu".
"Lo ga tau. Lo kan ga pernah nanya".
"Gue tau, gue bakal nyesel kalau ga nunggu lo".
Aku tersenyum mendengarnya.
*
Selama perjalanan kami kembali diam.
Sebentar lagi tempatku turun. Aku masih tidak tau, di mana dia akan turun nanti. Apakah aku harus mengucapkan sesuatu?
"Gue ... minggu depan nikah. Gue berharap lo dateng" Kata dia tiba-tiba.
Nikah?
"Asal lo tau, gue gak pernah lupa rasanya pacaran sama lo. Lo pacar pertama gue. Pas kita putus, gue benar-benar kacau" Katanya lagi.
Kini dia tersenyum sambil menatapku. "Tapi berkat lo, gue jadi tau kalau hidup itu harus terus berlanjut. Selebihnya, kita sendiri yang harus memperjuangkan apa yang kita mau. Iya kan?".
Aku mengangguk, dan tersenyum.
"Gue harap lo bisa nemuin orang yang ingin lo perjuangkan" Katanya. Dia mengusap rambutku sebelum dia turun tepat satu stasiun sebelum tempatku sampai.
Dari jendela aku bisa melihatnya melambaikan tangan padaku. Akupun melambaikan tangan padanya
Secepat dia pergi dari pandanganku. Secepat kereta ini berjalan. Secepat itu juga aku meneteskan air mata. Melihat cinta pertamaku kini sudah benar-benar selesai.
***
Sekali lagi percakapan singkat itu terlintas di ingatanku.
Mungkin Reza ada benarnya. Hubungan kami pernah tidak berhasil, mungkin karena kami tidak memperjuangkannya.
Kini Reza telah bertemu teman hidupnya, karena ia berjuang untuk melanjutkan hidupnya.
Aku juga harus berubah.
Sekarang giliranku untuk mengubah nasibku.
Jeez.. Jezz.. Jezzz
Bunyi kereta terdengar lagi.
Tanpa berpikir panjang, aku berlari secepat mungkin ke dalam stasiun. Meskipun bisa saja keretanya bukan jurusanku, meskipun bisa saja aku tetap terlambat aku akan tetap berlari
Kereta warna hitam, jurusan Jakarta. Ah, aku melihatnya. Itu keretaku, aku kembali berlari karena sebentar lagi pintunya akan ditutup
"Pegang tangan gue!" Seseorang menarik tanganku tiba-tiba, dia berlari juga
Kami terus berhenti meskipun kami melihat kereta sudah mulai bergerak. Kami berlari. Berlari. Hingga dia melompat masuk ke dalam kereta
Sekejap tubuhku ditarik olehnya, dan aku berhasil masuk kereta. Aku berhasil. Kita berhasil.
"Lo ga apa-apa, kan?" Tanyanya
Seseorang laki-laki berkacamata yang sangat manis bertanya kepadaku. Aku mengangguk.
"Nama gue Erza" Katanya
Hidup harus tetap berlanjut. Selebihnya kita yang harus berjuang, iya kan? Kurasa setelah berjuang, semuanya akan jadi cerita baru.
"Cindy" Kataku sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On [One Shoot]
Short StorySelebihnya, kita yang harus memperjuangkan apa yang kita mau. Iya kan?