Itu harusnya beberapa Minggu sebelum perjalanan pertama Survey Corps ke daratan utama seperti yang direncanakan Kiyomi Azumabito. Saat kejadian buruk menimpa Mikasa.
Kuncir kuda Mikasa tersangkut di peralatannya dan tidak bisa dilepas, bahkan Levi sampai cemas. Mereka harus memotong helaian hitam yang dia rawat selama tiga tahun itu menjadi sangat pendek. Harusnya tidak seberapa, tetapi setelah dirapikan panjangnya hanya sampai batas tumbuh. Lebih pendek dari saat masa-masa pelatihan mereka.
Mikasa sama sekali tidak protes ketika mereka mencukurnya. Pun ketika Sasha membantu merapikannya dia tetap diam membeku. Setelahnya, Mikasa bilang akan membersihkan diri. Gadis itu mandi lumayan lama, terlalu lama. Dan saat itulah Eren merasa tidak benar.
Ia memutuskan menunggu Mikasa di depan pintu kamarnya sampai gadis itu selesai. Eren dengan sabar tetap duduk di sana dari siang hingga hampir sore—dua jam lebih. Ia langsung bereaksi ketika Mikasa keluar kamar dengan rambut yang sudah kering total.
"Eren?" Ia memanggilnya. "Kau sedang apa?"
"Menunggumu."
"Huh?"
"Kau mandi lama sekali sampai melewatkan makan siang. Sasha menghabiskan jatah kita, kautahu?"
"Kau juga belum makan?"
"Aku menunggumu," tegasnya sekali lagi. "Ayo cari sesuatu di luar." Eren meraih tangan Mikasa, menuntun gadis itu mengikutinya. Mereka pergi ke pasar.
Mereka berdua pada akhirnya tidak makan macam-macam—sebenarnya itu karena Mikasa. Dia hanya memakan sepotong paha ayam dengan malas, bahkan Eren tidak yakin apakah gadis itu mengunyahnya dengan baik. Apa selera makannya hilang bersama rambutnya?
"Eren, aku sudah kenyang," kata Mikasa. "Ayo pulang."
Eren menggeleng. "Tidak, aku masih ingin pergi ke suatu tempat."
"Ke mana?"
"Ikut saja." Eren lagi-lagi mengambil tangan gadis itu.
Mikasa sampai berpikir, itu selalu Eren yang memandu jalannya. Selalu dia yang mengajaknya melangkah maju. Hingga membuatnya takut, suatu hari dia maju—pergi terlalu jauh. Meninggalkannya seorang diri. Sendiri...
Mikasa menghentikan lamunannya ketika Eren juga berhenti melangkah. Mereka menatap tembok Rose bagian Distrik Trost di depannya.
"Di sini?"
"Di atas," jawab Eren. "Ayo naik."
Mereka berdua naik menggunakan katrol yang menganggur, berhubung tidak ada yang peralatan Manuver 3D. Sampai di atas tembok, di sana sepi. Sepertinya sejak titan di pulau habis, pasukan terlalu banyak bersantai. Hanya segelintir saja yang masih serius mengabdi, cukup sadar bahwa musuh mereka bukan cuma titan saja sekarang.
Angin di ketinggian lima puluh meter menyapu wajah mereka. Tangan Mikasa refleks menyentuh rambutnya. Harusnya rambutnya bisa berkibar oleh angin sekencang itu, andai saja tidak dipotong. Ia menoleh pada Eren di sampingnya.
Wajah bocah itu tenang seperti permukaan danau. Namun danau setenang apapun pasti punya kedalaman yang berbahaya, disembunyikan meminta agar tidak dijamah. Gadis itu bersuara, "Eren lebih tinggi dariku sekarang."
Yang dimaksud menoleh, tersenyum amat tipis setipis jarak tangannya dengan pipi Mikasa saat ini. Eren menempatkan ibu jari kirinya di bawah mata kanan Mikasa, mengusap luka di sana. Itu luka yang Eren berikan secara tidak sengaja tiga tahun lalu.
"Ya, kau benar." Eren masih mengusap luka Mikasa, sedangkan jemarinya yang lain menyisir rambut pendeknya. "Sekarang aku lebih tinggi darimu, aku harus menunduk agar bisa menatapmu."
Mikasa ingat mereka di sana sampai langit sore berubah merah keemasan. Hawanya semakin dingin dan keduanya mulai menggigil. Eren mengajaknya turun, dan hingga sampai di kamar Mikasa di markas, mereka tidak melepaskan tautan tangan mereka.
Dan tentu saja, seluruh penghuni jadi bertanya-tanya apa yang habis mereka berdua lakukan.
Nafsu makan Mikasa kembali lagi setelah itu.
»◇◆◇«
Abendrot (n.) : the color of the sky while the sun is setting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cafuné
FanficAn EreMika fanfiction by me to celebrate #eremikaday Cafuné (n.): Running your fingers through the hair of someone you love. You are free to read. Tetapi bagi anime only, ini (mungkin) berisi spoiler. . . . All characters belong to Isayama Hajime