Caranya Memandang dan Berbicara

142 23 4
                                    

Teresa's Pov

"Kayaknya ngunjungin banyak panti asuhan udah kayak rencana keliling dunia deh buat gue."

Ekspresi cowok sialan di samping gue ini mendadak berubah waktu kita terlibat obrolan basa-basi sambil duduk di atas kursi berumur yang kalau gue gak salah tebak, ini kursi dibikin dari kayu pinus.

Gue gak ngerespon apa-apa, karena bener-bener gak berharap dia akan ngomong lagi.

"Karena kakak gue ... dia pergi dari rumah tiga tahun yang lalu."

Sampai kalimat itu ke luar dari mulut ngeselinnya, ada tanda tanya dalam diri gue.

Dua jam lalu, gue akhirnya memutuskan untuk datengin Ivan di taman komplek sama Fanny, Rubi dan Kirana. Awalnya gue pikir dia bakal terganggu dengan keberadaan mereka, apalagi Rubi teriak-teriak histeris waktu lihat Ivan bawa Volkswagen silver yang gue yakini itu punya orangtuanya. Toh bukan Rolls-royce, kenapa juga gue harus ikutan histeris sama mobilnya. Gue pikir cowok sialan itu bakal langsung balikin kalung gue, tapi dia malah ajak gue buat pergi, dan gue pengen ngomong kasar di depan mukanya.

Anjing lo.

Kayak gitu.

Salah Rubi, karena dia mati-matian maksa gue buat ikut aja ajakan Ivan dan kita sama-sama masuk ke Volkswagen-nya. Cuman demi dapet kalung gue balik.

Di perjalanan yang gue gak tahu tujuannya, Rubi sama Kirana gak ada berhenti nanyain Ivan sampe ke hal-hal mendetail. Yang bikin gue heran, kenapa itu cowok gak risih dan terus sabar ngejawab dua curut itu yang jadi wartawan mendadak.

Gue pikir anak orang kaya hidupnya bakal jauh dari drama kehidupan sampai gue dan tiga teman gue yang lain di bawa ke depan panti asuhan dengan mobil mahalnya itu.

Di luar nalar.

Di luar perkiraan gue.

"Kakak?" Gue mengulangi karena masih gak percaya. "Kakak kandung lo?"

Ivan ngangguk di sebelah gue.

"Gue sama keluarga ngalamin banyak masalah setelah kakak gue pergi, terutama papa gue. Makanya kita cari banyak cara dan gue cuman bisa jadi anak yang bantu lewat hal kayak gini. Gue coba nge-trace balik semua tempat yang pernah gue sama dia datengin, sampai akhirnya memori gue nuntun gue ke panti asuhan."

"Awalnya ngunjungin panti cuman karena gue pernah terlibat pembicaraan sama kakak gue ... malam itu dia pernah bilang kalau suatu saat dia hilang, dia bakal datang ke panti asuhan. Menurut dia panti asuhan itu rumah bagi orang-orang yang kehilangan rumah ... in that moment i thought he was joking, sampai dia benar-benar pergi. Dan akhirnya gue sama keluarga jadi kebiasaan mendatangi panti, awalnya untuk cari kakak, tapi sekarang memang udah jadi bagian dari kehidupan gue dan keluarga. You know, I love to share something for people. Gue bahagia bisa bantu manusia."

Gue bungkam denger penjelasan Ivan. Terus gue pandang halaman belakang panti yang diisi sama anak-anak lagi main sepak bola. Di sisi lain gue lihat ada Kirana lagi ngepangin anak perempuan yang punya autisme. Terus gue lihat Rubi asik nanya-nanya Bu Lastri selaku pemilik panti asuhan ini sambil sesekali dia bikin story instagram. Fanny akan selalu jadi Fanny, dia cuman mandangin pohon tua di sudut halaman dan ngelamun sendirian.

Terus mata gue balik natap Ivan yang bawa gue sampai ke panti asuhan ini.

"Kenapa lo ceritain ini sama gue?" Gue gak bisa merespon dengan saran dan segala macam masukkan tanpa tahu maksud dia cerita ke gue itu apa.

"Karena waktu gue lihat lo, yang gue mau cuman berbagi."

Kalimat itu bikin gue makin heran. Sialan.

"Berbagi gimana?" Gue bertanya.

If We Didn't MeetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang