Dua

653 53 15
                                    

"Ukhti Anisa kamila Khiyari. Mau kah engkau menerima khitbah ku?" ucap seorang motifator yang saat itu menjadi bintang tamu di acara tempat aku berada sekarang ini.

Dalam sekejap suara bergemuruh riuh di ruangan persegi itu. Mereka saling bertanya satu sama lain akan sosok wanita yang di maksud.

Begitu pun Aku yang ikut terdiam dan bertanya-tanya akan sosok wanita yang beliau maksudkan.

"Anisa kamila Khiyari mana yang dia maksud? Apa maksudnya itu aku," batinku yang memilih untuk menurunkan pandangan untuk berpikir.

Apa di tempat ini ada yang punya nama itu selain aku.

"Nis! Bukannya itu nama lengkap kamu, yah? Apa mungkin yang dia maksud itu kamu?" tanya Neneng yang membuatku menggelengkan kepala karena memang tidak tau.

"Kamu kenal dia?" Bisiknya yang membuatku kembali menggelengkan kepala.

Bukan hanya aku yang bingung saat itu, melainkan seluruh orang yang berada di dalam ruangan ikut bingung saat lelaki tersebut menyebut nama lengkap yang seratus persen sama dengan ku, di tambah dirinya malah menatap ke arahku dan membuat ku langsung membuang arah.

"Anisa Mana yang Kakak maksud? Soalnya teman saya juga Anisa, Kak" tanya Neneng dengan suara lantangnya sontak membuatku malu akan apa yang telah dia pertanyaanya.

Neneng ...! Kenapa malah nanya begitu sih. Bikin aku malu aja.

Aku menggumam kesal. Kenapa bisa dirinya bertanya seceroboh itu, yang jelas-jelas wanita yang dia maksud itu pasti bukanlah aku.

"Anisa yang tepat berada di samping kamu, wanita berjilbab moca dan baju dress hitam," tegasnya yang membuat aku tercengang saat mendengarnya. Begitu juga dengan Neneng dan orang-orang di sekitar yang ikut hadir dalam ruangan ini ikut tercengang. Sontak saja mereka semua langsung menatap ke arahku, dalam tatapan yang sulit di artikan.

Aku yang merasa malu memilih menutup wajahku dengan buku yang ku pegang sedari tadi.

Dalam diam aku bertanya-tanya dengan apa yang telah dilakukan sosok lelaki tersebut.

Bagimana bisa dia mengkhitbah ku dengan cara seperti ini? Dan bagaimana bisa dia memanggil nama lengkap ku dengan sempurna. Yang jelas aku sendiri saja tidak mengenal siapa dirinya.

"Nis, bilang ini cuma mimpi. Rasanya kenapa jadi aku yang pengen pingsan," kata Neneng yang langsung berpura-pura pingsan dan menyandarkan kepalanya ke bahuku.

Yang harusnya pingsan itu aku, bukan kamu, Nenk!

Akupun menggoyangkan bahu Neneng agar dia berhenti berakting. Sampai akhirnya lelaki itu turun dari panggung dan berjalan ke arah tempat duduk ku.

Jantungku berdegub cepat saat lelaki itu semakin mendekat dan lebih mendekat.
Aku yang merasa begitu bingung dan malu memilih kembali menurunkan pandangan sambil menyubit-nyubit kecil pinggang Neneng agar dia merubah posisi duduknya.

Yang membuatku semakin terkejut saat lelaki itu menekuk lututnya tepat di hadapanku dengan pandangan menatap ke arahku. "Ukhti Anisa kamila Khiyari. Mau kah engkau menerima khitbah ku?"

DEG

Jantungku seakan berhenti memompa, begitu juga dengan aliran darahku yang seakan terhenti saat dirinya kembali mengucapkan ajakan Ta'aruf dengan begitu jelas.

Neneng yang menyadari kehadirannya langsung membangunkan kembali sandarannya dan menatap ke arah lelaki tersebut. "Jadi ini beneran mau mengkhitbah, Anisa?" tanya Neneng yang dia angguki.

"Ya Tuhan ...! Ujian apa ini. Kenapa dia ngelamar begitu swett," ucapnya asal dan membuatku langsung mencubit dirinya kencang.

"Aw! Sakiiit ..., Nis," katanya menggertakan gigi.

"Ini apaan, sih! Maaf kita itu gak saling kenal," kataku dengan begitu tegas dan langsung beranjak. Neneng yang ikut bingung akhirnya memilih mengikuti langkahku.

Aku yang tidak tau harus berbuat apa memilih untuk beranjak ke luar, mungkin orang-orang menganggap ku aneh telah menyia-nyiakan lelaki seperti Ka Irham.

Lelaki tampan, dan mapan. Dia yang tak lain adalah seorang pengusaha muda yang sukses di bidang kuliner yang memang pernah beberapa kali menjadi bintang tamu di acara seminar yang sering aku hadiri.

Sering kali dia menjadi sorotan kaum hawa, karena sikapnya yang ramah, baik, dan asik. Itu jelas membuat para peserta seminar nyaman.

"Nis! Dia ngejar kita deh kayaknya," kata Neneng yang membuatku terkejut dan langsung menoleh ke arah belakang.

Tepat di arah jarum jam dua belas lelaki yang tadi mengutarakan niatnya sudah ada di hadapanku.

"Kakak mau ngapain sih! Maksudnya apa voba ngikutin kami," kata ku mencoba menghentikan langkahnya.
"Tadi juga maksudnga apa coba bicara itu di depan banyak orang. Kakak sengaja bikin aku malu di depan mereka orang, kan?" Sambungku yang membuat dia terdiam dan sedikit menurunkan pandangannya.

Entah dia sedang merasa malu atau bersalah yang jelas aku sudah mengungkapkan kekesalan yang terjadi tadi di dalam.

"Coba kalo udah kaya gini, siapa yang malu. Aku, Kak!" seru ku yang malah mengeluarkan sedikit butiran bening.

"Maaf. Sekali lagi Maaf. Aku tidak bermaksud untuk itu." ucap Kak Irham seperti penuh penyesalan. "Tapi apa yang tadi aku ucapkan itu serius, kalau aku sungguh ingin mengkhitbah, Anisa."

Sebuah pernyataan yang membuat aku kembali terdiam dan tak berani menatapnya.

"Ya Allah, Nis. Dia beneran mau Khitbah kamu," kata Neneng yang kembali menampakan wajah kagetnya.

Kamu bener Neng, Kak Irham kembali menegaskan ucapannya, aku jauh lebih terkejut dari kamu saat mendengarnya. Tapi apakah aku harus percaya dengan apa yang dia ucapkan? Rasanya tidak mungkin aku percaya begitu saja.

"Maaf, Kak. Tapi sayangnya aku tidak percaya dengan apa yang Kakak ucapkan. Kita itu tidak saling kenal," tegasku. "Ayo, Neng!" ajakku menarik pergelangan tangan Neneng untuk bergegas pergi.

"Anisa!"panggilnya yang membuat aku dan Neneng menghentikan langkah kami tanpa mau menoleh ke arahnya.

"Tapi aku sudah lama mengenalmu, sejak satu tahun yang lalu," kata Kak Irham yang membuat aku tertegun.

Satu tahun? Selama itu. Bagaimana bisa dia mengenal diriku dengan waktu yang tidak bisa di bilang sebentar. Sedangkan seingatku saja baru melihat dia 2 bulan yang lalu, itu berarti baru dua kali pertemuan.

"Aku harus berbuat apa agar Anisa bisa mempercai apa yang aku ucapkan?"

"Buktikan apa yang telah di ucapkan barusan. Temui ibu dan Kakak ku," kataku yang masih enggan menoleh ke arahnya.

"Gila. Kamu serius, Nis apa yang di ucapin barusan?" tanya Neneng tidak pervaya.

"Entahlah," jawabku tak yakin.

Kalau memang apa yang dia ucapkan itu memang benar adanya, aku yakin tantangan ku bukan masalah besar untuk untuknya.

Untuk sesaat ucapan ku mampu membuat Mas Irham terdiam, sampai akhirnya dia menjawab. "Insya Allah. Semoga Allah mempermudah urusanku," jawabnya yang membuatku terdiam lalu mengajak Memeng pergi meninggalkan dirinya yang masih berdiri tepat di belakang kami.

Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang