10. 🥞

23.2K 3.5K 487
                                    

Seminggu berlalu, setelah sholat  istikhoroh, dan ngobrol dengan Sonia, Mama, dan Mas Kriss via telepon, pikiranku sudah lebih cerah. Weekend ini, sengaja nebeng Bara ketika pulang ke rumah Batu. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan. Namun, sepanjang perjalanan, rasanya canggung. Aku bingung mulai dari mana? 

"Kalau ngantuk tidur aja Kay, jam segini pasti macet." Bara melirik jam digital di mobilnya. Nggak, aku takut nanti tiba-tiba mimpi ciuman lagi. Otak bawah sadarku cepat sekali merespon sesuatu kalau berhubungan dengan dia. "Kalau nggak nutut, nanti kita buka puasa dijalan aja ya?" 

"Iya." aku manut, nanti kalau banyak omong, bisa-bisa ditendang sama dia di tengah jalan. Bara tersenyum, tadi kami pulang dulu ke kosan, dan langsung berangkat setelah mengambil baju ganti. Tentu saja kepergian kami diiringi suit-suitan Izzah dan senyuman manis dari Ibu Kos.

"Kita balik minggu malam setelah tarawih aja ya Bar, biar bisa buka bareng dengan keluarga di rumah," pintaku, membuka obrolan setelah beberapa saat hening, lagi pengen berlama-lama di rumah memang. 

"Setuju, jalanan juga lebih lenggang, kalau sore gini banyak pasar kaget, banyak juga yang mau ngabuburit dan bukber." 

Aku tersenyum, jantungku gedombrengan lagi, duh tenang dong Kayla Pramudya, Bara aja tenang masa iya kamu salah tingkah. 

"Bar, aku udah ada jawaban," kataku pelan, to the point.

"Ohya? Satu minggu beneran cukup?" tanyanya tak percaya. Kami masih memakai pakaian kerja kami, Bara sendiri sudah melepas dasinya sejak tadi, membuka kancing atas dan melipat kemejanya hingga siku. 

"Cukup Bar, aku udah mempertimbangkan dengan matang."

Bara diam, sengaja menungguku selesai bicara kayaknya. 

"Aku mau nikah sama kamu, tapi ada banyak yang pengen kubicarakan." 

"Serius, kamu mau?" tanyanya lagi tak percaya, aku hanya mengangguk, benar kata Sonia, sejujurnya, dalam hatiku yang paling dalam, masih ada sedikit  ruang untuk namanya. Aku masih mengingat semua kebiasaannya, dan segala kenangan yang kami punya.

"Iya, tapi ada banyak syaratnya, aku pengen ngobrol soal itu." 

"Alhamdulillah," ucapnya pelan. 

"Kok Alhamdulillah? Kan masih ada syarat yang harus kamu iyakan, emang sanggup dengan syaratku?kalau nggak sanggup, gak jadi Bar." 

"Yang penting kamu mau dulu, soal syarat, asal gak bikin seribu candi insya Allah aku bisa." 

Hih, dasar duda jablai, pinter ngrayu.

"Mau ngomong sambil jalan atau mampir rumah makan nanti?" tanyanya. 

"Dua-duanya aja, kayaknya bakal panjang deh." 

Bara tertawa kecil, "Oke, silahkan dimulai tuan putri, mau ngomong apa?" 

Apa-apaan sih, tuan putri segala, emangnya aku putri tidur?? Tapi, jujur pipiku rasanya hangat. Dasar, apa karena kelamaan jomblo ya? Di panggil begitu aja udah kebaperan.

"Soal masa lalumu, mantan istrimu nggak bakalan datang lagi kan?"

Bara terdiam, dia mengedikkan bahunya, perasaanku jadi gak enak. 

"Aku nggak tahu Kay, waktu itu, yang menggugat cerai memang aku, tapi kesalahannya nggak bisa ditolerir." 

Aku tahu, Sonia sudah pernah cerita soal itu. Kesalahan mantan Istrinya memang fatal. 

"Maaf ya, aku gak bisa cerita kesalahannya apa, itu aib kami." 

"Nggak papa, lagipula aku juga sudah tahu." 

serendipity (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang