Di Ruangan Itu...

53 3 0
                                    

"sinar rembulan itu telah menampakkan kejadian sesungguhnya..."

Februari 2015

Di suatu tempat yang takkan pernah satu makhluk pun bakal di pijaki,tepat pada malam di mana saat itu sang rembulan menunjukkan keindahan dari bulatan cahaya yang langsung dari sang merah jingga. Iris ungu gelap itu tak henti-hentinya mengeluarkan air jernih yang terus mengalir tepat di lengkungan pipinya yang mulus. Kulitnya yang putih dan cerah bak cahaya rembulan membuatnya seperti tampak seorang dewi yang sedang turun dari langit untuk memenuhi rasa hiburnya.

Langkah demi langkah terus menyusuri lorong gelap yang sepertinya akan terhenti pada seribu ruangan yang siap menyambut kedatangan tamu sesuai dengan keingininan hati tamunya. Lantai kayu yang kini mulai retak dan bahkan tak menyatu lagi seperti dulu menimbulkan suara deritan setiap kali kaki terus menekannya. Kulit tembok sudah mulai mengelupas dan menampilkan bagian terdalam dari tembok bak seperti daging manusia yang terlihat akibat epidermisnya terkelupas. Tangan mungil nan putih itu tak henti-henti mengelus dinding bebatuan dengan sekujur tubuh yang sudah gemetar. Bibirnya pucat dan matanya mulai memerah entah seberapa sekian dirinya tak henti-henti terisak saat iris ungu gelap itu melihat kejadian pahit yang merupakan mimpi buruk baginya. Cahaya rembulan itu memberitahunya bahwa ini bukanlah mimpi buruk belaka. Secercah cahaya rembulan menunjukkan telah terjadi hal yang tak di inginkan dari si iris ungu gelap.

Atap rumah yang merupakan pelindung dari panasnya cahaya matahari dan basahnya terkena air hujan kini sudah menunjukkan kerusakan. Kerusakan yang sebetulnya bisa di perbaiki hanya itu akan menjadi sia-sia. Angin malam terus meniup lembut rambut hitam sepunggung dari punggungnya yang kecil. Gadis itu terus berjalan tak menghiraukan tangan mungil itu berdarah akibat terkena goresan paku yang terus menancapkan ujung tajamnya untuk melukai tangan mungil dari sang gadis itu. Gadis itu terus berjalan hingga ia menemukan suatu ruang yang sangat ia rindukan.

Ruangan selebar 11x14 meter yang sudah menjadi pusat kebahagiaan bagi dirinya. Di mana ia bisa mengeluarkan kebahagiaan yang telah ia cicil terhadap orang-orang yang ia sayangi. Gadis yang selalu mendambakan kebahagiaan untuk dirinya setelah bertahun-tahun dirinya di lema kesedihan,kekecewaan,dan penganiayaan yang merusak fisik mentalnya. Ia selalu menampilkan senyuman manisnya dan selalu mengatakan bahwa dirinya masih mampu berdiri menerjang badai kehidupan yang selalu membuatnya terjatuh. Dengan tawaan bahagia dari orang tersayangnya,sejenak gadis itu melupakan rasa kesedihannya akan kejadian yang ia alami setiap hari bahkan bisa dikatakan sebagai rutinitasnya sehari-hari. Jujur ia merasa nyaman saat berkumpul dengan orang tersayangnya.

Kini hanyalah sisa kenangan indah yang masih terukir di memori gadis itu dan ruangan itu. Kini yang terpampang adalah keadaan yang bagaikan kapal pecah. Semua alat perabotan terpisah dari jarak yang sebelumnya berdiam diri. Lantai keramik yang kini sudah di penuhi darah yang masih belum kering pasca kejadian itu. Gadis itu hanya terdiam dengan bibir yang masih bergetar hebat. Ia tak sanggup lagi menopang tubuhnya untuk berdiri meskipun untuk satu detik. Kini ia harus bergelut dengan batinnya yang kini sedang memberontak,menuntut yang di-Atas untuk bertanggung jawab mengembalikan keadaannya seperti semula. Keadaan yang membuat rasa nyaman pada hati gadis itu. Tetapi sinar rembulan itu mulai redup,seakan-akan memberi jawaban yang membuat batin gadis itu tak terima. Jiwa yang terus bergejolak dan meronta-ronta. Hatinya yang terasa tercabik-cabik akibat tusukan bilah belati yang terus mengukir hati gadis mungil tersebut. Bibir yang mulai membiru dan kulit yang benar-benar memutih seputih kertas HVS di tambah wajah gadis itu mulai pucat memberi isyarat bahwa ia mulai kehilangan banyak darah. Gadis itu tak peduli. Dirinya masih bisa hidup karena perasaan yang bergejolak dalam jiwanya. Dirinya benar-benar rapuh dan tak berdaya lagi untuk menerusi impian yang ia impikan sejak kecil. Kini ia sedang menunggu malaikat ajal untuk menjemputnya dan menarik paksa gadis itu dari tempat yang kini bukan tempat aman baginya lagi. Iris ungu gelap itu perlahan mulai kehilangan cahayanya. Ia hanya tinggal menunggu kematian itu datang di bawah sinar rembulan yang menampilkan retaknya topeng palsunya pada wajah cantik gadis itu.

A R T E M I ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang