Satu jam sudah Jungkook menanti di ruang tamu. Sudah mulai larut namun Jimin belum juga pulang. Kabar dari ibu Jimin bahwa Jimin tidak ada di rumah orangtuanya pun menambah rasa khawatir yang dirasakannya. Setengah jam lagi sudah terlewati, menambah rasa baru yang dirasakan Jungkook yaitu marah. Dia terbilang orang yang cukup ketat dalam segala hal. Di kantor pun dia dikenal sangat pelit dalam hal toleransi. Beruntung pintu depan terbuka sebelum marahnya bertambah.
"Dari mana?" adalah hal pertama yang menyambut telinga Jimin sepulang dari kencannya bersama Taehyung.
"Keluar sebentar. Sudah pulang?"
"Sebentar?" satu alis Jungkook terangkat heran karena Jimin baru saja menyebut kata sebentar.
"Iya cuma pergi sebentar.."
"Ke?"
"Dinner.."
"Siapa?"
"...apanya?"
"Siapa yang mengajakmu dinner?"
"Taehyung.."
"Taehyung siapa?"
Jimin hanya diam. Sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menjawab pertanyaan itu. Pasalnya dia berniat meluruskan semuanya pada Taehyung dan memutuskan hubungan mereka berdua namun dia tidak sanggup melakukannya karena tidak sampai hati melihat Taehyung terluka setelah menyatakan dia serius dengannya.
"Jimin? Pertanyaan itu untuk dijawab, bukan didiamkan."
"TAEHYUNG PACARKU! KENAPA?! KITA CUMA DIPAKSA MENIKAH, KAN? KAMU JUGA SUDAH PUNYA YEONJI! JADI JANGAN BUAT AKU PUSING!" Jimin melangkah pergi meninggalkan Jungkook seorang diri di sana, melenggang pergi ke kamar yang kemarin dia tempati. Sama sekali tidak berpikir bahwa itu adalah kamar yang harus dia bagi berdua dengan Jungkook.
Jungkook yang ditinggalkan hanya dapat menghela napasnya dalam-dalam, mencoba bersabar. Mungkin karena Jimin masih sangat muda, dia masih ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki pacar yang selalu mendukungnya. Kakinya melangkah mengikuti Jimin yang sudah lebih dulu masuk ke kamar mereka. Langkahnya berat, seberat kepalanya yang memikirkan jawaban Jimin sebelumnya. Sepertinya pernikahan mereka tidak akan berjalan semudah yang dibayangkan. Siapa yang mengira bahwa mereka berdua sebenarnya sama-sama memiliki kekasih?
Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar mereka. Diam sejenak di sana, berpikir cepat bagaimana dia harus menyikapi Jimin yang tentunya sedang kesal padanya saat ini. Menarik napas dalam-dalam, tangannya meraih engsel pintu dan pintu itu akhirnya terbuka. Menampilkan Jimin yang berbaring di Kasur dengan balutan selimut hingga ke kepalanya. Jungkook menutup pintu kamar, menguncinya lalu berjalan ke arah Kasur untuk berbaring di samping Jimin. Tangannya meraih tubuh Jimin yang terbalut selimut, mengelus lembut bagian yang dia yakini itu adalah pundak Jimin.
"Jimin?" panggilnya dengan suara lirih.
"Tidak ingin mandi dulu?" tanyanya sambal mengusap lembut pundak Jimin.
Tidak mendapatkan jawaban dari Jimin, Jungkook terkekeh geli.
"Ah.. sepertinya aku harus menghadapi hal seperti ini setiap hari setelah menikah dengan anak kecil sepertimu."
"Aku bukan anak kecil!" sahut yang lebih kecil, masih membalut tubuhnya dengan selimut.
"Bukan anak kecil? Kalau begitu coba selimutnya dibuka dulu?"
"Tidak mau."
"Berarti kamu masih kecil."
"Bukan."
"Ya sudah, berarti aku harus memaksamu."
Setelah mengucapkan itu, Jungkook menyibak selimut Jimin dalam satu gerakan. Menampilkan tubuh mungil Jimin yang meringkuk dengan kedua tangannya menutupi wajahnya. Mirip seperti anak kecil yang sedang marah karena tidak dibelikan mainan kesukaannya.
Jungkook tersenyum melihat pemandangan menggemaskan itu. Tidak ingin memaksa Jimin untuk menunjukkan wajahnya padanya, Jungkook menarik kembali selimut yang tadi dia sibak untuk membalut kembali tubuh mungil Jimin. Namun kali ini hanya sampai pundaknya, cukup untuk menghangatkan tubuh Jimin saja. Jungkook yakin Jimin masih merasa kesal padanya. Alih-alih memaksa Jimin, Jungkook membiarkannya dan tidur di samping Jimin. Setidaknya rasa khawatirnya berhasil dia usir malam ini. Setidaknya Jimin baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumble Like A Stone ㅡ Jikook/Kookmin
Fanfiction[On-Going] Menceritakan bagaimana sebuah batu di ujung tebing yang goyah karena guncangan dunia berusaha untuk tetap bertahan di tempat dan tidak terjatuh ke dasar tebing. Tentang bagaimana sebuah rasa tetap berusaha untuk tetap merasa ketika hambar...