Sepuluh hari lalu, kedatangannya bersambutkan cemas dan beku yang pekat. Pesimisme membumbung tinggi di tiap kepala, terasa begitu kental pada Sang Raja dan permaisurinya. Kala itu, tubuh si bungsu dari Raja dan Ratu Alcander terlalu pucat. Seakan hidup terus berusaha lari menjauhi raga itu. Ketika kulitnya bersentuhan dengan milik Sang Putri, dingin menjalar secara tidak wajar. Respons selanjutnya yang ia terima adalah kedua mata yang mendadak terbuka lebar, dengan diiringi menguatnya denyut nadi lengan Sang Putri.
Tentu reaksi demikian mencurigakan adanya. Lengan atas Esvet langsung dicekal dan ia dipaksa bangkit dari ranjang. Mendongakkan kepala, tergegaulah ia untuk waktu yang singkat. Netra paling biru yang pernah lihat itu memancarkan intimidasi. Indah sekaligus mengancam, jernih namun menghanyutkan. Paras sulung Alcander memang terlalu rupawan baginya, sampai-sampai harus ditundukkannya kepala demi memutus kontak mata yang kian intens.
Samar – samar, Esvet yang masih memandangi kondisi Sang Putri merasakan udara di sekeliling lehernya menghangat. Kemudian suara berat nan serak menyapa gendang telinganya, “Sembuhkan adikku atau kepalamu akan kujadikan trofi.”
. . . . . .
Sejak sore yang mengejutkan itu, baik Sang Raja maupun Sang Ratu boleh menyingkirkan sedikit kekhawatiran mereka. Esvet menduga bahwa Sang Putri mengonsumsi campuran dari getah atau tumbuhan langka yang seharusnya tak boleh disatukan. Entah bagaimana caranya, ramuan tersebut pertama-tama mengubah kinerja jantungnya, yang kemudian berdampak vital pada aliran darah Sang Putri. Selanjutnya, setelah organ – organ pencernaan telah perlahan melemah, isi ramuan tersebut membuat ototnya tak dapat terkontrol dengan baik sebagai akibat dari disfungsi salah satu bagian otak.
Beruntung, sistem kekebalan tubuh Sang Putri berhasil menahan pengaruh ramuan tersebut. Namun, beruntung juga bukan kata yang tepat untuk menggambarkan situasi yang tengah dialami. Esvet hanya punya maksimal satu minggu penuh guna melawan pengaruh ramuan misterius itu. Deretan tumbuhan langka di puncak pegunungan, di tengah – tengah hutan belantara yang berbahaya, terus ia telusuri dan bawa sebagai bahan percobaan.
Esvet tak sendiri melakukan pencarian bahan – bahan tersebut. Bahkan mungkin gadis itu memperoleh perlindungan sekaligus pengawasan langsung dari Putra Mahkota. Yang lebih mengherankan lagi, Putra Mahkota alias Athelerix Alcander itu selalu menyempatkan waktu berbincang dengan dirinya apabila tak tertahan oleh pertemuan politis. Tak pernah satu hari pun ia lewatkan tanpa memandang wajah sulung dari dua bersaudara itu, seperti saat ini. Hanya dipisahkan oleh selembar tirai nyaris tembus pandang, Esvet tengah berendam sementara Athelerix Alcander duduk di luar tirai itu.
“Kau akan pergi?”
“Ya, besok pagi.”
“Kau akan melepas tanggung jawabmu begitu saja setelah kau rasa selesai?”
Untuk pertama kalinya, Esvet tak mampu merasa rileks ketika kerajaan membuktikan penawarannya atas pelayanan sepenuh hati. Dari balik tirai, seolah – olah intaian berbahaya memburunya dengan cermat. Ia terlalu lelah, hanya mengenakan selembar pakaian tipis, dan langsung bergerak untuk kabur dari situasi ini terasa tak memungkinkan.
“Saya tidak paham dengan yang anda katakan, Yang Mulia. Bukankah Yang Mulia Putri sudah sadarkan diri, memiliki keinginan untuk makan dan sekarang mampu berjalan?” sanggah Esvet, membela diri. Ia sebelumnya hampir tertidur jika saja suara Putra Mahkota tak mengusik kesunyian yang coba diselaminya.
“Dan bukankah kau tahu asal parasit dalam ramuan yang nyaris membunuh adikku?”
“Karena, Yang Mulia, saya hanya menebak-nebak. Dan, menurut pengetahuan saya yang tak seberapa, bukankah hanya desa Selverta yang memiliki banyak tumbuhan langka?”
“Ya,” Tiba-tiba Esvet mendengar suara derap langkah kaki mendekat, “Desa asalmu, kan? Dan mengapa kau merasa bisa lolos setelah menyembuhkan adikku? Bagaimana kalau kenyataannya memang kau yang membuat ramuan sialan itu dan berpura-pura seperti pahlawan yang layak mendapat kehormatan?”
Esvet membelalakkan mata, beranjak dari bak mandi dan cepat – cepat mengenakan jubah mandinya. Tubuhnya berputar, dan keterkejutan memenuhi dirinya ketika mendapati Athelerix tengah menatapnya lekat. Hanya berjarak satu langkah, berdiri tegap dengan kemewahan yang tak pernah luput di setiap pakaiannya.
“Kau tahu? Pernah seorang wanita pembenci Alcander menyembunyikan racun di tubuhnya. Aku sendiri yang memenjarakannya setelah mengorek informasi.” Tatapan Athelerix terus bergerak ke bawah, dan bibirnya mencibir, “Aku sangat menyukai momen—momen ketika aku berhasil mendapatkan informasi. Kau tahu aku akan melakukannya padamu bukan?”
. . . . . . .
Esvet tak mengerti apakah terbangun satu ranjang dengan Putra Mahkota dalam kondisi tak pantas lebih menyeramkan daripada diinterogasi dengan cara khas kerajaan. Ia termangu selama setidaknya lima belas menit jika saja pipinya tidak disentuh oleh jari-jari lentik Athelerix. Mengerjap, ia memutuskan untuk duduk bersandar pada kepala ranjang.
“Mengapa… mengapa anda melakukan ini?”
Alih-alih jawaban yang ia dapat, sepasang lengan pria itu justru menariknya untuk masuk ke dalam dekapan miliknya. Tapi Esvet tak menyerah untuk memuntahkan isi pikirannya, “Mengapa tidak bunuh saya saja?”
“Mengapa aku harus melakukannya? Aku ingin mendengarkan kelanjutan saudagar kaya di tanah asalmu. Aku ingin tahu kenapa orang tua itu berambisi membuat ramuan keabadian dan melahirkan lelaki yang membuatmu mengalihkan pikiran dariku. Kelahirannya di dunia ini terdengar buruk, Esvet.”
Esvet termangu sembari menatap lekat pesona yang tak pernah absen terpancar dari wajah tegas super tampan itu. Dinaikkannya selimut untuk menyembunyikan bentuk tubuhnya yang terekspos, “Jadi… jadi dugaan saya benar?”
“Ya. Dan penyebab ibumu yang sakti itu tewas bukanlah karena terpeleset ke jurang, Esvet. Itu semua karena ibumu tahu tentang rencana Asber. Dari informanku ini aku juga tahu kalau tubuh ibumu salah satu yang dijadikan bahan percobaan setelah kematiannya.” Athelerix melembutkan nada suaranya, berharap rasa syok Esvet tak terlalu parah memukulnya. Namun seperti dugaannya, Esvet justru terdiam dan kedua matanya perlahan berair.
“Kau… kau tidak sedang bercanda ‘kan, Yang Mulia? Aku… aku tidak pernah melihat jasad ibuku untuk yang terakhir kalinya.” Dada Esvet seperti tengah dililit dari dalam, setiap embus napasnya seolah menjadi fenomena dahsyat yang menyayat. Tangisnya kemudian pecah saat Athelerix membawa kepalanya untuk dibenamkan ke dada bidang pria itu.
“Aku ada di sini, Esvet. Aku akan membantumu untuk mengakhiri bisnis ilegal itu, dengan satu syarat.”
Esvet susah payah menggerakkan bibirnya, “A-apa?”
“Menikahlah denganku.”
“Aku tidak melihat alasan tepat untuk menikahim, Yang Mulia. Lagipula tidak ada kisah rakyat jelata menikah dengan aristokrat,” sahut Esvet datar. Ia mendongakkan kepala, dan hal pertama yang ia saksikan adalah binar tulus yang menghiasi netra biru Athelerix.
“Aku selalu memperjuangkan dan menuruti semua kemauan orangtuaku sejak aku bisa berjalan, Esvet. Tapi kali ini biarkan mereka tahu, bahwa hanya kau yang ingin aku lihat setiap aku bangun dari tidur. Hanya kau, yang kuijinkan mengandung dan merawat anak-anakku kelak.”
“Ah ya, dan sebenarnya aku ingin menunjukkan pada putra Asber bahwa wanita yang ia kasihi adalah wanita yang akan menghancurkan bisnis keluarganya.” Athelerix menambahkan, dengan nad berbisik, “Menghancurkan hatinya.”
“K-kau… kau tahu apa yang kau bicarakan, Yang Mulia?”
Athelerix menyentuhkan ujung hidungnya ke kening Esvet, membiarkan napasnya mendebur kulit lembut milik gadis itu, “Kau ingin melihat jasad ibumu bukan?”
- A k h I r C e r I t a -