Chapter 8

1.8K 136 32
                                    

Tekanan dari kandung kemihnya memaksa Levi tersadar. Pandangan sebelah matanya kabur, menyulitkan penglihatannya mencari setitik cahaya dalam keremangan yang menelan dalam ruangan sempit itu.

Butuh usaha sangat keras agar mampu bangkit lagi, tetapi ia berhasil. Pakaiannya yang sebelumnya hilang entah kemana, sudah berganti menjadi kemeja putih yang wangi. Hanya perlu sekilas pandang ke arah tubuh sendiri, Levi melihat bukti pengalaman mengerikan yang sudah menimpanya. Perban membalut tubuh, kepala dan sebelah matanya.

"Kurasa aku tidak akan bisa memegang pedang dengan benar lagi sekarang." Sambil memperhatikan tiga jari yang masih tersisa pada tangan kanannya.

"Sudah untung kau tidak kehilangan dua tanganmu."

Levi memperhatikan sebuah bayangan yang bergerak mengikuti arah lampu pijar dalam dinding yang terasa merapat, membawa langkah seorang gadis ke tempatnya berada.

"Mikasa." Gumamnya pelan.

Mengambil segelas air dari cawan di atas meja, Mikasa menyerahkannya pada Levi. Tanpa menolak, Levi menerimanya, membasahi tenggorokannya yang kering dengan aliran liquid bening yang sedikit membeku itu.

Sambil bersedekap, Levi bersandar ke dinding di belakang kasurnya dan menatap Mikasa. Bahkan hanya untuk bersandar, rasanya sakit sekali. "Bagaimana kau bisa ada disini?"

"Hanji-san yang memintaku kemari. Dia menemukanmu terluka. Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Mikasa penasaran.

Deru nafas yang tidak teratur serta rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya, memaksa Levi memproses kembali ingatan pada hari dimana ia terluka.

"Zeke, dia berhasil kabur. Ini kecerobohan ku, sehingga aku terkena ledakan thunder spears."

Entah bagaimana Levi tidak membayangkan akan jadi seperti ini. Sejak awal seharusnya dia tidak mempercayai orang-orang Marley. Wine yang dibawa mereka ternyata berisi cairan tulang belakang Zeke. Para anak buahnya yang bertugas bersamanya di hutan kala itu, semua berubah menjadi titan. Terpaksa Levi harus menghabisi mereka semua.

Ia frustasi, berpikir dan menyesal. Tidak pernah ia menyangka bahwa Zeke akan nekat menarik pemantik dari thunder spear yang ia taruh pada lehernya. Kera itu sudah siap mati rupanya.

"Jadi, kau satu-satunya orang yang selamat?"

"Begitulah." Sekali lagi Levi merasa dirinya tidak berguna, sekali lagi ia tidak bisa melindungi rekan seperjuangannya. Rasanya seperti de javu, teman-temannya mati namun hanya ia seorang yang bertahan hidup. Bahkan dia kehilangan bawahannya yang setia sejak awal mula ia bergabung dengan Survey Corps. Varis dan Gordon.

Kedua anak itu tetap hormat padanya, meski kebanyakan teman-teman seangkatannya bergabung menjadi fraksi Yeager dan banyak prajurit baru yang meremehkan Levi sebab menurut mereka Levi yang lebih memilih untuk menyelamatkan Armin ketimbang Erwin itu merupakan keputusan yang tidak bijaksana dan hanya terbawa perasaan, Varis dan Gordon tetap memandangnya sebagai kapten hebat yang dimiliki Survey Corps.

Mereka masih muda, hanya selisih dua tahun dari umur Mikasa. Levi menyesal telah membunuhnya.

"Beristirahatlah."

Hari masih gelap, udara dingin musim gugur masih menyelinap masuk, Mikasa berniat menyalakan kembali api unggun yang entah sejak kapan telah mati. Kakinya hampir beranjak, sebelum tangan kokoh menahan pergerakan nya.

"Ada apa?"

Orang yang ditanya mengalihkan matanya ke samping, lalu fokus kembali pada Mikasa. Membuat gadis itu bingung. Sedikit keraguan terpancar dari ekspresi yang Levi tampilkan.

"Aku ingin buang air."

Entah apa penglihatan Mikasa yang bermasalah, atau memang hal yang ia lihat di hadapannya saat ini benar adanya, Mikasa melihat semburat merah tipis muncul di pipi pria minim ekspresi itu. Pria dingin ini juga punya rasa malu rupanya. Terbiasa melihat Levi blak-blakan, ia jadi sedikit merasa aneh saat Levi tidak bersikap seperti biasanya. Bahkan perkataannya tadi, seperti permintaan minta tolong dengan kalimat yang sopan.

FriedenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang