(37) Lapor Komandan | Radit dan Kawan-Kawan

69.7K 7.9K 828
                                    

Udara malam serasa membius tubuhku, walau dingin tapi mendekap tubuh Angkasa semuanya langsung hangat seketika. Ku peluk erat dirinya seraya menyandarkan kepala di punggungnya yang lebar.

Ah, nyaman sekali.

Boleh gak sih minta perjalanannya jangan berhenti dulu? Pewe banget dibonceng sama Angkasa.

Belum lagi wanginya yang selalu bikin mataku terpejam karena terlalu membuat nyaman. Walau latihan dari pagi hingga sore Angkasa tetap wangi seperti biasanya, walau ada sedikit bau keringet, tapi duh enak banget deh pokoknya.

"Dek, kamu tidur?"

Mataku langsung melotot dan kepalaku tegap seketika. "Apa, Ndan? Dek?" Teriakku agar pria itu bisa mendengar.

Angkasa berdehem ditengah kebisingan malam. Aku menahan senyum girang mendengarnya, kenapa Angkasa manis sekali saat memanggil Dek. Lia gak kuaaaaat.

"Kok tumben?" Tanyaku masih berusaha normal.

"Kenapa? Gak suka?"

Aku menggeleng di belakangnya. "Biasanya kan panggil aku nama."

"Biar ada kemajuan. Rasanya gak lucu saya panggil kamu nama."

Aku terkekeh malu-malu. Anjir lah ini Komandan satu, bisa aja bikin gue salting.

"Kamu laper gak?"

"Lapeeer!" Seruku mendekat ke arah telinganya dan menaruh daguku pada pundak Angkasa.

"Mau makan apa?"

"Makan Komandan boleh?"

"Yakin?"

Aku terkekeh. "Gak lah, emangnya aku kanibal makan manusia."

"Lho, saya kira..."

"Kira apa?"

"Nggak."

Aku mencebik. "Apaan, ih!"

"Jangan deh, kamu masih kecil."

Mataku mendelik ke arahnya. "Masih kecil tapi suka digrepe-grepe ya sama situ."

"Heh, kata siapa kamu?"

"Hih, kiti siipi kimi." Aku meledeknya. "Dikira aku gak ngerasa apa pas kemarin-kemarin."

"Oh, itu saya ngelindur."

"Mana ada orang ngelindur ngaku," ucapku semakin membuatnya malu. "Komandan, parah ih! Masa ngapa-ngapain akunya pas lagi gak sadar, curang tahu!"

"Jadi kamu mintanya pas lagi sadar?"

"Iyalah!" Aku langsung tersadar dengan ucapan ku. "Eh, maksudnya, ya nggak gitu juga!"

Angkasa tertawa renyah, lalu motor kami berhenti di lampu merah, pria itu menepuk lututku beberapa kali dan mengusapnya. "Bulan depan saya nugas lho, Dek."

Aku menatapnya. "Aku tahu."

"Dari siapa?"

"Papa." Aku menatap ke arah depan dengan kosong. "Aku takut deh, Ndan."

"Masih aja?"

Aku mengangguk. "Aku takut Komandan..."

Angkasa terdengar menghela napasnya lalu bergantian mengusap tanganku yang bertengger manis di perutnya. "Dek .., kematian saya itu ditangan Tuhan. Nugas bukan selalu tentang kegagalan, kamu harusnya optimis dan nggak terus berpikiran kayak gitu. Semua pekerjaan pasti punya resikonya masing-masing, yang kerjanya di pabrik, di perusahaan, atau di kantor, mati itu selalu ngintai kita semua. Jadi kamu gak perlu takut lagi sama pekerjaan saya."

Lapor, Komandan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang