Tak Bisa Lari Lagi

137 32 0
                                    

Kang Saehee turun dari bis dengan hati-hati. Ia melirik arloji hitam di tangannya dan segera berjalan menuju ke kampus yang tak terlalu jauh dari halte tersebut dengan lumayan tergesa-gesa. Kemarin ia berpapasan dengan Jungkook di jalan menuju gedung fakultasnya. Jungkook terlihat lesu dan layu seperti bunga yang tak terkena matahari dan tak di sirami, benar-benar seperti seorang yang kehilangan arah dan tujuan. Saehee mempercepat langkahnya, takut didahului Jungkook yang sudah beberapa hari ini menjadi ‘penunggu’ di depan gedung fakultasnya. Setiap kali melihat pria itu disana, tubuhnya langsung merinding dan adrenalinnya terpacu dengan drastis menuju titik tertinggi.

Saehee menoleh ke kanan dan kekiri, memantau sekelilingnya. Ini masih pukul 7 dan kampusnya masih terbilang sepi. Ia juga sudah memakai atribut penyamaran yang sejak beberapa waktu lalu setia mendampinginya dalam berkamuflase.

Saehee bisa menarik nafas lega saat melihat gedung fakultasnya berada di hadapannya. Hanya tinggal beberapa meter kedepan dan ia akan dengan selamat dan aman berlindung di kelasnya. Suasana juga masih sepi dan lengang, membuat Saehee terasa di awan. Untuk pertama kalinya dalam seminggu, Jungkook tak menampakkan batang hidungnya di depan Saehee.

Saehee menyungging senyum kemenangan. Sedetik kemudian, sepasang tangan berhasil mendekap tubuhnya dan membuat gadis itu berhenti di tempat. Mata Saeehe mendelik sempurna. Sudah bisa ditebaknya siapa sosok yang tengah mendekapnya dengan erat dan meletakkan dagunya di pundak Saehee. Aroma parfum itu, sialan!

“Aku merindukanmu,” bisik Jungkook. Suara itu terdengar sangat putus asa dan menyedihkan ditelinga Saehee. Dekapan itu sangat intens, mengunci tubuh Saehee dengan rapat. Perlawanan Saehee tak berarti apapun di hadapan Jungkook, si pemilik tubuh kekar dan atletis. Ia meronta sekuat tenaga namun tenaganya benar-benar tak bisa dibandingkan dengan kekuatan dari kerinduan dan keputusasaan milik Jungkook.

“Lepaskan!” pinta Saehee dengan nada tinggi.

Jungkook melepaskan dekapannya, namun tangan kanannya telah mengunci genggaman di tangan kiri Saehee. Saehee kembali meronta. Perlawanan sia-sia itu berakhir dengan Saehee yang menyerah dan dengan pasrah berdiri di hadapan Jungkook. Ia tak berani menatap mata Jungkook. Terlalu menyakitkan, juga terlalu beresiko untuk keteguhan hatinya yang seperti es rapuh. Tatapan mata Jungkook bisa melelehkannya kapan saja dan itu bukanlah hal yang Saehee inginkan.

“Kau kemana?” tanya Jungkook dengan lemah.

“Pindah, ke apartemen pacarku,” jawab Saehee dengan ketus. Ia terus mengalihkan wajahnya dan pandangannya, berusaha keras untuk tidak melakukan kontak mata dengan Jungkook.

Jungkook tersenyum getir. “Kenapa kau tidak mau menatap mataku?”

Saehee bungkam. Ia hanya melirik sebentar kearah genggaman super kuat milik Jungkook di tangannya.

“Saehee-ya.” Suara Jungkook gemetar. Bisa Saehee rasakan rasa sakit itu langsung berpindah di dadanya. Sorot mata Saehee mulai melemah. Ia tunduk di hadapan Jungkook, gunung es ego miliknya mulai mencair.

“Ayo bicara.” Jungkook menarik tangan Saehee dan dengan pasrahnya Saehee hanya bisa menurut dan mengikutinya dari belakang.

*

Saehee dan Jungkook berjalan beriringan menuju apartemen Jungkook. Jungkook segera menekan pin apartemennya dan mempersilahkan Saehee untuk masuk duluan. Dengan hati berat dan kekhawatiran yang memuncak, Saehee kembali menginjakkan kaki ke ruangan itu. Dadanya mulai terasa sesak, diisi penuh dengan perasaan bersalah. Perdebatan sengit mulai muncul diotaknya. Pergumulan yang mencoba untuk meyakinkan Saehee untuk tetap tinggal dan berbicara dengan Jungkook atau memaksa pergi dari tempat itu.

Saehee mematung di tempat. Tak ia hiraukan saat Jungkook memintanya duduk di sofa ruangtamu. Ia hanya bisa menundukkan wajah dan matanya dihadapan Jungkook. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Menunduk adalah satu-satunya baju zirah yang bisa ia gunakan sekarang.

“Kau kemana?” tanya Jungkook. Pertanyaan yang sama yang ia lontarkan saat di kampus tadi.

“Pindah.”

“Kemana?”

“Ke apartemen pacarku.”

Jungkook mengepalkan tangan, masih tak terima dengan jawaban yang sama yang keluar dari bibir Saehee.

“Kau tidak punya pacar,” ucap Jungkook dengan tegas.

“Aku dan Park Jimin … benar-benar berkencan.”

Jungkook mengacak rambutnya. Ia sudah muak dengan satu nama itu, juga kebohongan yang entah kenapa masih terus di pertahankan oleh Kang Saehee.

Jungkook segera bangun dari duduknya dan menghampiri Saehee. Jungkook melepaskan kacamata itu dari wajah Saehee, juga masker medis dan melemparkannya sembarangan ke lantai.

“Kau bukan pacar pria itu. Aku tahu kau berbohong,” kata Jungkook sambil mencengkeram erat kedua bahu Saehee. Kemarahannya benar-benar memuncak. Setelah Saehee meninggalkannya begitu saja, kini dengan mudahnya gadis itu menyatakan kebohongan yang jelas-jelas sudah diketahui olehnya.

Saehee meronta. Dalam satu kali gerakan, kedua tangan Jungkook langsung terlepas dari bahunya. Wajah Saehee meradang, ia mulai muak dengan sikap keras kepala Jungkook yang terus membantah kenyataan itu.

“Aku dan Jimin Oppa berkencan! Berapa kali sudah ku katakan hal itu padamu!? Baiklah, aku mengakuinya. Awalnya aku berbohong padamu. Tapi Park Jimin benar-benar menyatakan perasaannya padaku 10 hari yang lalu dan aku menerimanya. Bisakah kau melepaskanku sekarang?! Berhenti bertahan dengan pendirian konyolmu itu!” Wajah Saehee memerah, terlihat otot-otot di lehernya mengeras. Ia benar-benar sungguh-sungguh kali ini, berharap Jungkook mengerti dan menyerah.

Jungkook tersenyum kecut, kali ini ia merasa benar-benar merasa kalah dengan ucapan Saehee. Saehee terlihat sangat serius dengan setiap kata yang ia ucapkan. Jungkook benar-benar kalah.

“Aku tahu kau mencintaiku. Kau masih sangat mencintaiku.” Jungkook perlahan-lahan mundur. Sulit ia percaya bahwa gadis itu sudah milik orang lain. Sorot matanya benar-benar redup, seperti lilin yang dimainkan hembusan angin kencang di tepi pantai.

“Maafkan aku. Kau harus bisa menerima kenyataan itu. Aku ….” Kalimat Saehee terpotong. Ada keraguan besar yang menyumpal tenggorokannya, seperti mencegah Saehee melanjutkan kata-katanya. Saehee menenguk salivanya, mempersiapkan diri untuk kata-kata yang ia tahu pasti akan melukai Jungkook, juga dirinya. “ Tak lagi mencintaimu.”

Jungkook menunduk dengan tatapan kosong. Ia benar-benar sudah kalah telak.
Saehee menatap Jungkook dengan iba, seolah dia adalah orang yang ikut terluka dalam kisah ini. Ia baru saja berhasil mematahkan perasaan Jungkook dan tanpa ia duga, ini tidak semenyenangkan seperti yang ia bayangkan. Tak ada perasaan puas dan bangga seperti apa yang ia bayangkan selama ini. Sebaliknya, ia merasa telah melukai dirinya dengan begitu parah, hingga terasa hatinya seperti terseret lalu berjalan terseok-seok.

Saehee mundur perlahan. Tanpa pamit dan basa-basi ia pergi meninggalkan Jungkook dengan hati yang hancur. Akhirnya, ia berhasil membalaskan dendamnya setelah di campakkan oleh pria itu. Sayang sekali, kemenangan itu terasa begitu pahit sampai Saehee berharap bahwa ia tak pernah bertemu dengan pria itu atau bahkan pernah memasukkan pria itu kedalam hidupnya. Saehee berjalan cepat sambil mengatur nafas yang kian terasa sulit untuk sekedar memasukkan oksigen ke paru-parunya. Mata Saehee mulai berkaca-kaca. Tangan kanannya segera membungkam bibirnya, menghalangi isakan tangis yang mungkin akan segera pecah diiringi dengan airmata yang merembes dari pelupuk matanya.

Hari ini, Kang Saehee telah kalah telak dari egonya.

***

Jangan Baper! Kita Cuma MANTAN |Jeon Jungkook| [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang