Rindu Yang Tak Tertahankan

18 2 0
                                    

Tomoe sedang sibuk menyiapkan semua peralatan sebelum melakukan siarannya.

Baru beberapa menit yang lalu, dia selesai menonton siaran istrinya, Sukoya. Sebenarnya, malam ini Tomoe berniat untuk memberikan kejutan kepada Sukoya. Tetapi malah dia yang mendapat kejutan karena Sukoya tiba-tiba melakukan siaran. Sekarang dia bingung sendiri di kamar, apakah dia akan terus melakukan siaran ini atau tidak. Bagaimana bila Sukoya tahu tentang hal ini? Tentu saja karena Tomoe membuat waiting room untuk siarannya.

"Haaaaaah, bagaimana ini? Mendadak jadi tegang begini."

Tomoe berjalan mondar-mandir di depan meja komputernya. Setelah berulang kali mengembuskan napas besar, dadanya terasa sedikit lebih tenang.

"Siaran aja deh."

Tomoe pasrah dan mulai menyalakan aplikasi untuk siaran. Setelah selesai memeriksa komputer, mikrofon, dan segala perlengkapan lainnya, dia melirik ke arah jam yang telah menunjukkan waktu siaran. Dia membuka waiting room-nya, dilihatnya orang-orang yang telah berkumpul dan ramai di kolom komentar, yang tanpa sadar membuatnya tersenyum lebar.

"Aku pulang. Selamat datang. Apakah kalian sudah menjadi anak-anak baik?? Saya Shirayuki Tomoe, Virtual Liver dari Nijisanji." sapa Tomoe dengan suara berbisik. Kolom komentar pun ramai dengan sapaan "selamat malam".

Tomoe menjelaskan maksud siarannya malam ini, yaitu menelepon istrinya karena selama bulan April, tidak ada siaran kolaborasi mereka berdua. Selain itu, baik Tomoe maupun Sukoya, keduanya sedang sibuk dengan kehidupan nyata sehingga tidak dapat menghabiskan waktu bersama. Ditambah saat ini penyebaran virus corona sedang melejit kembali di Jepang, sehingga pemerintah mengumumkan keadaan darurat covid-19 dan melarang warganya untuk bepergian.

Sebelum menelepon Sukoya, Tomoe kembali gugup dan bingung sendiri. Sembari berbicara dengan penonton, dia sadar bahwa selama ini Sukoya yang selalu meneleponnya terlebih dahulu. Hal ini semakin membuat perutnya melilit dan jantungnya berdebar dengan kencang.

"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana bila ternyata teleponku ini mengganggu jam belajarnya? Apa dia akan menerima teleponku? Aaarrrgghhh...."

Tomoe histeris sendiri dengan pikiran negatif yang terus silih berganti menghampiri benaknya.

"Tomoe, tenanglah."

"Coba telepon dulu."

"Tarik napas, embuskan."

Banyak komentar yang mencoba menenangkannya dan memberikan dorongan maupun keberanian. Dada Tomoe terasa hangat karena sikap manis para penonton.

"Baiklah, aku akan meneleponnya. Oke, tidak apa-apa."

10 menit berlalu tapi Tomoe masih belum berhasil menekan tombol telepon. Dia masih berisik mengeluarkan pemikiran negatif ditambah dengan kalimat tidak jelas seperti mantra sihir.

"Aku tidak bisa melakukan ini! Selama ini selalu Sukoya yang meneleponku terlebih dahulu. Aku tidak pernah meneleponnya. Bagaimana ini? Aku tidak tahu caranya menelepon seseorang."

"Halo? Tidak, bukan begini. Maaf tiba-tiba menelepon, apa aku boleh...? Enggak, bukan gitu!! Halo, kamu lagi apa? Aaaarrgghh, aku lupa caranya telepon orang!!"

Para penonton hanya bisa menggeleng dan tertawa melihat tingkah bodoh Tomoe yang menggemaskan. Mereka mulai mengetik dan membanjiri kolom komentar dengan kalimat dukungan, atau sekadar tertawa.

"Baiklah, aku serius. Aku pencet ya?"

Tomoe menekan tombol telepon, tapi kemudian langsung mematikannya.

Rindu Yang Tak TertahankanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang