7-Sakit

33 3 2
                                    

"Gaada motor yang lebih kalem gitu Bang? " teriak Hana di atas motor astrea butut milik Pak Tresno, tetangga klinik Lestari. Bara memutar lehernya ke belakang dan berteriak.

"Ini udah syukur ada Na, siapa yang suruh ngancurin motor pinjaman kemarin? " Bara berdecak sebal. Bukannya Bara tidak punya kendaraan, mobil Bara sendiri masih terparkir di pelabuhan, karena tekstur jalan di Pulau Jalan masih belum ramah untuk mobil, jadi kemana-mana masyarakat cenderung menggunakan motor. Di klinik Lestari terdapat 2 motor plat merah dan satu ambulans untuk keadaan darurat. Motor plat merah yang pertama kehabisan bensin sedangkan yang satu lagi masih mendekam di bengkel Babeh. Pekerja klinik juga hanya berjalan kaki karena lingkungan rumah pekerja yang masih di sekitar klinik.

"Bang ini kita bukannya jalan tapi ngebangunin satu kampung. " teriak Hana berharap suaranya cukup kencang untuk mengalahkan bunyi khas motor butut yang sedang ia tumpangi.

"Biarinlah, dah subuh juga" teriak Bara lagi "Ayo pegangan ini aku mau ngebut, udah mau masuk daerah sepi."

Hana langsung memegang jaket kulit Bara. Peduli amat dengan jaga jarak, kalau area sepi di Pulau Jalan saat siang saja sudah menyeramkan apalagi kalau matahari belum muncul seperti ini.

Tidak lama mereka bisa melihat rumah tepi pantai yang sedang eksis dibicarakan. Rumah itu masih sama, masih terkesan angkuh dan tidak ramah. Sangat bertolak belakang dengan pemiliknya yang sedang sakit itu.

"Aduh, maaf merepotkan ya Mbak Hana, masalahnya Mas Singgih itu gak pernah demam sampai menggigil begini, dia dari kecil paling jarang sakit. " cerita Nining pada Hana yang bergegas menuju lantai dua. Bara duduk di ruang tengah, tampak masih tercengang dengan interior rumah yang sangat indah.

Hana mengikuti langkah Nining hingga mereka sampai di pintu coklat kamar Seung Gi. Kamar Seung Gi didominasi warna coklat dan krem, ada dua lampu tidur, tv, sofa dan meja, dua pintu yang Hana tebak menuju kamar mandi dan ruang pakaian, di dindingnya ada kaca besar menuju balkon yang langsung berhadapan dengan pantai. Hana lekas menuju tempat tidur.

Seung Gi tergeletak lemah di atas tempat tidur. Saat Hana periksa suhunya 39 derajat, tubuhnya berkeringat dingin, tapi tidak sampai mengigil. Secara umum tanda vital Seung Gi masih normal.

"Bu Ning, kemarin Mas Singgih ngapain aja? " tanya Hana.

Nining pun menjelaskan kegiatan yang dialami Seung Gi. "Mas Singgih bangun terus olahraga, ke hutan bentar, terus kerja di ruangannya sampai siang, dari siang sampai maghrib ngerjain perabot, malamnya duduk di teras sambil makan malam, ketemu tuyul sebentar, terus langsung pingsan Mbak. " ujar Nining.
Seolah bertemu dengan tuyul itu sesuatu yang lumrah terjadi, Nining bercerita dengan sangat santai sedangkan Hana sudah merinding. Hana mungkin menyebut dirinya sebagai kaum realistis, tapi dalam hati dia masih percaya dengan hal mistis.

"Yaudah Bu, saya resepkan obat ya? Mas Singgihnya dikompres terus 1 kali 24 jam. Baju nya diganti kalau udah keringatan pakai yang longgar, kalau gak kedinginan jangan selimutan ya Bu? Jendela juga dibuka.kalau masih demam 3 hari bawa ke klinik ya Bu? " ujar Hana berusaha profesional.

Usai memeriksa keadaan Seung Gi, Hana baru menyadari kalau hujan deras. Entah mengapa setiap Hana pergi ke rumah Seung Gi selalu turun hujan. Seolah semesta menyuruh Hana untuk tidak tau diri dan kembali numpang tidur di rumah mewah ini.

Atas bujukan Nining, Hana dan Bara tidur di sofa ruang tengah. Maklum mereka baru saja jaga malam, dan lingkaran hitam di mata mereka sudah sangat terlihat jelas. Awalnya Nining memaksa Hana untuk tidur di kamar, tapi dengan gesit Hana berkilah bahwa dia lebih nyaman di sofa, dan pekerja kesehatan seperti dia terlatih untuk mimikri tidur (Tidur Dimana Saja Kapan Saja). Sebenarnya Hana hanya takut Tuyul yang menyapa Seung Gi berniat silahturahmi dengannya saat tidur.

Pulau JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang