Buta

11 0 0
                                    

"Daisha udah bangun nak?"

"Mamah? Mamah bukan? Kok mata daisha ditutup? Mamah dimana?"

"Ini, ini mamah nak"

Aku merasakan tangan mamah memegang tanganku.

Hal terakhir yang aku ingat, aku dan arga pulang dari kampus setelah 2 hari mengurus acara musik kampus. Kita berdebat tentang menyetir, dan truk besar?

"Mah, daisha kenapa sih? Arga mana?"

"Daisha kecelakaan kemarin malam sama arga. Arga ada di ruang rawat inap sebelah kamar kamu" ucap mamah sambil mengusap rambutku.

"Tapi arga baik-baik aja kan mah?"

Sungguh aku tidak mengingat apapun, bahkan sekarangpun aku sangat bingung dengan penutup mata ini.

"Ini mata daisha kenapa ditutup mah? Mamah belum jawab"

Aku mendengar mamah menangis sendu, bukan tangisan yang aku inginkan. Aku ingin jawaban, kenapa mataku ditutup.

"Mah, jawab daisha"

"Kamu mengalami kebutaan permanen nak, saat kecelakaan banyak serpihan kaca menancap di mata kamu" mamah memelukku, tandanya dia amat sangat sedih dan terpukul. Isak tangis mamah amat terdengar di telingaku.

"Mamah jangan nangis, harusnya daisha yang nangis. Sekarang danisha jadi beban mamah lagi, daisha buta" sekarang aku yang menangis kencang, membuat mamah memelukku semakin erat.

"Sha.."

Aku sangat kenal suara ini, arga. Syukurlah dia baik-baik saja.

"Ga? Itu kamu? Kamu baik-baik aja kan? Ada yang sakit ngga?" sambil mengangkat tanganku agar bisa meraih tangan arga.

"Iya ini aku, arganya daisha. Aku baik-baik aja. Aku.."

Arga menghentikan ucapannya dan aku merasakan tetesan air mata.

"Kamu nangis? Kenapa? Aku ngga papa ga"

"Maaf sha, maaf. Aku pantas mati, harusnya aku aja yang di posisi kamu" arga tak henti-hentinya mengucap maaf sambil mengecup tanganku berkali-kali.

Aku bisa merasakan bagaimana penyesalan arga saat ini, tapi bagaimana bisa aku menyalahkan arga? Musibah tidak ada yang tahu. Akupun akan bersikap sama dengan arga jika arga yang ada di posisiku sekarang.

"Ga, kamu ngga salah. Itu musibah, udah takdir aku. Kalau kamu yang diposisi aku, terus aku bilang aku pantes mati kamu marah ngga?" Ucapku tulus sambil membelai lembut wajah arga, aku merasakan arga mengangguk.

"Udah ya? Mamah sama arga jangan nangis lagi. Daisha baik-baik aja"

Sebenarnya itu hanya cover, aku sangat tidak baik. Aku terpukul dengan keadaan ini, bagaimana bisa aku anak satu-satunya mamah mengalami kebutaan?

Mamah dan aku hanya hidup berdua, papah sudah 3 tahun meninggalkan dunia. Hanya aku harapan satu-satunya mamah, dan lihat? Sekarang aku buta. Bukannya menjadi harapan mamah, aku malah menjadi beban tambahan.

Belum lagi bagaimana hubunganku dengan arga? Laki-laki mana yang mau berpacaran dengan perempuan buta?

Aku dan arga sudah 8 tahun menjalin hubungan, aku tahu arga. Dia tidak akan melepasku begitu saja, jadi harus aku yang melepas argakan? Demi kebaikan arga, untuk mengurus diriku sendiri saja pasti susah apalagi dengan harapan-harapan arga.

Setelah lulus kuliah dia ingin menikahiku, memiliki 3 anak yang lucu. Saat aku belum seperti ini aku sangat excited, tapi sekarang? Untuk mamah saja beban, apalagi menjadi istri seseorang.

EdelweisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang