Sikapnya Seperti Angin

14 6 0
                                    

"Nay, Nay, bangun. Naya!"
"Kenapa?"
"Dimana obat-obat yang ada di kamar mandi?" tanyanya dengan wajah yang seram dan membentakku. Kamar kami kedap suara. Jadi tidak akan ada yang mendengar kami.
"Sudah aku bakar!"
"Apa? Kau gila! Beraninya kau... " bentak Rizki. Tangannya mulai melayang namun tak jadi menampar ku. Aku menatapnya dengan sedikit terkejut. Ternyata dia sangat kasar. Mata ku mulai berkaca. Sebelumnya tidak ada pernah pria yang membentak ku. Bahkan Ayah tak pernah membentak. Bulir-bulir air mataku berjatuhan. Rizki melihatku dengan wajah kebingungan. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan membasuh wajahnya. Lalu mendekati aku yang masih menangis. Rizki mencoba menenangkanku. Dia ingin memegang pundakku.
"Tidak! Kamu kasar!" pungkas ku sembari tersedu-sedu. "Ayah tidak pernah membentakku. Aku mengira kamu lemah lembut pada siapapun karena kamu selalu bersikap lembut kepada Bunda. Shshshsh..." sambungku lagi dan menutup wajahku.
"Nay, maaf. Aku sedang mabuk." katanya dengan nada lembut.
"Seumur hidupku, aku tidak pernah menginginkan pria bejat seperti mu. Aku seperti dikutuk oleh Tuhan karena harus menikah denganmu. Tadinya aku pikir tidak masalah jika kamu tidak mau sholat atau mengaji, asal kamu lemah lembut dan sabar serta enggak berteman dengan narkoba. Ternyata kamu lebih jahat dari setan!" ucapku dengan lantang dan masih menangis. Aku langsung mengusap air mataku dan pergi keluar untuk ke kamar mandi mengambil air wudhu untuk meredam rasa amarah ini.
****
Untuk malam ini aku sama sekali tidak bisa tidur di dalam kamarnya. Mataku tak mau terpejam. Aku membuka handphone ku. Sesekali aku merindukan suasana di rumahku sendiri. Aku tidak mau berada disini lebih lama. Tiga bulan disini rasanya terpenjara.
Paginya aku sudah siap memasak setelah menunaikan sholat subuh. Tante Sindi juga mulai terbiasa bangun pagi untuk mengerjakan sholat subuh. Aku menyiapkan makanan dimeja makan. Hari ini aku izin tidak masuk kantor. Aku ingin sendiri dan berkeliling di kota ini.
Di meja makan, ketika semua orang sudah duduk dibangkunya masing-masing termasuk Rizki. Dia terus melihatku.
"Mata kamu kenapa, sayang?" tanya tante Sindi saat melihatku.
"Alergi, Bun." jawabku.
"Oohiya... Rizki nanti kamu bawakan Naya ke Klinik." ucap Tante Sindi. Rizki melihat ku dan menjawab, "Iya Bunda."
"Enggak usah Bunda. Hari ini Naya mau ke kantor." tolakku dengan berkata bohong.
"Iya, sebelum kamu ke kantorkan bisa ke Klinik."
"Terima kasih, Bun. Tapi enggak bisa." tolakku lagi. Rizki segera meninggalkan kami semua di meja makan. Aasyila juga mengikuti Abangnya ke arah kamar. Mereka sedang berbincang kemudian keluar lagi. Dan Aasyila pamitan tanpa diantar oleh Rizki.
"Mau bareng?" tanya Rizki padaku di depan Bundanya.
"Kalian berdua kenapa enggak ada romantisnya. Kalian sudah tiga bulanloh menikah. Tapi, Bunda belum lihat ada tanda-tanda mau jadi orang tua." kata tante Sindi yang menyindir aku. Sampai sekarang aku belum isi dan aku juga tidak mau membuka hijab ku di depan Rizki meski kutahu dia adalah suami sahku.
"Belum rezeki, Bun." jawabku. Lagi-lagi Rizki melihatku.
"Kalian enggak ada rencana untuk bulan madu?" tanya Bunda.
"Bunda, Rizki mau berangkat dulu." kata Rizki yang langsung mengabaikan pertanyaan Bundanya.
"Nay, mau bareng?" tanya Rizki. Aku hanya menggelengkan kepala ku saja. Tante Sindi mengerutkan dahinya melihat tingkah kami berdua. Ketika Rizki pamit pergi. Tante Sindi memanggil ku.
"Nay, kamu berantem sama Rizki?" pertanyaan tante Sindi membuatku tertegun dan tak berani menjawabnya. Aku diam saja. Menundukkan kepala.
"Rizki itu orangnya enggak bisa berantem lebih dari satu hari. Kalau kamu berantem sama dia..."
"Bunda, Naya berangkat dulu yah. Nanti kita bicara lagi, Bun. Assalamu'alaikum." aku memotong perkataan Bunda. Cepat-cepat aku melangkah keluar. Aku yakin pasti Bunda heran melihat sikap ku yang dingin pada pagi hari ini.

Balai RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang