"Nay, tidur disini aja!" ucap Rizki yang tak segan dan tak merasa bersalah karena sudah berbohong atas namaku.
"Kenapa kamu itu menjijikkan sekali. Ih.... ingin sekali aku menampar mu." sahutku mendekatinya yang sedang duduk di atas kasur bersama laptopnya. Dia sedang mengerjakan proyek yang akan presentasinya. Rizki hanya tertawa saja.
"Untuk yang terjadi pa...." aku langsung memotong perkataannya.
"Stop!!! Aku sudah melupakannya." jawabku. Dia memberhentikan tangannya dari keyboard laptop. Mata kami saling bertemu. Aku mulai berbicara.
"Aku ingin melanjutkan pendidikan ku, S-2."
"Ohiya? Aku kira mau punya anak." ledek Rizki. Dia memang kurang ajar dan tidak pengertian. Sikapnya tidak bisa ku tebak. Tapi, entah mengapa aku merasa kami mirip. Sifat kami selalu berubah.
"Kamu menyebalkan." cetusku dengan membulatkan netraku ke arahnya. Pria itu hanya tersenyum, dia kembali mengetik lagi. Sekitar lima menit kami hening. Sekali lagi aku menanyakan sesuatu yang mungkin akan menyakiti hatinya.
"Setelah apa yang terjadi, kamu enggak me... me, merasa sakit ha..." aku gugup ingin menanyakan, ditambah lagi Rizki langsung menoleh ke arah ku. Dia seperti tahu apa yang ingin aku tanyakan. Aku tidak melanjutkan pertanyaanku. Bibirku terasa kelu.
"Sebenarnya sakit. Sakit banget. Ditinggal di pelaminan. Tapi, lebih sakit lihat Bunda menangis. Mungkin jodohku yah kamu, hahaha." ucapnya melihat ku sembari menghela nafasnya. Matanya langsung berkaca-kaca.
"Terima kasih sudah mau menerima ku." ucapnya lagi. Dia menutup laptopnya dan pergi keluar. Aku langsung memanggilnya. Rizki menoleh, aku gugup ingin memperingatkan untuk tidak mabuk lagi meski hanya satu botol permalam. Rizki langsung mengerti, dia mengatakan kalau dirinya ingin meminum air putih saja. Oh syukurlah, sedikit lega aku mendengarnya.Malam ini aku tidak bisa tidur. Rizki juga belum tidur karena dia harus lembur katanya. Aku melihat dari atas, tepatnya di jendela kamar ku, suasana di malam hari di kota yang suara klakson masih bisa kudengar. Lampu berwarna-warni bertebaran membentuk sebuah titik-titik kecil seperti bintang di langit. Pukul 00:00 Wib, aku mengambil air wudhu untuk sholat witir dua raka'at. Selesai salam, Rizki mendekati ku.
"Kalau aku berubah menjadi lebih baik, tidak mabuk, tidak berteman dengan narkoba, tidak kasar sama istri, rajin sholat, rajin mengaji, rutin ikut kajian, ehmmm apalagi yah. Kira-kira kita berdua bisa enggak saling mencintai? Maksudku kenal lebih dekat, semacam itulah." tanyanya yang duduk di sampingku. Aku masih mengenakan mukenah berwarna putih.
"Gimana? Bisa tidak untuk mencintai ku? " tanyanya sekali lagi.
"Bisa saja, ehem... kamu terlihat aneh, Ki." jawab ku sedikit cetus dan meninggalkan dia.****
'Gimana? Bisa tidak untuk mencintai ku?'
Satu pertanyaan sukses membuat ku terlalu serius untuk memikirkannya. Aku jadi tidak fokus. Rizki selalu menanyakan hal itu setiap malam. Aku mengakui jika dirinya 58% sudah berubah dalam dua minggu terakhir ini. Menjelang bulan ramadhan dia seperti mendapatkan hidayah. Malam ini saat dia menelepon ku, dia hanya ingin memberitahu jika dia akan keluar kota untuk urusan pekerjaanya. Lalu ditelepon dia menanyakan hal yang sok romantis seperti anak SMA.
"Kamu pulangnya kapan?" tanyaku di telepon.
"Kenapa? Kamu rindu sama aku?" tanyanya.
"Itu sudah pasti! Semua orang selalu merindukan sosok seperti ku, hehehe..." katanya lagi.
"Aku tak mungkin merindukan mu meskipun kita satu atap. Aku hanya ingin memastikan apakah kau sudah minum air putih atau belum, itu saja." Ucapku.
"Hahaha... kamu lucu, Nay. Udah dulu yah, sayang. Hahaha... Assalamu'alaikum." jawabnya.
"Ih... oke, Wa'alaikumusalam." aku langsung menutup teleponnya dan tidur.Semakin hari Rizki memang semakin berubah. Dia tak segan untuk menunjukkan bahwa dia adalah suami yang romantis di depan Bunda dan Aasyila. Jujur aku tak semudah itu untuk membuka hati ku. Aku merasa tidak yakin jika Rizki benar-benar mencintaiku. Ada perasaan curiga. Bagaimana mungkin seorang pria melupakan kekasihnya yang selalu bersamanya selama tujuh tahun dengan hitungan detik karena si perempuan melarikan diri saat akad nikah dan menipu keluarga Rizki dengan membawa sejumlah mahar yang besar seperti merampok. Sampai sekarang belum ada informasi tentang keberadaan wanita itu. Akupun tidak tahu mengapa Lia pergi dari Rizki yang sangat perhatian dan lembut. Aku tahu Ketika Rizki kelas 2 SMA, dia pernah dipenjara selama tiga hari karena pergaulan bebas, yaitu berteman dengan narkoba. Itulah mengapa aku pernah menemukan banyak obat-obat terlarang di kamar mandinya. Sejak aku menangis dihadapannya, dia menjadi lemah dan mulai hidup tanpa narkoba. Aku selalu melihat dia lebih suka berolahraga untuk mengatur kehidupannya yang dicampuri oleh narkoba itu tidaklah mudah. Kadang dia sering muntah-muntah dan merasa pusing. Katanya, jika sudah candu maka hidup tanpa narkoba bagaikan hidup tanpa sebuah cinta untung saja ada Naya yang mengubah ku untuk memperjuangkan mendapatkan cintamu, Nay. Itulah kata-kata yang membuat aku tersenyum dan sedikit jijik sebenarnya. Dia mulai menggodaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balai Rindu
Ficción GeneralCerita tentang perjodohan tanpa direncanakan oleh kedua pihak keluarga. Perjodohan ini dilakukan untuk menyelamatkan kehormatan keluarganya. Akankah mereka berdua saling menerimanya? Oke sebelum kalian baca jangan lupa vote, follow, dan letakkan di...