Empat

607 55 6
                                    

Katakanlah ini momen yang paling menegangkan dan membuatku pusing setengah mati. Sedari tadi aku hanya bisa mundar mandir dari satu sudut ke sudut lain yang ada di kamar. Bahkan setelah merasa lelah dengan aktifitas yang tidak karuan itu aku memilih untuk berdiam diri sembari memeluk si White, kucing kesayangan ku. Itupun dengan pikiran yang masih berbelit seperti benang kusut. Padahal sebelumnya Bunda menyuruhku untuk segera bersiap-siap.

Bisa saja aku menyiapkan diriku semaksimal mungkin untuk menyambut kedatangannya ke rumah ini. Tapi bagaimana dengan hatiku yang masih belum siap akan kehadiran Kak Irham yang sama sekali belum aku kenal mengetahui akan sosok diriny yang seperti apa.

Seharusnya aku juga bahagia ketika ada lelaki yang mau membuktikan niat baiknya untuk mengajak ta'aruf. Tapi ternyat menerima seorang lelaki tak semudah menerima seorang teman.

Entah mengapa waktu berputar begitu cepat, jam kini sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam. Sedari tadi aku menunggu kepulangan bang Fahri, tapi dia belum kunjung menampakan batang hidungnya juga.

Aku yang masih dalam keadaan bingung, tak lama kudengar suara pintu kamar yang di buka, yang tak lain adalah Bunda.

Bunda menetapkan pandangannya ke arahkhu yang masih mematung di atas kursi rias. "Loh, ko belum siap-siap?" tanya Bunda yang membuatku menutupi seluruh permukaan wajah dengan kedua tangan.

"Anisa bingung, Bunda."

Bunda menghela napas singkat. "Kalau kamu terus diam seperti ini akan semakin bingung. Semuanya harus di jalani. Bukan dihindari," jawab Bunda lembut.

Aku pun menghela napas kasar dan menatap Bunda. "Bang Fahri kemana, Bun? Apa masih belum pulang juga?" tanyaku yang malah mengalihkan ucapan Bunda.

"Katanya sih Kakak kamu bentar lagi juga sampai. Dia sedikit telat, soalnya lembur."

Aku pun kembali menelungkup dan menghela napas berat. Sedangkan Bunda memilih mengusap kepalaku secara perlahan.

"Kita hadapi baik-baik. Insya Allah semua akan Baik-baik saja. Toh kalau jodoh gak akan kemana,"kata Bunda.

"Tapi Anisa takut, Bun!" kata ku yang langsung memeluk Bunda.

"Ngapain takut, hadapi semuanya dengan kepala dingin. Tapi Bunda yakin cowo yang mau datang kesini itu pastu lelaki baik-baik," kata Bunda penuh keyakinan.

"Akh Bunda. Lagian Bunda belum liat orangnya," kataku memonyongkan bibir dengan tangan menyilang.

"Iyalah, lagian kalau dia bukan cowok baik, mana mau ke rumah buat nemuin Bunda."

Ucapan Bunda yang membuatku terdiam dan berpikir sejenak.

Benar juga apa yang Bunda katakan, lelaki yang main-main tidak akan mungkin mau datang ke rumah seorang perempuan, apalagi menghadap orang tua dan keluarga. Harusnya aku bersyukur ketika ada lelaki baik dan sukses datang menemui keluargaku dan mengutarakan niat baiknya. Bukan menghindarinya seperti ini.

Tapi bagaimana pun hati tidak bisa berbohong. Aku masih ragu akan dirinya. Banyak yang aku takutkan dengan semua ini.

Andaikan saja pacaran itu diperbolehkan oleh Islam, mungkin dari dulu aku sudah berpacaran agar bisa mengenal seorang lelaki lebih dekat. Namanya pacaran tetap saja pacaran tidak ada yang pacaran sehat. Menatap wajah lelaki yang bukan mahram nya saja sudah dosa, apalagi berpegangan tangan, berpelukan, bahkan berboncengan.

Dan semoga saja apa yang Bunda katakan itu semua benar, kalau kak Irham memang lelaki yang baik. Dan apa yang aku takutkan akan hilang dengan sendirinya.

Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang