“Kau benar-benar mengucapkan kata-kata tersebut kepadanya?” tukas Zeki setengah berbisik di dekatku.
“Memang kenapa? Apa kau ingin membelanya dibanding istrimu sendiri?” tuturku dengan napas naik turun menahan geram oleh perkataannya, “aku tidak akan kesal seperti sekarang, jika saja dia meminta kita untuk memberikan waktu untuknya berpikir. Tapi, dia menolak adikku begitu saja sebelum dia memikirkan niat baik adikku itu … Aku kesal sekali!”
“Apa kurangnya Ryu? Dia tampan, baik dan juga kuat … Kalau saja dia bukan adikku. Aku akan langsung menerima lamarannya tanpa perlu banyak berpikir,” sambungku, sambil terus berusaha untuk mengatur emosi yang kian naik turun.
Wajahku sedikit bergerak meminggir, tatkala telapak tangan Zeki berulang-ulang menepuk pipi kiriku. “Itu karena kau sudah sangat mengenal adikmu, karena itu kau dapat mengucapkan kata-kata tersebut. Apa kau lupa? Sudah berapa kali lamaranku ditolak mentah-mentah olehmu di kehidupan sekarang?” ungkapnya yang dengan seketika membuatku terdiam dengan bibir yang kugigit kuat.
“Lalu, apa kau lupa? Sudah berapa kali kau berusaha untuk lari dariku, di saat kau kehilangan kepercayaan padaku?”
“Itu-”
“Itu? Itu apa?” sahutnya menimpali ucapanku. Kedua alisnya sedikit terangkat, ketika mata kami berdua saling bertaut.
“Situasinya denganku di saat itu berbeda dengannya. Aku memiliki banyak pilihan laki-laki yang mumpuni untuk menjadi calon suamiku. Namun, dia sebelumnya berkata bahwa tidak ada laki-laki yang sudi mendekat kepadanya … Tapi yang ia lakukan sekarang justru terbalik dengan apa yang ia ucapkan. Bukannya dia bersyukur ada laki-laki baik yang ingin meminangnya, menjamin kehidupannya, tapi malah dia sia-siakan begitu saja.”
“Apa lagi? Kali ini apa lagi?” sahutku ketika bibirnya tak henti-hentinya tersenyum menatapku. “Banyak pilihan laki-laki? Siapa mereka dan dari Kerajaan mana saja? Dante? Savon? Atau temannya kakakmu yang kita temui saat di Kerajaan Il?”
Terkutuklah mulutmu itu, Sachi! Kenapa kau selalu mudah terpancing oleh apa yang ia lakukan!
Bibirku tersenyum membalas tatapannya, “suasana hari ini sangatlah cerah, kan, Darling?” tukasku, Zeki hanya membalasnya dengan anggukan kepala saat aku mengucapkannya sambil menepuk lengannya, “karena suasananya yang sangat cerah ini. Janganlah kau buat suram dengan semua pikiran yang kau tahu tidak akan pernah terjadi. Aku mencintaimu … Itu, sudah cukup menjadi alasan, untuk aku memilihmu dibanding mereka semua.”
“Selamat untuk hasil didikanmu, Haruki. Wah, aku bahkan terkagum-kagum dengan semua kata-kata yang keluar dari bibirnya-”
“Diamlah, Izu-nii!” pintaku, kepada sahutan Izumi yang berjalan di depan kami.
“Aku bahkan tidak perlu untuk mengajarinya soal ini. Dia, sudah pandai merangkai kata-kata … Bahkan sebelum dia mengenal kita berdua.”
“Nii-”
Kata-kataku terhenti diikuti langkah-langkah kaki kami yang juga turut berhenti. Dengan cepat, kubuang tatapan mataku itu, ke arah seekor kuda yang berlari cepat ke arah kami semua. Zeki menarik tubuhku ke belakang punggungnya saat kuda yang aku maksudkan itu berhenti tepat di samping kami. “Kalian, apa seperti ini kalian bersikap terhadap keluarga kalian sendiri?” tukas perempuan tersebut dengan menatap kami bergantian dari atas kuda yang ia tunggangi.
Alisku mengernyit, berusaha untuk mengingat-ingat sosok perempuan itu. “Apa kau, Sarnai? Putri dari Paman Ulagan?” tukasku, berusaha memastikan ingatanku kepadanya.
“Sarnai?” sambung Izumi menimpali ucapanku.
“Aku mengingatnya, karena saat kita dipinta untuk melatih tubuh di sini. Haru-nii, diperintahkan untuk menjadi budaknya selama satu hari penuh-”
“Kau benar. Aku baru mengingatnya,” sahut Haruki yang turut menimpali perkataanku kepada Izumi sebelumnya.
“Baguslah kalau kalian mengingatnya. Sore nanti, Kakek, Ayahku dan juga Paman akan pulang … Aku melihat kedua laki-laki di sana berkemas, dan itu berartikan kalian akan pergi setelah ini.”
“Setidaknya!” tuturnya kembali, dengan intonasi suara yang sedikit meninggi dari sebelumnya, “tunggu dan sapa mereka sebelum kalian pergi. Jangan beranggapan bahwa suku ini, merupakan tempat yang bisa kalian datangi kapan pun yang kalian inginkan!”
“Sarnai!”
Mataku beralih ke arah suara perempuan lainnya yang berlari mendekat. Perempuan tersebut berhenti, dengan membungkuk di samping kuda yang ditunggangi Sarnai. “Ma-” ucap perempuan tersebut, dia berusaha menepuk dadanya sendiri yang terlihat turun naik oleh napasnya yang tak beraturan, “maafkan, jika Sarnai mengucapkan sesuatu yang membuat kalian kesal,” sambung perempuan tersebut, sambil sesekali meneguk ludahnya sendiri menatapi kami.
“Siapa kau?”
“Aku?” sahut perempuan tersebut, dengan mengalihkan tatapan kepada Izumi yang bertanya, “aku Chimeg, Putri dari Paman kalian, Altan. Kalian benar-benar tidak mengingatku? Padahal, saat kalian pertama kali datang ke sini, aku ikut menyambut kalian bersama Kakek, Ayah dan Saudara laki-lakiku.”
“Lupakan terlebih dahulu soal itu,” sambungnya dengan jari telunjuk yang bergoyang, “Ibu-ibu kami, yang bisa dikatakan Bibi kalian. Mereka mendengar kabar kedatangan kalian ke sini, dan mereka sudah menyiapkan santapan untuk kalian makan. Jadi, ikuti kami!” tuturnya kembali, dengan kedua tangannya yang terangkat ke samping.
“Sarnai! Aku lelah berlari mengejarmu, jadi bawa aku bersamamu!” pungkas perempuan bernama Chimeg itu kembali, diikuti tubuhnya yang bergerak menaiki kuda yang ditunggangi oleh Sarnai.
“Apa yang kalian tunggu? Cepatlah!”
Aku melirik ke arah Haruki yang masih terdiam, setelah Chimeg kembali bersuara. “Baiklah. Tidak ada salahnya menunggu sedikit lebih lama. Kita pun, jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama,” ucap Haruki sambil melangkah mengikuti kuda yang berjalan di depan kami.
Kakiku, ikut melangkah mengikuti jejak-jejak mereka. Kami kembali berhenti, di depan tiga buah tenda besar yang berjejer di depan, lengkap dengan banyak sekali makanan yang disusun rapi di sebuah tikar yang terbuat dari anyaman. “Ibu! Bibi! Kami sudah membawa mereka!” teriak Chimeg, ketika dia sendiri telah turun dari kuda yang ditunggangi Sarnai.
Pandangan mataku terjatuh ke arah dua perempuan yang keluar dari salah satu tenda sambil membawa nampan di masing-masing tangan mereka. “Kalian telah datang? Duduklah! Bibi berdua sudah menyiapkan semua makanan untuk kalian,” tukas salah satu perempuan paruh baya yang telah duduk dengan meletakan nampan berisi gelas kuningan di dekatnya.
Haruki membalas lirika kami dengan anggukan. Kulepaskan alas kaki yang kukenakan itu, sebelum kedua kakiku melangkah lalu duduk di atas tikar yang sudah dipersiapkan. “Bibi telah mengenal Ryu, karena dia sudah banyak membantu kami. Kau pasti, Izumi! Dan kau, Haruki … Lalu,” ucap seorang perempuan yang lain, ketika dia telah menyusul duduk di hadapan kami, “apa kau, Sachi?” lanjutnya, kepalaku mengangguk saat matanya itu terjatuh kepadaku.
“Yang di sebelahmu itu, pasti suamimu, bukan?”
“Bibi benar. Dia suamiku, Zeki,” sahutku, kepala Zeki sedikit mengangguk setelah aku memperkenalkannya.
“Bibi kemarin sangatlah kecewa, saat kalian tiba-tiba pergi sebelum kami sempat menyambut kalian-”
“Sudahlah, Khunbish! Mereka pasti melakukannya karena ada alasan. Silakan! Makanlah! Makanlah yang banyak! Kakek dan Paman kalian, kemungkinan akan pulang sebentar lagi,” tukas salah satu perempuan yang menjadi Bibi kami itu, sambil beranjak dengan memberikan beberapa tumpuk piring ke arah kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...