2. Diskusi

20.6K 1.9K 49
                                    

"Loh, apa-apaan ini. Kamu kenapa, Nia? Kok tiba-tiba bahas tentang menikah? Selama ini kamu nggak membahas ingin menikah muda." Pria berwajah tampan itu sudah terlihat sangat bingung.

"Menikah muda apanya sih, Ta? Kita bukan manusia muda lagi," sahut Nia. Jelas dari wajahnya terpancar kebingungan dan keresahan. Tak ada senyum atau celotehan panjang lebar yang biasanya.

Dipta menatap Nia semakin heran. "Maksudku menikah cepat. Kenapa galak banget sore ini? Loh, katanya belum ada rencana mau nikah dalam tahun ini. Kenapa kamu jadi mau menikah?" Napasnya yang memburu ditandai dengan hidungnya yang kembang-kempis dan matanya melebar, pria itu pasti terkejut banget sebab Nia akan membahas masalah besar ini.

Seminggu setelah pembicaraan terakhir Nia dengan Mama dan Aisla, kini saatnya gadis itu menyampaikan keresahannya pada Dipta. "Tahun depan aku udah 32 tahun, kamu masih 27 tahun. Kesehatanku ini-"

"Kesehatan? Bahkan kamu pernah bilang mau childfree. Kok jadi mikirin ke kesehatan rahimmu? Kamu jadi pengen punya anak?" tanya Dipta heran. "Ngikutin tren teman-temanmu yang udah menikah dan punya anak?"

Ya, Nia pernah membahas bersama Dipta, keinginannya yang tak mau punya anak. Tepatnya saat mereka baru berhubungan selama 6 bulan. Itu sudah lama sekali. Saat itu usia pernikahan Elyn masih baru. Jadi, Nia tak tahu bakalan akan berhadapan sama keinginan Mama itu saat ini. Wanita itu tak tahu Mama menaruh harapan besar Nia akan bisa memberikan cucu imut. Karena sesungguhnya Nia tak suka banget sama anak kecil. Nia hanya sebatas suka dan gemas dengan anak kecil di foto. Bahkan anak-anak temannya. Kecuali anak kecil itu bukan anaknya yang harus dipertanggungjawabkan kalau mereka bikin ulah seperti mengacak-ngacak atau berisik. Nia suka anak kecil yang diam dan lucu. Bukan anak kecil yang merepotkan.

"Mama ingin aku punya anak. Walau aku masih abu-abu soal itu. Tapi aku udah pernah cerita tentang kondisi Elyn, kan?" Nia menatap pria itu yang kelihatannya sudah pucat pasi.

"Aku kira kamu masih memiliki keinginan childfree itu."

"Bukannya waktu kamu melihat anaknya Nur, kita langsung obrolin lagi gimana jika kita punya anak nanti. Inget kan, aku nggak siap sama tanggapan Aisla dan Mama yang tentu menentang itu dan mempersiapkan diri terbuka dengan pilihan lain, misalnya di tengah pernikahan kita, aku harus dituntut wajib memiliki anak." Nia menghela napasnya. Dia menatap Dipta yang memikirkan sesuatu.

"Iya, aku juga ingin memiliki anak. Tetapi nggak secepatnya juga," tepis Dipta.

Nia tahu itu kalau Dipta itu orangnya santai dan tak pernah menuntut. Kekurangannya sulit diajak serius berkomitmen. Aisla benar, Dipta bagai air yang masih mau bergerak bebas.

"Mama ingin aku lebih dewasa memikirkan pernikahan dan anak. Kakakku berisik banget nanyain terus, aku lumayan terganggu sama dia. Dia bilang aku nggak dewasa, kekanakan karena nggak merencanakan masa depan." Nia tak perlu menambahkan informasi yang Aisla katakan bahwa manusia yang tak menikah sebelum meninggal adalah orang yang rugi. Bisa diketawain 10 tahun.

"Dewasa nggak diukur dari menikah atau enggak. Yang memilih enggak menikah udah memikirkan segala dampak dan akhirnya berani memutuskan itu. Dewasa itu bertanggungjawab sama pilihannya saat menghadapi masalahnya."

"Dewasa itu juga yang melihat jauh ke depan, untuk merencanakan. Makanya aku memutuskan ini."

"Menurutmu aku nggak melihat ke depan?" tanya Dipta serius.

"Kalo gitu, kapan kamu mau menikahi aku?" Nia berani menanyakan itu langsung.

"Aku nggak tahu." Dipta menjawab cepat lalu terlihat mendesis pelan.

"Bahkan kamu nggak bisa memikirkan kapan tahunnya, ya kan?"

"Jadi kamu nggak mau menunggu sama aku?"

"Mau sampai kapan aku menunggu lagi? Sampai kapan akhirnya kamu mau berani mengambil pilihan dan merencanakan menikahi aku?"

Dipta terlihat lelah dan membuang napasnya. "Kehidupanmu diatur oleh keluargamu termasuk pernikahan?"

"Nggak semua keluarga terbuka dengan keputusan-keputusan baru seperti ini," sahutku lalu menatap ke arah luar jendela kafe. "Inilah Ta, kalo aku melawan, anak durhaka itu selalu ada, tapi orang tua durhaka nggak pernah ada. Tapi Mama bener sih, aku harus memutuskan jalan nggak akan diam aja di zona nyaman begini."

"Jadi, kalo aku nggak bisa ngasih kepastian, kita akan berakhir? Kita selesai tanpa kamu mempertimbangkan memikirkannya lebih lama lagi?"

Kepala Nia mengangguk. "Iya."

"Dengan kamu putus sama aku begini, alasannya aku nggak bisa memberikan kepastian menikah, memangnya jodohmu langsung muncul, Nia?" tanya Dipta khas seperti dirinya yang blak-blakan. Lumayan sadis dan dia memang begitu orangnya.

Nia mengalihkan pandangan pada Dipta, sejak beberapa detik yang lalu rasanya dia tak akan kuat melihat tatapan mata Dipta. "Ya setelah putus, kalau kamu nggak bisa menjanjikan apa-apa, Mama bakal bantuin mencari kenalan. Siapa tahu aku langsung dapet jodoh, karena ternyata selama ini pintu jodohku terhalang oleh kamu."

Sudah mulai terlihat kan kenapa Nia sangat cocok dengan cowok di depannya. Tidak semua orang tidak akan marah kalau dibercandain dengan kata-kata menohok begitu. Mereka memiliki selera bercanda yang sama.

Dipta terlihat tertawa pelan, Nia berusaha agar tidak menangis di sini. Perempuan itu memandangi wajah Dipta yang juga sama terlukanya atas pembicaraan ini. Sulit membayangkan Nia tak akan bisa bersama dengannya selama seperti dalam bayangannya selama ini.

"Pergi aja Nia, kamu pantas bersama orang yang lebih baik. Kalo aku menjadi kamu, aku juga akan memilih keputusan dengan yang serius siap dalam ikatan lebih jauh itu. Maaf, aku sama sekali nggak ada bayangan untuk kita, bahkan dalam satu tahun ke depan pun nggak ada."

Sejadi-jadinya Nia menangis tersedu-sedu di depan Dipta. Tidak bisa ditahan lagi, Nia sesak dan sedih mendapati Dipta memberikan kesaksian bahwa Nia tak ada dalam bayangan hubungan serius dengan pria ini. Perpisahan yang damai tetapi sangat menyakitkan.

"Ta, kamu serius nggak mau berpikir lagi untuk merencanakan kita?" pekik Nia tanpa sadar dengan nada tinggi. Apa-apaan ini, masa Dipta mau menyerah begitu saja tanpa berpikir matang-matang dulu?

"Nia,"

"Ta, cuma sama kamu, aku pernah berani bayangin punya seorang anak." Nia tahu betul jika menikah dengan Dipta, dia akan hidup dalam nuansa yang aman dan menyenangkan. Hanya pada Dipta, Nia percaya bahwa dia tak akan hidup dengan orang yang kasar dalam lingkungan yang keras. Hanya pada Dipta, Nia ingin anaknya tumbuh dalam rasa aman, penuh kasih sayang, dan mereka akan baik-baik saja.

Nia merasakan selama ini tempat itu sangat layak diisi oleh Dipta. Sayangnya, itu hanya bayangan indah Nia belaka.

💍💍💍

Sabar ya Teh Nia, Dipta cocoknya ama aku 🙄

9 MEI 2021

CompromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang