"Astaga!" Eira menegakkan tubuh. Matanya melebar kala menangkap sosok Keinan ada di hadapan.
Keinan menjauhkan telunjuknya dari dahi yang nyaris saja mencium bibir gelas. Di dalam benda tersebut terdapat kopi yang masih mengepulkan asap.
Bukannya menikmati aroma kopi untuk mengulur waktu supaya mata tetap terbuka, Eira justru terus membaca berkas laporan kasus seorang pasien kanker payudara bilateral alias kanan-kiri. Rencananya, pasien tersebut akan dioperasi untuk ketiga kalinya besok. Namun, kondisinya sedang tidak stabil sejak dua hari yang lalu.
"Kamu mau bikin wajahmu melepuh?"
Sadar jika nyaris cuci muka menggunakan cairan hitam pekat bin panas itu, Eira menyengir. Ia lantas menggeser sedikit gelas kopi menjauhi tubuh. Kedua tangannya membereskan beberapa lembar kertas dan sebuah buku tentang kanker dengan cekatan.
Keinan tetap berdiam seperti manusia es. Sementara itu, Eira meregangkan otot-otot kakunya dengan cara merentangkan kedua tangan ke atas. Bahkan kedua netranya sampai terpejam. Ekspresinya begitu santai dan nyaman bak bayi mungil menggemaskan baru bangun tidur.
Sadar laki-laki itu masih memperhatikannya, Eira segera memasang mimik normal. Tangannya kembali di atas meja sementara kepala agak mendongak. Ia menelisik ke wajah bergaris rahang jelas itu untuk beberapa detik.
Tidak seperti Galen yang akan langsung bertanya jika berada di posisi itu. Keinan justru bergeming.
Eira tidak tahu apakah Keinan merasa gugup atau tidak. Ia sungguh penasaran karena sosok tersebut minim ekspresi. Saat ini saja yang ia tangkap adalah wajah pucat datar, tetapi bukan vampir tentunya dan juga sorot dingin. Ia tidak tahu jika ternyata tatapan itu tengah membekukan kegugupan agar tetap terkurung di dalam sana.
Ah! Eira jadi ingat masa-masa mereka berkenalan sebelum akhirnya dekat seperti ini.
"Dokter akan lebih kelihatan tampan kalau bisa ramah ke semua orang," celetuk Eira dengan enteng. Tidak ada rasa gentar jika Keinan mengamuk.
Jika saja yang berkata demikian adalah orang lain, sudah dapat dipastikan jika jantung orang itu tidak akan selamat. Aura apatis dan sorot seruncing panah es adalah kombinasi yang pas untuk Keinan membelenggu mereka.
Keinan menaikkan sebelah alis dan bersedekap. "Maaf, mereka bukan kamu."
"Padahal Dokter banyak yang mengagumi diam-diam, lho!" sahut Eira. "Kalau mengesampingkan sifat ya ... gitu, sih!"
Untuk meladeni perkataan itu, Keinan bertanya, "Kalau kamu, apa ada di antara mereka?"
Suara berat dan dingin milik Keinan itu seperti pasak. Eira duduk dengan kaku setelah mendengarnya.
Melihat reaksi yang diharapkan, Keinan mengangkat satu sudut bibir. Jelas sekali tercipta senyum kemenangan licik. Hah! Benar-benar Eira tidak tahu dengan siapa sedang bicara.
Eira berdeham, lalu berdiri. Ia menuding dada Keinan dengan pulpen. "Dokter Keinan Dwitama, saya ini kagum pada Anda karena satu hal, yaitu saat Anda mempresentasikan kasus kanker payudara dengan neutropenia[4]."
"Dari kagum, bisa berubah suka," sahut Keinan sebelum beranjak keluar.
Rahang Eira nyaris jatuh saat mendengar kata-kata tidak terduga itu.
_________________
[4] Jumlah sel neutrofil (salah satu sel darah putih) yang rendah di tubuhMay, 9 2021; 11.58 PM
Thank you,
Fiieureka
KAMU SEDANG MEMBACA
Chance to Change
RomansaRasa bersalah yang terabaikan seiring berlalunya waktu membuat Galen tidak mengenali salah satu korban bully-nya semasa SMA, Eira. Di sisi lain, Eira hanya butuh waktu beberapa detik untuk mengenali Galen saat mereka dipertemukan lagi di RS Lovelett...