Kacamata Baru

4 0 0
                                    

Pukul sembilan pagi.

Bel istirahat telah berbunyi. Para siswa berbondong-bondong keluar kelas. Langkah kaki mereka terdengar memenuhi lorong-lorong sekolah. Beberapa menuju kantin, sembari berbincang dengan teman di sebelahnya. Yang lainnya berlarian menuju lapangan, tidak sabaran. Bola basket mereka pantul-pantulkan, membuat beberapa siswa menyingkir, merasa terganggu. Ada juga yang bergerombol di depan kelas, bermain game online, saling memberi informasi, tampak berisik. Satu-dua siswa memutuskan diam di kelas, menghabiskan bekal yang dibawa dari rumah.

Ray menghampiri meja di sudut kelas, menuju tempat sahabatnya. Terlihat dia asyik sekali memainkan gawai. Entah apa yang dia mainkan.

"Hei, kau tidak pergi ke kantin, Dion?"

Yang ditegur mengangkat kepalanya, menggeleng. "Oh, kau Ray. Tidak, aku tidak lapar."

"Apa yang kau mainkan?"

Dion menunjukkan gawainya. "Hanya game catur biasa. Belakangan ini jadi game populer gara-gara si Dewa Kipas yang viral itu."

Ray tertawa. "Oh itu ya, yang akhirnya dia kalah oleh Grandmaster itu."

Dion mengangguk. Matanya kembali fokus menatap gawai.

"Jadi bagaimana, hubunganmu dengan Hana?"

"Hana?" Dion mengangkat kepalanya lagi, menatap tidak mengerti.

"Iya, cewe yang selalu jalan bareng denganmu itu."

Dion mengangkat bahu. "Dia teman mainku dari kecil. Tidak aneh kan kalau kita sering jalan bareng."

Ray menggaruk-garuk kepalanya. "Beberapa orang menyangka kalian pacaran. Sepertinya dia juga menaruh hati ke kamu."

Dion tertawa. "Ah, kita cuman teman biasa. Jangan terlalu percaya sama omongan mereka kau."

Ray masih menggaruk-garuk kepalanya.

"Baiklah, jika kau berkata seperti itu. Aku percaya saja."

Sementara di sudut kelas lainnya, terlihat dua orang siswi sedang asyik menghabiskan bekal mereka sembari mengobrol ria. Kadang terdengar cekikikan dari mulut mereka.

"Gimana hubungan kamu sama si Dion itu?" Michelle mencopot sembarang topik lainnya.

Hana tersipu malu. "Ah, enggak ada apa-apa. Kita cuman temen biasa, dari kecil."

"Tapi kan, kamu kemarin bilang kalau kamu suka dia."

Muka Hana tambah memerah. "Iya, tapi sepertinya dia biasa-biasa aja."

Michelle mendengus. "Dasar anak cowo, enggak pekaan."

Hana tertawa. "Mungkin udah dari sananya."

Michelle mendekat, mengecilkan suaranya. "Bagaimana kalau kamu coba uji dia?"

"Uji bagaimana?"

"Coba besok kamu ganti kacamata. Kamu kan baru beli kacamata, belum pernah dipakai di sekolah. Kalau dia sadar, berarti selama ini dia suka perhatiin kamu juga."

Hana berpikir, mulai tertarik. Sepertinya bisa dicoba.

Hana mengangguk. "Baiklah, besok aku coba."

*****

Besoknya.

Hana berjalan pelan, menghampiri meja Dion. Ia menoleh sekilas kearah Michelle. Terlihat Michelle memberikan semangat sambil mengepalkan tangannya. Hana tersenyum. Jantungnya semakin berdetak kencang. Akhirnya, ia persis berada di sebelah Dion.

Dion yang merasa ada orang di sebelahnya, menoleh. Mata mereka berdua bertemu.

"Ha-Hai, Dion," Hana menyapa, terbata-bata.

"Eh, iya Hana. Ada apa, ya?" Dion bertanya. Ray yang juga sedang berada disana, ikut menoleh.

"Eh, ehmm, tidak ada apa-apa. Maaf mengganggu," Hana menunduk, berusaha menyingkir. Duh, Hana, ngapain sih? Bikin malu saja, ia mengutuk dirinya sendiri.

"Eh, Hana, sebentar," langkah kaki Hana terhenti. Hana membalikkan tubuhnya, kembali menatap Dion.

Dion menatap tajam. Hana merasa canggung, mukanya memerah.

"Kamu ganti kacamata?"

Deg! Jantung Hana kian berdetak. Ia menyadarinya? Hana bertanya-tanya.

"I-Iya. Aneh, ya?"

Dion menggeleng. "Kacamata itu cocok sekali dipakai olehmu."

Muka Hana kian memerah, sudah seperti kepiting rebus.

"Co-Cocok?"

Dion mengangguk. "Benar. Cocok sekali dipakai oleh cewek kutu buku sepertimu."

Eh? Hana mematung. Ray menepuk dahi, dasar Dion bodoh. Michelle menahan ketawa.

"Eh, bener kan?" Dion bertanya, merasa bingung.

Muka Hana memerah, malu. Dia melepaskan tas yang sedari tadi digendongnya, lantas melemparnya keras-keras kearah Dion. BUK! Telak sekali. Dion terjungkal.

"DION MENYEBALKANNN!!!" Hana berteriak, berlari meninggalkan kelas. Mukanya sudah sangat memerah. Michelle di belakangnya mengejar, tertawa-tawa.

Dion mengusap-usap mukanya yang terkena tas. Dia menoleh ke Ray.

"Memangnya aku salah, ya?"

Ray menatap datar. "Entahlah. Coba kau pikirkan sendiri. Aku sedang malas ngobrol dengan orang bodoh macam kau."

Dion menggaruk-garuk kepalanya, tidak mengerti.

Serial Dion dan HanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang