XXI : The Day I Wish Never Come

594 95 34
                                    

Sejak hari itu, hari dimana hatinya teriris pilu mendengar perkataan lelaki itu, semuanya seolah mimpi buruk bagi Jeongyeon. Bukan hanya sekedar perkataan, tetapi sikap lelaki itu yang mengacuhkan dan menarik diri darinya juga menghujam hingga relung hatinya. Ia selalu bertanya-tanya, akankah ia dapat terbangun dari mimpi buruk ini?

Tidak akan.
Ini memang kenyataan.

Kenyataan pahit yang menyesakkan itu membuat Jeongyeon sulit berpikir jernih. Namun secercah harapan yang dititipkan tuhan untuknya membuat gadis itu bertahan.

Memikirkan calon bayi mungil di dalam rahimnya selalu memunculkan senyumnya kembali. Malaikat kecilnya menjadi hal yang membuat ia percaya bahwa badai yang menerjang hidupnya suatu saat akan berakhir.

"Makanlah, Noona."

Jeongyeon tersentak dan mengalihkan pandangan dari jalanan basah dibalik kaca kafe di seberang bimbingan belajar tempatnya bekerja. Ia kemudian tersenyum lemah pada lelaki yang baru saja duduk didepannya dengan membawa roti lapis dan cangkir kertas berisi coklat hangat. "Terima kasih, Jaehyun-ah," kata Jeongyeon sebelum mengambil dan memakan makanannya lalu kembali menatap kosong.

Suara hujan yang jatuh ke bumi menemani istirahat Jeongyeon dan Jaehyun petang itu. Sambil menggigit roti lapisnya di dalam mulut, Jaehyun menatap gadis didepannya dalam diam. Ia mengikuti arah pandang Jeongyeon sebentar lalu kembali memandangi wajah gadis itu. Akhir-akhir ini, pandangan gadis itu selalu kosong dan benar-benar tampak putus asa.

"Noona, kau tampak berbeda beberapa hari terakhir ini. Semuanya baik-baik saja?"

Jeongyeon kembali menolehkan kepalanya ke arah Jaehyun dan tersenyum muram. "Ya, tentu. Semua baik-baik saja," jawabnya yang hanya dibalas tatapan tidak percaya dari Jaehyun. Karena hal tersebut, ia menambahkan tawa kecil yang dipaksakan agar Jaehyun tidak lagi menatapnya seperti tadi. "Sungguh."

Tawa kecil Jeongyeon membuat sudut bibir Jaehyun terangkat. Ia tahu, tawa itu sedikit dipaksakan namun tetap saja hatinya menghangat mendengarnya.

"Ngomong-ngomong, aku harus masuk kelas sekarang. Kau mau langsung pulang atau masih menunggu hujan sedikit reda?" tanya Jeongyeon yang mulai membereskan sampah makanannya diatas meja.

Jaehyun menatap hujan di luar sana. Walaupun sudah tidak deras seperti tadi, tapi ia lebih memilih untuk tetap menunggu. "Kurasa lebih baik untuk menunggu sebentar lagi. Aku tidak membawa jas hujan."

Alasan klise. Jaehyun tahu betul alasannya untuk tidak pulang saat ini bukan karena hal tersebut. Ia hanya ingin menghabiskan sisa harinya dengan melihat gadis itu lebih lama. Karena jadwal mengajarnya yang baru sudah tidak sama dengan jadwal gadis itu.

"Baiklah. Kalau begitu aku pergi sekarang, Jaehyun-ah. Hati-hati saat pulang nanti." Jeongyeon berjalan keluar kafe lalu mengambil payungnya. Baru saja ia hendak melangkah menembus hujan, suara Jaehyun menahannya.

"Kalau hujan sudah reda dan Taehyung Hyung tidak dapat menjemput Noona, aku tidak keberatan jika Noona ikut denganku," ucap Jaehyun dengan nada sedikit gemetar. Astaga, dasar bodoh!

***

Hati Taehyung merasa teriris menatap objek yang dilihatnya dari balik kaca hitam mobilnya. Ia mencengkram stir mobil dengan kuat lalu mendesah keras. Seharusnya ia yang berada disana. Seharusnya ia tidak menolak permintaan gadis itu. Seharusnya ia berhenti menjauhi dan menyakiti hati gadis itu. Kini, ia hanya dapat menahan perih yang bergejolak dalam dadanya.

Rasa sesak semakin menggerogoti hatinya begitu objek yang tadi dilihatnya di depan gedung bimbingan belajar tempat Jeongyeon mengajar melintas disamping mobilnya. Walaupun ia hanya dapat melihat sekilas dan walaupun gadis yang duduk di belakang jok motor itu menggunakan helm, mata Taehyung menangkap jelas sorot lelah yang tergambar di kedua bola mata Jeongyeon.

Rules of Love (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang