Empat Puluh Tujuh

49 21 14
                                    

47.

Arhan menundukkan kepala. Ia tak berani menatap seseorang yang sekarang tengah duduk dihadapanya dengan tatapan nyalang. Wajah pria paruh baya yang biasa disebut Ayah itu tampak sangat penuh emosi bisa dilihat dari wajahnya yang sudah sangat memerah.

"MAU JADI APA KAMU HA?!"

"MENYESAL SAYA PUNYA ANAK KAYA KAMU!"

"BISANYA BUAT MALU DOANG!"

"KEMARIN-KEMARIN DI-SKORS DAN HAMPIR DI KELUARKAN DARI SEKOLAH. SEKARANG MASUK PENJARA!"

Suara nyaring dan tak tahu tempat itu sudah menjadi hal biasa bagi Arhan. Arhan tak lagi tersentak kaget. Ia hanya menarik napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa emosi terhadap Ayahnya itu.

Verel berdiri seraya mengebrak meja. Kemudian ia memijat pelipisnya yang terasa pusing. Sedangkan wanita di sampingnya berusaha menenangkan, namun dengan raut wajah sinis melihat Arhan.

PLAK

Satu tamparan mendarat di pipi kanan Arhan. Ia terkejut sangat tidak menyangka jika Ayahnya itu akan melakukan hal itu. Ia memegang pipi kananya yang sekarang terasa panas.

"KALAU KAMU TERUS BEGINI. JANGAN HARAP SAYA MAU MENGURUS HIDUPMU LAGI!"

Usai mengahatakan itu, Verel membalik tubuh seraya mengandeng Vanya—istri barunya. Arhan hanya bisa bergeming dengan kedua tangan mengepal dengan kencang. Hingga urat-urat nadinya tercetak dengan jelas. Arhan tak bisa berbuat apa-apa ia hanya melihat kepergian sang Ayah yang telah menghilang dari balik pintu.

Arhan menarik napas panjang usai Verel benar-benar menghilang dari pandangan mata. Seakan telah menghempas beban yang selama ini ia pikul. Verel sosok laki-laki yang telah membuat ia hadir di dunia ini nyata hanya membuatnya hanya hadir untuk melihat kepahitan dunia. Sejenak Anya—Bundanya pergi kepangkuan Tuhan. Ia tak lagi merasa kasih sayang. Arhan memainkan kuku jemarinya.

Sena dan sahabat-sahabatnya berjalan memasuki menuju ruang kunjungan kantor polisi untuk membesuk Arhan. Usai mengisi  informasi di meja pendaftaran dan meletakkan barang-barang yang tidak boleh dibawa pada lemari yang tersedia.

"Han!"

Sena melembaikan tangan. Arhan yang saat itu sedang terduduk sambil meyandarkan tubuh di kursi tersentak. Dan membulatkan mata.

"Eh lo pada?!"

"Kok, lo semua bisa di sini?" tanya Arhan bingung seraya mengaruk tengukuk leher.

"Ya bisa lah. Kan kita punya kaki!" jawab Roky. Arhan mencebikkan bibir.

"Ky... Jangan sampe gua bunuh lo ya!"

"Anjirrrr .... Serem banget lo!"

"Udah ... Udah ..."

Karena merasa keadaan bising. Sena melerai pertengkaran di antara Arhan dan Roky. Mereka pun seketika bungkam.

"Han, karena waktu kita gak banyak. Gua mau nanya serius sama lo." pungkas Sena menatap Arhan dengan serius.

"Apa?"

"Bener lo melakukan percobaan pembunuhan?" Arhan menarik napas panjang kemudian mengembuskannya.

"Tau dari mana lo?" titah Arhan.

"Kata polisi."

"Itu bener?" ulang Sena memastikan. Arhan menata sekilas Sena, lalu menganggukkan kepala.

Mendengar itu keempat temannya langsung melotot tidak percaya dan meminta penjelasan.

"Serius lo, Han?!" tanya Ryan.

Arhan malas menjawab ia hanya kembali menyandarkan tubuh pada kursi.

"Maaf jam besuk sudah habis."

Sena, Ryan, Roky dan Hafi terdiam ketika seorang polisi membawa Arhan pergi dan kembali ke dalam sel.

***


Rini menatap lurus punggung Denar yang sedang berjalan menuju dapur mengambilkan minum untuknya. Rini menarik napas kemudian mengembuskan berkali-kali melihat sikap Denar yang selalu membenci Mahera. Entah mengapa rasa bersalah semakin menganjal dan mengerogoti hatinya.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Denar pun datang dengan segelas cangkir teh hangat yang ia buat sendiri untuk sang mama.

"Di minum, ma," ucap Denar tepat setelah meletakkan teh hangat di depan Rini.

Rini lantas meraih cangkir tersebut dengan senyuman. Ia menyesap perlahan teh manis buatan Denar. Manis dan terasa penuh kehangatan serta kasih.

"Sayang? Boleh mama tanya sesuatu sama kamu?" tanya Rini.

Sejak awal datang dan masuk kembali ke dalam rumah. Rasanya lidahnya sudah tak sabar untuk mengatakan ini. Tapi, ia harus tau situasu. Denar menatap lamat-lamat padanya.

"A—apa, ma?" jawab Denar kelu. Ia bingung habis bersikap seperti apa. Ia terlalu khawatir akan pertanyaan tak terduga dari Rini.

Rini tampak ragu untuk menanyakan hal ini. Namun, ia harus mengatakan ini. Ia pun menyondongkan tubuh berhadapan dengan Denar agar lebih intens.

"Kamu beneran nyulik anak dari Om Reno?"

Bagai disambar petir sore hari. Pertanyaan itu sontak membuat Denar mengerjap bingung. Sedangkan Rini masih menatap Denar, melihat bagaimana reaksi anaknya itu. Pandangan Denar sekarang menunduk. Rini dengan sigap meraih tangan Denar dan mengusap punggung tangan Denar seraya menatap Denar yang masih menunduk.

"Kamu beneran nyulik anak dari Om Reno?"

Rini mengulangi ucapannya. Tak lama Denar menghela napas dan mendongakkan wajahnya.

"Iya ma. Denar yang nyulik Dearni—anak Om Reno," kata Denar tegas.

Rini mengeleng tidak percaya. Ia pun menyentuh pundak dan mengusap pundak Denar. Denar enggan menatap manik mata Rini. Kini, ia merasa takut melihat raut wajah kekecewaan dari Rini.

"Kenapa sayang?" tanya Rini lemah lembut. Senyum sinis tiba-tiba terbit di wajah putih Denar.

"DENAR CAPEK MA. CAPEK DENGAN SEMUA INI! DENAR GAK TAU HARUS GIMANA MA!"

Tepat usai mengatakan hal itu. Denar memutuskan pandangan dari Rink dan menyandarkan tubuh kasar pada sofa yang ia duduki. Rini yang mendengar pertanyaan dari Denar mengambil posisi duduk tepat di samping Denar. Dan lantas memberikan usapan serta pelukan hangat agar emosinya segera mereda.

"Ini karena mama ya? Karena mama kamu jadi berbuat hal yang seharusnya gak boleh kamu lakukan?"

Denar meneguk saliva dengan susah payah. Ia tak menatap sang mama. Tangannya terus mengaduk-aduk teh yang ia buat sendiri. Menyadari tidak mendapatkan respon dari Denar yang lebih memilih sibuk dengan tehnya.

"Denar jawab pertanyaan mama!" Tangan Denar seketika berhenti mengaduk teh. Sadar jika Rini telah berubah sikap.

"Iya ma! Ini semua karena mama!"

"Karena mama aku gak bisa dapet kasih sayang dari papa. Karena mama, aku gak bisa seperti Mahera. Dan karena mama juga ..." Denar sejenak mengantung ucapan. Saat melihat Rini matanya sudah memerah dan bulir air mata siap keluar dari pelupuk mata.

"Aku nyulik Dearni supaya mama bisa bebas dari penjara ..."

Rini terdiam sejenak meresapi ucapan Denar. Tak lama ia pun menghambur memeluk Denar erat. Ia mata yang sudah ia tahan sedari tadi kini turun membasahi pipi. Dan tiba-tiba ingatan masa lalu menyambaginya. Tentang suatu hal yang sembuat segala permasalahan yang ada sekarang menjadi rumit.

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang