BAB XXV - Hari Terakhir

52 24 0
                                    

Hari Selasa kemarin aku tidak sekolah karena ibu menjemputku untuk mengabarkan hilangnya Seno. Hari rabu aku juga tidak ke sekolah karena mengurus pemakaman mbak Sekar. Dan malam harinya, pengakuan dosa itu terjadi.

Keadaan rumah tidak menjadi lebih baik setelah pengakuan dosa yang terucap dari bibir ayah. Sepanjang ayah bercerita, ibu hanya terus menangis. Entah menangis sedih, menyesal, malu, atau lega karena apa yang dia tahan dan sembunyikan selama ini akhirnya terbongkar juga. Rasanya mungkin seperti melepas korset yang erat meremukkan tulang dadamu. Bahkan meski sudah terlepas, tulangmu toh tetap remuk juga.

Ayahku yang selama ini tidak pernah bicara, akhirnya bicara panjang lebar kali tinggi. Penjelasannya sangat detail dan mudah dimengerti. Pantas saja jika ia menjadi guru. Sayangnya, mudah dimengerti belum tentu mudah diterima. Tujuh belas tahun aku memanggilnya ayah, padahal tidak ada darahnya ditubuhku. Lalu harus kupanggil apa Seno? Adik atau keponakan? Bagaimana aku harus menerima semua kenyataan ini?

Kebingungan itu membuatku enggan bicara. Rumah yang dulunya ramai oleh omelan ibu dan jeritan Seno, kini lengang. Hanya ada kami bertiga tanpa suara. Mungkin cuma ayah yang bisa menyikapinya dengan biasa saja. Sebab ia memang sudah terbiasa bungkam.

Maka dari itu, di hari kamis pagi aku memutuskan untuk masuk sekolah seperti biasa. Tidak sarapan, juga tidak memegang uang saku. Sesampainya di sekolah pun aku hanya diam dan murung. Tidak bernafsu mengomentari celoteh Ardan, Emen dan Dodot yang berusaha menghiburku.

Jam delapan pagi, saat tim mading mulai berangkat ke convention hall, aku juga tidak ikut. Meski Nawang sudah mengantarkan surat izin ke guru pengajar, aku tidak ingin pergi. Surat itu kuremas lalu kubuang ke tempat sampah.

Bu Ita sempat memanggilku ke ruang BK, tapi aku menghindar. Pun begitu ketika aku bertemu pak Bon, aku pura-pura tidak lihat. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri.

Hingga hari ini, hari sabtu pagi. Hari keenam Seno dinyatakan hilang. Hari kelima kematian mbak Sekar menurut perhitungan Jawa. Sekaligus hari ketiga aku tutup mulut, tak ingin bicara pada siapapun.

“Mik, udah tiga hari ini kamu diem aja,” ujar Ardan berusaha mengajakku bicara. “Menurut sunnah rasul, sesama muslim tidak boleh mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.”

Aku mengembuskan nafas berat. Ardan memang tidak salah apa-apa. Dia hanya berusaha menghiburku. Tapi aku yang masih belum siap bicara pada siapapun. Masih amat terpukul dengan kenyataan yang tidak pernah aku bayangkan dalam mimpi terburukku sekalipun.

“Mikhail Hakiki!” sebuah suara memanggil namaku, membuatku terkesiap. Pak Jalal? Memangnya sekarang pelajaran Bahasa Indonesia?

“Anda tahu jam berapa sekarang ini?” tanya pak Jalal. Aku melirik ke arah jam dinding di atas papan tulis.

“Jam tujuh lebih sepuluh menit, pak.” Jawabku. Seingatku pelajaran pertama hari ini adalah Bahasa Jerman. Itupun akan dimulai jam tujuh lewat lima belas. Apa aku melakukan kesalahan?

“Lalu kenapa anda masih dikelas? Cepat keluar!” seru pak Jalal lagi.

“Memang saya melakukan kesalahan apa, pak?”

“Anda lupa ini hari terakhir lomba mading?”

Hari terkahir? Bukannya lomba mading terakhir besok minggu, ya?

“Kenapa bengong! Ayo berangkat sekarang!” Pak Jalal membuyarkan kebingunganku. “Dan untuk kalian semua murid-murid sekelas, setelah pulang sekolah langsung merapat ke kompetisi mading. Yang tidak datang siap-siap jadi patung, cosplay di depan bendera setengah tiang!”

“Kenapa setengah tiang, pak? Memangnya kita lagi berduka cita?”

“Ya jelas. Berduka cita atas matinya rasa cinta pada sekolah, kalian karena tidak turut mendukung sekolah kita kalau tidak ikut ke convention hall.”

Catatan Kecil MikhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang