Empat : BUKIT GOMBEL

58 1 0
                                    

Udara sejuk meresap ke kulit wajah Anisa begitu ia membuka jendela taksi. Tampak deretan pohon yang menghijau di sepanjang jalan ketika mulai memasuki kawasan bukit Gombel, Semarang. Udaranya sangat sejuk, membuat Anisa tak tahan dan menutupnya kembali. Anisa kembali menyandarkan kepalanya, memikirkan nasibnya yang akan datang beberapa menit ke depan. Hidup jauh dari perkotaan bagi Anisa sama saja jadi penghuni hutan. Anisa menghela napas berat, sesaat matanya tak sengaja menatap sebuh pohon besar yang terlihat rimbun. Jalan yang mulus membuat laju taksi melambat. Anisa bagai terhipnotis, matanya melotot menatap ke satu titik. Seperti mempunyai kemampuan melihat masalalu atau halusinasinya saja, Anisa melihat seorang wanita menyerupai Wewe Gombel tergantung di pohon itu.

"Haaaaaa!" Pekik Anisa memalingkan wajahnya sambil menutup rapat dengan telapak tangan. Rahayu yang sedang tidur bersama Aan lantas terbangun begitu mendengar suara pekikan anaknya.

"Anisa, ada apa?" tanya Rahayu cemas.

Tangan Anisa yang bergetar perlahan membuka, menampilkan wajahnya yang mendadak pucat dan berkeringat. Rahayu terheran-heran melihat itu, ia langsung mengecek suhu badan Anisa.

"Nisa, kamu sakit, Nak? Kamu pucat. Tunggu! Ibu ambilkan air minum," ujar Rahayu sambil membongkar tasnya.

Sementara Anisa terdiam sambil mengatur napas. Penampakan tadi sungguh di luar nalarnya. Kenapa ia sampai berhalu sedemikian rupa? Anisa menggeleng untuk menepis pikiran kacaunya.

"Nis, minum dulu."

"Hmmm," gumam Anisa meraih botol minum yang ibunya berikan. Rahayu hanya terdiam, menatap nanar anaknya yang terkesan mendiaminya sedari tadi.

Taksi yang Anisa tumpangi telah sampai di depan sebuah rumah sederhana berwarna cokelat tua. Terlihat sederhana, namun ada kesan klasik pada ukiran depan pintu. Anisa menggendong kembali ransel besarnya ketika turun dari taksi tersebut. Anisa mengamati rumah yang akan mereka diami dengan pandangan sulit diartikan. Entahlah, ketika pertama kali memasuki kawasan bukit Gembel, ia mempunyai firasat tak bagus. Semacam perasaan tak enak atau mungkin memang ada sesuatu yang menunggu kehadirannya di sini.

"Anisa, tolong kamu bawain tas adikmu juga. Kasihan dia masih kecil, berat. Tanganmu kan nggak pengang apa-apa," ucap Rahayu seraya menaiki pelatar rumah itu.

Anisa mendengkus kesal, menoleh ke arah adiknya yang kesulitan menyeret tas cukup besar itu. Entah mengapa Anisa mulai tak suka dengan adiknya itu. Pikirnya itu bisa menjadi ajak berontak pada ibunya karena kekesalannya telah terpaksa pindah ke bukit Gombel.

"Jangan diseret gitu tasnya! Kotor tau nggak. Siniin!" ketus Anisa merebut tali tas itu.

Rahayu mengetuk pintu rumah beberapa ketukan.

"Cahyo! Ini aku Rahayu dari Jakarta!"

Tak lama pintu bernuansa cokelat itu terbuka, menampilkan seorang pria paruh baya dengan rambut panjang diikat dan memakai penutup kepala.

"Rahayu toh. Silakan masuk! Mana anak-anakmu?" ucap Cahyo sambil mencari-cari keberadaan Anisa dan Aan.

"Anisa, Aan! Ayo masuk, Nak! Sini Aan, masuk ayok!" ucap Rahayu.

Anisa dengan enggan melangkah naik pelatar dengan enggan. Ditambah tas adiknya yang berat amat merepotkan.

"Salam dulu sama paklik Cahyo," suruh Rahayu. Anisa dan Aan pun memberi salam pada adik suaminya itu.

"Cantik ya anakmu, Ayu? Sudah sebesar ini ternyata," ucap Cahyo kagum.

"Iya, Cahyo. Baru 17 tahun umurnya," sahut Rahayu.

Urban Misteri : WEWE GOMBELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang