Dear Diary

34 5 0
                                    

Hembusan udara pendingin ruangan menyambut wajah Kamila. Luapan amarah ke sepupunya tadi berangsur-angsur menghilang. Usai mengisi buku tamu, gadis itu melangkah mengelilingi rumah baca. Jari Kamila bergerak menyusuri rak buku kategori sains dan menarik beberapa buku yang menarik perhatiannya.

Kamila membawa buku itu ke area baca lalu duduk. Tak lupa, dia menyumpalkan earphone ke telinga dan memilih lagu dengan mode acak. Kamila tak sadar kalau kepalanya mengangguk-angguk mengikuti nada lagu sambil membaca buku.

Aktivitas membaca Kamila berjalan mulus hingga lengannya ditepuk beberapa kali. Begitu tahu orang yang menepuk lengannya, kedua mata Kamila terbuka lebar bahkan ia terlonjak hingga punggungnya mengenai tembok ruangan. "Malik? Ngapain di sini?"

"Kamu juga ngapain di sini? Udah mau jam lima, rumah baca mau aku tutup" balas Malik, laki-laki yang dulu Kamila pernah sukai waktu kelas enam SD. Dia segera menyingkir dari hadapan Kamila.

"Bentar, aku kembaliin dulu." Walau otak Kamila masih belum bisa memproses kejadian ini, dia memilih bangkit dan mengembalikan buku yang tadi diambil.

Di sela-sela mengembalikan buku, Kamila beberapa kali menoleh ke belakang. Dia takut kalau Malik yamg tadi di depannya semata-mata fatamorgana seperti di buku yang ia baca.

Enggak, beneran ada kok. Malik membuka pintu rumah baca, lalu memegang gagang sapu dan mulai menyapu ruangan.

Pemandangan Malik menyapu mengingatkan Kamila akan awal mula perasaan aneh nan mengganggu ini mulai masuk ke hati Kamila. Kalau dipikir lagi itu konyol. Bisa-bisanya Kamila suka Malik ketika dia menyapu ruangan saat piket SD dulu.

"Kamu ngapain di sini?" Kamila mengulang pertanyaan, berusaha mengalihkan pikiran.

"Aku jaga di sini."

"Tadi perasaan ibu-ibu yang jaga."

"Giliranku mulai jam empat. Kamu ngapain juga ke sini?" tanya Malik sambil mengarahkan sapu ke lantai dekat Kamila berdiri. "Misi."

Cepet banget udah sejam, pikir Kamila. Tangannya meletakkan buku terakhir sembari mundur selangkah. "Emang nggak boleh?" tanyanya balik. "Rumah Mbahku di sini. Di rumah sumuk, jadi aku ke teras. Pas di teras, aku diusir sama Mas sepupuku buat teleponan sama pacarnya. Ya udah aku ke sini."

"Kasian," komentar Malik. "Kamu masih seneng baca, ya? Mana tema bukunya berat-berat lagi. Pantes Anggi bisa temenan sama kamu."

Wajah Kamila menegang sebentar. Sudah lama Kamila tak mendengar nama yang menjadi alasan kenapa dia buru-buru mengakhiri perasannya pada Malik.

Kamila tak menggubris omongan Malik. Berduaan dengan Malik di satu ruangan bisa membuat ingatannya kembali. Karena itu, dia melangkah cepat menuju pintu. "Aku duluan, ya."

"Bentar-bentar," tahan Malik. "Rumah Mbahmu di mana?"

"Deket puskesmas."

"Bagus. Ayo kita pulang bareng. Rumah sepupuku searah sama rumah Mbahmu."

"Tapi aku bawa sepeda," Kamila menolak. Jarinya menunjuk sepeda berwarna silver milik sepupunya. "Dan nggak ada boncengannya," tambahnya.

Malik mengunci pintu rumah baca setelah meletakkan sapu di sudut ruangan. Sesudahnya, laki-laki itu menyipitkan mata sebentar, lalu tersenyum. "Itu ada injekkan di ban! Kamu berdiri, nanti aku yang gowes."

***

Tidak banyak percakapan antara Kamila dan Malik sepanjang perjalanan pulang. Paling mentok bertukar kabar dan menanyakan alasan kenapa mereka ada di desa ini. Karena itu, Kamila baru tahu alasan Malik berada di desa ini. Laki-laki itu mengikuti pelatihan Taekwondo di kota Batu selama dua minggu. Demi menghemat biaya, dia menginap di rumah sepupu yang dekat dari pusat pelatihan. Karena akhir pekan tidak ada latihan, Malik berinisiatif membantu tantenya menjaga rumah baca.

Kamila memandang kedua tangannya yang memegang bahu kekar Malik. Dia memegangi bahu Malik seraya berdiri menaiki pijakan yang tertancap di dekat ban sepeda sementara Malik mengayuh sepeda. Kalau Kamila masih kelas enam SD, momen ini pasti membuat pipinya memanas atau kupu-kupu—yang entah dari mana asalnya— sudah berterbangan di perut.

"Btw, aku udah tau."

Kamila heran. "Tau apaan?"

"Kamu pernah suka sama aku kan?"

Deg. Hati Kamila mencelus. Ia mengedipkan mata beberapa kali. "Itu namanya sok tau."

"Nggak sok tau," Malik meminggirkan sepeda ke dekat tepi sawah lalu mendadak mengerem sepeda, badan Kamila jadi condong ke depan.

"Turun bentar, Mil," pinta Malik. Kamila menurut. Jantungnya berdetak semakin cepat.

"Maaf, aku udah lancang baca diari kamu," Malik mengeluarkan buku bersampul biru tipis dari saku dalam jaket lalu menyerahkannya pada Kamila.

Kamila mengatupkan bibir seraya meraih buku itu. Mati sudah. Dia kira diarinya terselip di suatu tempat dan hilang begitu saja. Tapi ternyata selama ini benda keramat itu berada di tangan Malik. Semua curahan hati, unek-unek, dan rasa cemburu pada Anggi, sahabatnya sendiri ... semua lengkap di situ.

"Pas mau ngumpulin sampah di kolong meja, aku nemu buku ini. Maaf aku nggak langsung balikin. Aku mau balikin pas kita wisuda, tapi," Malik menjeda ucapannya, "aku takut kita jadi canggung, Mil. Jadi aku simpan buku ini bertahun-tahun, nunggu waktu yang pas buat kembaliin. Dan mungkin sekarang waktu yang tepat."

"Makasih," Kata-kata itu lolos dari bibir Kamila. Dia pasrah saja sebab apa lagi yang bisa dia lakukan? Menyangkal? Buktinya ada di depan mata. "Lagian, aku udah nggak suka kamu—maksudnya biasa aja gitu. Jadi aku nggak bakal ganggu kam-"

"Aku sama Anggi udah putus."

"Hah? Kapan? Kok Anggi nggak bilang ke aku?" tanya Kamila bertubi-tubi.

Malik mengusap tengkuknya. "Dari seminggu yang lalu. Mungkin gara-gara aku sibuk latihan Taekwondo terus dia juga sibuk olimpiade Astronomi. Jadi sering berantem terus gitulah...."

Haruskah Kamila senang? Tidak juga sebab perasaan itu sudah tidak bersisa.

Langit menggelap dan udara mendingin. Mereka meneruskan perjalanan hingga sepeda berhenti di depan rumah nenek Kamila. Malik masih harus berjalan sedikit lagi menuju rumah sepupunya. Sebelum berpamitan, Malik sempat meminta nomor Kamila. Kamila tak keberatan bersilaturahmi dengan teman SD-nya dan jadilah mereka bertukar nomor.

Setelah Malik pergi, Kamila memarkirkan sepeda dan langsung masuk ke kamar. Dia merogoh pulpen di kotak pensil lalu menuliskan sesuatu di halaman kosong diari lamanya.

Selasa, 1 April 2014

Dear diary,

Udah lama aku nggak nulis. Tadi aku ketemu Malik. Dia bilang udah putus sama Anggi. Bahkan tadi dia minta nomerku loh. Kalau aku masih SD pasti udah seneng. Tapi sayang, kayaknya aku nggak bisa chat-an terus sama dia soalnya aku udah ada Robby.

Kamu nggak tau Robby, ya? Yah, aku certain dia di buku lain. Kapan-kapan aku certain di sini.

Sekian buat hari ini. 

Dear DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang