18. 🥨

22.4K 3.2K 173
                                    

Rutinitasku setelah Bara pergi kerja adalah beberes rumah, merapikan ruang tengah khususnya. Kebiasaannya setiap pulang kerja adalah rebahan di sofa bed, dan minta ditemani sambil ngobrol, TV menyala, tapi kami lebih asyik rumpi ketimbang nonton TV, menyisakan remahan makanan dan bungkus camilan. 

Bara kembali ke kamarnya, dan aku kembali ke kamarku. Sudah tiga minggu berlalu, hampir satu bulan seperti itu dan  dia masih kuat. 

"Apa nih?" kaget, aku terlonjak saat mengambil boxer hitam miliknya. Astaga Kay, hampir sebulan, kalau lipat-lipat baju bersih, masih suka kaget lihat dalemannya. Jadi ingat saat pertama kali dia membantu menjemur baju, dia terkejut sendiri saat akan menjemur pakaian dan menemukan bra dan celana dalam  milikku. 

Aku tertawa kecil. Yah, mungkin ini salah satu kelucuan adaptasi dua orang yang menjadi pengantin baru. Malu-malu meong. 

"Bara apa sudah makan ya?" aku melirik jam dinding, sudah jam satu lewat, kadang aku ke kantor di jam istirahat, membawa bekal makan siang, sambil sekalian temu kangen dengan teman-teman. Kadang membiarkannya makan siang dengan Pak Galih dan Pak Tatang, karena aku paham, dunianya tak harus selalu denganku, dia juga perlu waktu dengan teman-temannya.

Aih Kayla, so sweet dan bijak sekali sih kamu. Aku cekikikan, novelku tentang si duda mencari cinta juga sudah kembali lancar. Ada banyak input asupan yang kudapat dari Bara, dia memang teman yang asyik diajak diskusi, sudah tak sesaklek dulu yang pendapatnya harus selalu diterima. 

Ya iyalah Kay, usianya sekarang  33 tahun, masa iya masih seperti dulu? Aku membawa pakaian kering yang tak perlu disetrika kedalam kamar. Sementara yang harus disetrika sudah kulipat rapi dan kutata di keranjang bersih, dekat meja setrika. 

Woilah, tak pernah kuduga, setelah resign, aku benar-benar menjadi seorang Istri yang nurut gini di rumah. Ponselku berdenting, dari penerbit yang selama ini bekerjasama menerbitkan karyaku. 

"Bincang literasi?" gumanku. "tiga hari di Yogyakarta, kampus UGM?" 

***

"Ada yang aneh dengan wajahku?" Bara mengernyitkan dahi, menyadari kalau sejak tadi aku menatap wajahnya tanpa banyak bicara. "Mau ngomong sesuatu?" tanyanya kemudian. 

Dia sudah mandi, hanya memakai celana pendek selutut dan kaos oblong, duduk menikmati makan malamnya di kitchen island. Sudut rumah yang satu ini, menjadi favorit kami berdua, selain ruang tengah. 

"Kamu di mode apa Mas?" tanyaku akhirnya. 

"Mode?" dia balik bertanya. 

"Mood kamu, lagi bagus apa nggak?" 

"Oh, standar, kenapa? Mau minta jatah belanja bulanan di tambah?" 

"Iya, tambahin 50 persen." 

"Boleh, asal jatahku juga dikasih." 

Aku tertawa, mencubit pinggangnya dan dia hanya berkelit dengan tawa kecil, ada lesung pipi yang muncul, menambah sedap wajahnya. 

"Ada apa?" tanyanya serius. "pengen pulang Batu?" 

Aku menggeleng, "Kalau, kamu kutinggal sebentar gitu gimana Mas?" 

Bara berhenti mengunyah, dahinya mengernyit dan menatapku dengan rahang mengeras. 

"Maksud kamu?" intonasi suaranya ditekan. Duh, kata-katamu salah Kayla, dia lelaki yang pernah diduakan, pertanyaanmu bisa ditangkap lain olehnya. 

"Anu, itu… Gloria Publishing, penerbit mayor yang kontrak kerjasama denganku selama ini, mengadakan acara talkshow bincang literasi, rencana narasumbernya ada Mbak Gayatri, penulis asal Jogya yang beberapa karyanya bahkan sudah difilmkan, dia juga salah satu penulis naskah FTV, dan aku." aku memegang lengannya, berharap rahang itu tak mengeras. Takutlah.

serendipity (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang