B. Tiga Puluh - Kembali

68 14 1
                                    

| Chapter 30 |

Caya melipat lengan. Dengan sabar ia menunggu penjelasan Sraga—yang sebenarnya sudah tak tahan ingin meninju wajah pria itu, namun keburu sadar bahwa yang sedang ada di hadapannya ini adalah orang tua.

“Nanti saja kuberitahu kalau kau sudah membawa... siapa namanya tadi? Ah, pokoknya orang yang kau maksud itu ke tempat ini,” ucap Sraga dengan santainya. Padahal Caya sudah menunggu. “Aku akan menjelaskan semuanya nanti. Aku janji—sungguhan. Sekarang kau pulang saja dulu.”

“Aku tidak percaya padamu, Pak Tua.”

“Ya sudah, kalau tidak percaya. Aku tidak memaksa untuk kau mempercayaiku atau tidak, Bocah.”

Helaan napas kasar lolos dari hidung Caya. Pria tak tahu usia ini benar-benar membuat kesal setengah mati. Bahkan sekarang saja Sraga sedang memasang raut menjengkelkan yang ingin sekali dilempar sepatu berhak sepuluh senti. Dalam hati, Caya berusaha menguatkan diri untuk tetap sabar dan tidak menumpahkan emosinya di depan pria itu.

Kemudian, mereka berdua dikejutkan oleh suara Yori yang muncul tiba-tiba. Mereka segera mengarahkan pandang ke tangga. Di anak tangga paling atas, Yori berdiri di sana dengan wajah tanpa ekspresi dan juga sedikit pucat.

Perlahan kaki tanpa alasnya menapak di tiap anak tangga. Ternyata Yori membawa sesuatu di tangannya. Sebuah kotak hitam yang tidak terlalu besar, tetapi sepertinya agak berat. Hingga di anak tangga ketiga dari bawah, Yori terlihat tak fokus dan menyebabkan tubuhnya oleng.

Lalu, hal tersebut berakhir dengan dirinya yang terjatuh, bersamaan dengan teriakkan dari dua orang yang dari tadi memperhatikannya. Kotak hitam yang dibawa Yori terlempar sampai satu meter. Sedangkan Yori sendiri malah bergeming dalam posisi jatuhnya—tengkurap—yang sepertinya sangat sakit. Wajahnya pun tampak langsung mencium lantai.

“Kenapa bisa jatuh seperti ini, sih?” Sraga menarik Yori agar bangun. Putranya itu sedikit lemas dan hanya pasrah ditarik tangannya oleh ayahnya. “Apa yang kau bawa, Lui?”

Caya yang juga ada di sana, meringis melihat Yori. Pemuda itu tidak terlihat seperti Yori. Aneh sekali. Kepalanya celinguk, mencari kotak yang tadi dibawa Yori. Sampai akhirnya, kotak tersebut tertangkap netranya dan langsung saja ia meraihnya.

Ketika berbalik, Yori sudah dipapah oleh Sraga ke arah sofa. Di belakang, Caya mengikuti sambil membawa kotak hitam yang sedikit berat ini. Di saat seperti ini, sosok ayah yang sebenarnya diperlihatkan oleh Sraga.

Pria itu sibuk mengipasi Yori dengan alat yang bentuknya bulat dan ada bagian kincir di dalamnya. Mulutnya pun sibuk mengoceh, meneriaki Anna yang lama sekali mengambil minum. Sraga khawatir—terlihat sangat jelas dari raut wajah dan tatapannya. Seaneh-aneh sifatnya, Sraga tetaplah seorang ayah.

“Hei, kau!” Lamunan Caya buyar karena panggilan tak mengenakkan itu. Sraga mengibas-ngibaskan tangannya. Mengisyaratkan untuk Caya mendekat ke arahnya. “Tolong ambilkan kotak obat di laci meja.”

Dahi Caya mengerut. Ia meletakkan kotak hitam ke atas meja, lalu berdecak sembari menggerutu, “Meja mana? Di rumah ini tidak hanya ada satu meja, Pak Tua! Jelaskan yang lebih spesifik, dong!”

Sraga menghela napas. “Sungguh, kau berbeda sekali sifatnya dengan Caroline,” komentarnya, yang sama sekali tak dipedulikan oleh Caya. Kemudian, jarinya menunjuk satu meja panjang yang terdapat banyak laci di sebelah barat. “Cari saja di sana. Cepat ambil, jangan jadi manusia lamban di saat genting seperti ini!”

Mau tak mau, suka tak suka, Caya menuruti suruhan itu. Daripada telinganya harus mendengar ocehan Sraga yang tidak penting. Awalnya Caya ingin memprotes saat tengah mencari kotak obat, karena lacinya begitu banyak. Namun, ia urungkan demi keselamatan diri.

The Lost History; S-156 [Book 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang