Kesokan harinya, Ara masih juga tak kelihatan di sekolah. Padahal aku dan yang lainnya sudah mengajak bertemu lewat chat untuk mendengarkan lagu yang kami rekam bersama-bersama. Bahkan saat jam istirahat kami bertiga berkeliling mencarinya di kelas, perpustakaan, dan kantin, tapi tak juga ketemu. Entah dimana gadis itu bersembunyi.
Karena sudah tak tahan lagi, sepulang sekolah aku mengarang alasan agar tak ikut berkumpul di basecamp. Aku pulang ke rumah untuk mengganti baju, lalu pergi ke tempat les Ara. Aku ingat hari ini jadwal Ara berangkat les. Kata Theo, Ara tak akan berani membolos karena takut ayahnya mengecek absensi. Makanya aku masih tak paham kenapa sampai sekarang Theo yang selalu menunnggu di depan gedung les tak juga bertemu Ara.
Jadwal les Ara dimulai jam setengah 5 sore. Tak mau bernasib seperti Theo, sebelum jam 5 aku sudah berada di dalam gedung tempat les Ara. Gedung itu terdiri dari tiga lantai dan memiliki banyak ruang kelas. Untuk memastikan keberadaan Ara, aku berniat berjalan sepanjang koridor sambil mengamati bagian dalam kelas dari dinding kaca. Beruntung aku tak perlu mengecek semua ruangan untuk mencari Ara.
Ternyata gadis itu sedang mengikuti kelas matematika, pada sebuah kelas di lantai satu. Kelas itu berhadapan langsung dengan coffe shop yang ada di bagian belakang lantai satu. Dari dinding kaca yang membatasi setiap kelas, aku melihatnya duduk di deretan paling belakang. Dia menopang dagu dengan satu tangan, terlihat tak tertarik mengikuti kelas. Ara mengenakan hoodie hitam lengkap dengan penutup kepalanya. Tak terlihat mencolok, tapi sungguh aneh aku langsung mengenalinya dari jarak yang cukup jauh.
Dengan sabar aku menunggunya di coffe shop ditemani segelas es kopi. Meski merasa bosan, aku tak punya pilihan selain berdiam diri selama satu jam lagi.
*
Jam kelas sudah berakhir. Segerombolan siswa keluar dari kelas bersama-sama. Aku berdiri untuk mencari sosok Ara diantara kerumunan orang yang melewati coffe shop. Aku menemukannya dengan cukup mudah. Ara berjalan dengan sangat cepat di belakang segerombolan anak perempuan yang cekikikan. Dia yang memakai hoodi hitam menyelubungi kepalanya menunduk dalam. Aku segera menyusulnya sebelum terlambat.
Ara berjalan tergesa-gesa lalu berbelok tepat sebelum mencapai pintu masuk. Seharusnya pintu masuk juga menjadi pintu keluar, aku tak tahu kenapa Ara justru menuju sisi lain gedung ini.
Ternyata di bagian belakang gedung, di sisi lain café tempatku menunggunya ada sebuah pintu keluar. Ara melewatinya seolah sudah sangat terbiasa. Jadi ini alasan kenapa Theo tak pernah bisa menemuinya setiap menunggui gadis selesai les. Aku menunggu beberapa saat sebelum menyusul Ara.
Pintu itu langsung terhubung ke sisi luar bangunan. Aku terkejut melihat kondisi tempat itu. Dinding dari gedung-gedung tinggi disana membentuk sebuah lorong kecil yang hanya bisa dilewati oleh satu buah sepeda motor. Ujung kanan lorong terhubung ke jalan besar, tapi Ara justru berjalan menuju ujung yang ada di kiri, lalu berbelok ke kanan.
Aku tetap menjaga jarak karena tak mau mengagetkannya. Menyapanya di tempat seperti ini, dengan situasi yang sedang terjadi hanya akan membuatnya takut. Beruntung kalau aku tak dituduh sebagai stalker.
Ara kembali berbelok, menuju lorong yang lebih kecil. Lorong-lorong ini seperti labirin. Dengan gedung tinggi, dan pencahayaan yang minim berjalan disini cukup menakutkan bagiku. Bisa saja ada orang jahat yang muncul entah dari mana. Sangat berbahaya untuk anak perempuan berjalan seorang diri. Lihatlah gadis itu. Dia bahkan tak sadar aku mengikutinya dari tadi. Entah apa yang ada di fikiran Ara saat ini hingga berani mengambil resiko ini daripada bertemu Theo yang selalu menunggunya di depan gedung les.
Lorong itu berujung pada sebuah area hipster yang cukup ramai. Di area luas itu dapat dengan mudah dijumpai para anak muda yang membentuk kelompok dan melakukan busking. Mereka menampilkan musik, adapula yang melakukan dance dan beberapa lainnya membawa-bawa camera, untuk berfoto di depan tembok yang dihiasi lukisan mural.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...