19 •• Kehilangan ••

24 10 6
                                    

Sebagian penduduk memaafkan kesalahan Luna. Sebagian lagi terlihat begitu marah padanya. Merasa dikhianati olehnya.

"Luna... Bibi bawakan kue jahe untukmu... Ini bagus untuk meredakan mual..."

"Kau suka kue keju, kan? Suamiku kebetulan membuatnya sore tadi..."

"Kalau ada keperluan lain, jangan sungkan untuk meminta tolong tetangga, ya???"

Suara-suara ramah itu menyambut kedatangannya kembali di desa. Mereka meletakkan berbagai buah tangan untuk gadis muda yang tengah hamil besar itu. Membantunya dan memberikan ketenangan untuknya.

"Terimakasih, semuanya..." Gadis itu tersenyum dengan menunjukkan giginya yang putih.

"Aaahhh... Siapa sangka kau sendiri yang akan mengandungnya..."

Gadis itu menoleh. Memperhatikan seorang pria dengan rambut pirang cerah di depan pintu rumahnya.

"Hunus? Ahahaha... Maaf, ya? Aku meninggalkan kalian berdua saja." Gadis itu tersenyum lebar hingga sudut matanya terlihat terangkat karena senyumannya.

"Eung. Kudengar dari William, tak hanya satu disana... Benarkah?" Melangkah masuk. Hunus kemudian berjongkok di hadapan Luna.

"Eung. Mereka sering menendang di dua tempat berbeda. Tidak mungkin mengekah didalam, kan?"

Tertawa. Hunus kemudian menghela nafasnya. "Selera humormu tak berubah, ya?"

Pria itu kini menatap lurus ke perut Luna yang buncit. Menoleh ke arah pintu masuk rumah gadis itu, ia kemudian menghela nafas. Ia masih bisa melihat pantulan bayangan seorang pria dari sana.

Sama seperti sebelumnya saat ia masih berada di depan rumah kayu itu. Benedict masih berjongkok di sisi dinding rumah Luna. Memegangi kepalanya dengan gusar.

"Kau tidak ingin menyentuhnya??" Hunus sedikit meninggikan nada suaranya. Menantikan jawaban dari pria itu. "Kalau tidak, aku akan mendahuluimu... Tak apa, kan?"

Tak ada jawaban. Tapi dari gerakan bayangannya yang terlihat, Benedict sepertinya ingin bertindak sesuatu. Ia hanya tak tau harus melakukan apa.

"Ahaha. Mereka langsung menendangku... Sepertinya dia akan sejahil Benedict nanti... Ahahah! Menendang lagi..."

"Aku juga mau—"

Menaikkan sebelah alisnya. Hunus terlihat menyangga kepalanya dengan tangan diatas lututnya. Menatap Benedict yang baru saja keluar dari 'persembunyiannya' dengan jarak dekat.

"Kau memang harus dipancing dulu, ya? Tenang saja... Aku belum menyentuhnya. Aku tidak akan mendahuluimu... Kecuali kalau kau terlalu lama mengulur waktu, aku tidak janji." Hunus mendudukkan tubuhnya di balik dinding kayu yang Benedict gunakan bersembunyi. Melirik sahabatnya itu dengan tatapan jengah.

Terakhir kali Hunus melihatnya dengan wajah seperti itu sekitar empat tahun yang lalu. Saat Luna tiba-tiba menyatakan perasaannya. Dan hingga beberapa Minggu lamanya, Benedict terus menghindari gadis itu. Bagaimanapun caranya, dia terus menghindari Luna. Saat melihat gadis itu, wajahnya langsung berubah merah padam.

Pandangan Benedict kali ini bertemu dengan gadis itu. Setelah beberapa bulan, akhirnya kedua matanya bisa melihat kembali bagaimana teduhnya sorot mata Luna.

***

Meraih selimut tebal yang masih terlipat di atas meja kamarnya, gadis itu terlihat sedikit kesulitan karena tebalnya selimut itu. Tenaganya sudah benar-benar terkuras karena beban di dalam rahimnya.

"Biar aku saja."

Mendongak. Ia bisa melihat bagaimana wajah kecil pria itu dari jarak dekat. Sudah beberapa bulan lamanya. Ia tersenyum saat melihatnya memindahkan selimut itu ke atas ranjangnya.

My Empress | CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang