Chapter 2: First Love

48 6 1
                                    


Aku pikir cinta pertamaku akan terasa manis seperti aroma teh yang hangat dan lembut di pagi hari. Aku pikir cinta pertama ku akan terasa mendebarkan, seperti roller coaster tertinggi dalam taman bermain yang manis. Semua orang bilang cinta pertama selalu terasa berbunga-bunga. Hati mereka bergejolak ketika mata saling bertukar pandang dan hari-hari terlihat lebih berwarna.

Namun aku tidak merasakan itu ketika aku jatuh cinta untuk pertama kalinya dalam hidupku. Rasanya sakit dan panas. Adrenalin berpacu dengan cepat dan berlari memburu kearah jantungku. Jantungku terus berdegup, berteriak, dan terasa sakit. Rasanya seluruh panas tubuhku membakar tiap relung dadaku. Setiap hembusan nafasku berderu dan tertahan karena aku takut perasaanku akan tumpah keluar apabila ku biarkan berbagi udara yang sama denganmu. Bahkan untuk menangkap sosokmu diujung bola mataku pun aku tak sanggup. Bagiku itu adalah cinta pertamaku, yang sakit, panas, dan memburu.

***

Aku dan Oikawa sudah berteman sejak kecil. Mengenalnya selama bertahun-tahun berarti aku bisa membacanya seperti sebuah buku yang terbuka. Bagaimana ekspresinya saat dia merasa senang dan bertingkah seenaknya, saat ia merasa sedih dan berusaha menyembunyikan lukanya, dan saat ia fokus bermain voli di lapangan dengan sorot mata yang tak bisa ku lupakan seumur hidupku. Saat itu, apabila aku tidak dicadangkan di bangku cadangan, dan melihat sosok Oikawa dari sisi luar lapangan, akankah aku merasakan perasaan ini??

Saat aku SMP ditengah pertandingan aku terluka. Memalukan apabila aku mengingat alasanku terluka adalah karena aku menerima servis langsung ke mukaku dan membuatku mimisan. Saat itu Oikawa menertawai ku habis-habisan, aku hampir membunuhnya bersama wajah bodohnya  itu. Aku berani bersumpah dia sangat menyebalkan dan aku ingin meninju nya.

"Tidak apa-apa Iwa-chan, tanpamu pun kami pasti bisa menang, selama ada aku disini!" Oikawa tersenyum bangga dengan nada bicaranya yang menyebalkan.

"Wah, akan benar-benar kubunuh kau!!". Aku sudah siap melayangkan tinju padanya sampai teman-temanku menahanku.

"I-iwa Chan seramm!!!"

Akhirnya aku dibawa ke unit kesehatan dan terpaksa dicadangkan. Aku duduk dengan kapas menyumbat sebelah lubang hidungku dan botol minuman di tangan kananku. Selama ini aku selalu berada di lapangan sebagai pemain inti, agak aneh rasanya hanya duduk di pinggir lapangan sambil meminum air. Agak aneh, dan terasa mengesalkan, aku sangat ingin marah pada diriku sendiri.

Kini giliran Oikawa untuk memberikan servis, dari ujung lapangan ia menatapku. Gestur tangannya menunjuk kearah kedua matanya dan kemudian menunjuk kearahku, seakan berkata 'lihatlah aku'. Bagaikan sebuah mantra, mataku kini terpaku pada Oikawa. Oikawa bersiap melompat dan memberikan servis. Tiba-tiba dunia seakan berputar dalam slow motion. Oikawa melompat seakan memiliki sayap yang mendorongnya. Cahaya lampu stadium merefleksikan cahaya dari keringatnya yang jatuh seperti bintang jatuh. Matanya yang fokus menatap sisi lain lapangan seakan menenggelamkanku jauh kedalamnya. Hembusan nafasnya seakan berada begitu dekat dengan telingaku dan mengalun seirama dengan detak jantungku. Seluruh stadium berubah menjadi putih. Aku terbutakan, dan untuk pertama kalinya aku melihat sosok Oikawa yang begitu cantik, hingga tak bisa ku jelaskan dalam kata.

Suara keras bola voli yang menghantam lantai di ujung lapangan menyadarkanku. Oikawa berhasil mencetak angka, dan ia langsung melihat kearahku dengan mengacungkan kedua jarinya seperti orang bodoh. Aku termangu, seakan seluruh energi ku telah terhisap habis pada detik itu. Jantungku berisik, tubuhku rasanya panas dan dadaku terasa sangat penuh hingga membuatku sesak. Sakit, sakit, sakit, panas, panas, panas.

"hey, iwaizumi, kau tidak apa-apa?? Mukamu sangat merah dan kau berkeringat, apa kau sakit??" Pelatih yang duduk tidak jauh dariku menepuk pundakku dengan wajah khawatir.

Aku sontak bangun dari tempat dudukku dan menjawab dengan tergesa-gesa "A-aku harus ke toilet".

Aku berlari ke toilet sambil menyeka keringatku yang turun dari pelipisku. Nafasku terpenggal seakan memburu jantungku. Adrenalin ku terus terpacu dari tiap langkahku. Aku segera mencuci mukaku dan mendinginkan kepalaku. Aku menahan nafasku dan membungkam mulutku, aku takut perasaanku akan meledak begitu aku membuka mulutku. Aku menatap diriku dalam cermin, terlihat berantakan dan begitu kacau.

 Wajah merah, rambut basah, dan hidung yang berdarah, siapapun yang melihat mungkin akan mengira aku baru saja dirundung atau baru berkelahi melawan sesuatu yang besar. Tapi hanya aku sendiri yang tau, hanya aku yang sadar bahwasanya tertulis jelas di wajahku bahwasanya 'aku baru saja jatuh cinta' dan aku langsung tau bahwa orang itu adalah Oikawa Tooru.

"Ohok! Ohok! Ohok!! Huuueeekkk!!!" Aku terbatuk dan merasa mual, seakan aku ingin mengeluarkan perasaan ini dengan cara memuntahkannya dari kerongkonganku.

Aku dan Oikawa sudah berteman sejak kecil. Mengenalnya selama bertahun-tahun berarti aku bisa membacanya seperti sebuah buku yang terbuka. Dan itu juga berarti, Oikawa dapat membacaku juga seperti sebuah buku yang terbuka.

"Ha.. haha.. hahahaha... sial, aku kacau!!" aku membenturkan kepalaku kearah cermin dan kembali kelapangan setalah merapihkan penampilanku. Aku akan mengubur perasaan ini dalam-dalam di dasar hatiku. Namun seharusnya aku tau sedari awal bahwasannya semakin lama perasaan kau simpan, akan semakin besar ia bertumpuk dan meledak.

Tripped [iwaOi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang