Prolog

37 2 0
                                    

Langit pagi ini berduka. Awan mendung menjadi pendukung atas duka langit. Bening-bening air hujan jatuh ke bumi. Lebih tepatnya lagi, ke sebuah area pemakaman umum.

Seorang anak lelaki berusia 12 tahun duduk termangu. Menatap gundukan tanah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir ibunya, Alia.

Tangis anak itu pecah. Dadanya menyesak begitu dalam. Jantungnya nyeri seketika tatkala bayangan-bayangan kenangan bersama Alia hadir begitu saja.

"Ibu ... kenapa pergi secepat ini?" tanya anak itu. Di tengah hujan yang mengguyur, air mata milik anak itu turut jatuh. Berduka atas kematian Alia.

"Ibu, Adit mau sama ibu. Adit sayang ibu. Ibu, ayo bangun. Adit janji, Adit nggak akan bandel sama ibu. Adit janji, Bu."

"Ayo ibu bangun."

Tangan kecilnya mendekap gundukan tanah yang di dalamnya berisi jasad tak bernyawa. Tangisnya tidak juga mereda. Dia tetap menangis begitu histeris.

Air mata, dan gemercik hujan deras menyatu tatkala jatuh bersamaan. Isak tangis berpadu dengan suara guntur yang mulai terdengar. Guntir bercampur kilatan-kilatan petir yang membuat siapapun tidak ingin lama-lama di luar rumah. Namun, tidak bagi Adit, anak yang masih berusia 12 tahun.

"Ibu, ayo bangun! Adit janji, nggak akan nakal lagi."

Adit beberapa kali menciumi batu nisan itu. Kemudian beralih memeluk batu nisan dengan penuh kesedihan, dan kasih sayang. Bercampur menjadi satu.

"Kalau nggak ada ibu, siapa yang mau ngurus Adit, Bu?"

"Kamu masih ada saya, Dit. Jangan lupa kalau saya ini masih ayah kamu!" tegas seorang pria yang tiba-tiba berada di belakang Adit.

Tubuh Adit menegang. Air matanya berhenti turun. Isak tangis pun seketika mereda. Anak lelaki itu bangkit berdiri, lalu berbalik, menghadap pria di belakangnya.

"A-ayah?"

"Iya, saya ayah kamu." Pria itu tersenyum tipis. Sangat tipis. Bahkan Adit tidak bisa melihat senyuman itu, karena guyuran hujan yang makin menderai deras.

Adit memeluk pria itu. Tangisnya kembali pecah. Air matanya tumpah lagi.

"Ayah, Adit rindu. Ayah ke mana aja? Kenapa udah dua tahun ayah nggak pernah ke rumah lagi?"

Pria itu mengusap punggung anaknya. Kemudian, ia melepas pelukan Adit. Mencengkram kuat bahu anak lelakinya.

"Kamu mau saya urus?"

Adit mengangguk tanpa pikir panjang. Membuat tangan pria itu kini beralih mengusap rambut Adit.

"Kalau kamu mau saya urus, kamu harus menuruti perintah saya. Mengerti?" Tatapan pria itu menghunus tajam. Bahkan derai air hujan tidak membuat tatapan itu surut tajam juga.

Adit mengangguk untuk kedua kalinya. Untuk kedua kalinya juga, ia tidak memikir panjang. "Mengerti, Ayah."

"Kalau begitu, saya mau urus kamu."

Senyum bahagia Adit terbit. Ayahnya, Bimo. Seorang pria yang sudah dua tahun lamanya tidak pernah bertemunya. Kini, ingin mengurus dirinya. Adit bersyukur akan hal ini.

'Yang pergi akan tergantikan.' Kalimat itu memang benar adanya.

"Adit boleh peluk ayah lagi?"

Bimo mengangguk. Senyum tipis kembali terbit di raut wajah pria di hadapan Adit.

"Untuk terakhir kalinya, kamu boleh peluk saya, anak bodoh," gumam Bimo. Gumamannya begitu pelan, kalah dengan suara gemercik hujan.

***

"Ayah, maafkan Adit."

"Adit, minta maaf, Ayah!"

"Shh ..."

Suara rintihan dari seorang remaja 17 tahun terdengar begitu lirih. Namun, suara itu tetap saja kalah dengan suara cambukan ikat pinggang yang sedari tadi melesat di tubuhnya.

"Ayah, Adit minta maaf."

"Nggak ada kata maaf untuk anak nakal kayak kamu!" sentak Bimo dengan garang. Ia kembali mencambuki tubuh Adit tanpa belas kasihan dengan seikat pinggang berbahan dasar kulit itu.

Luka-luka memar sudah tercetak di beberapa bagian tubuh Adit. Rasanya sakit. Namun, sebanyak apapun Adit meminta berhenti, dan maaf, Bimo tidak akan pernah menghentikan ini semua sebelum hati pria itu merasa phatia

Adit dipaksa berdiri tegap. Dipaksa merasakan perihnya puluhan kali cambukan ikat pinggang. Dipaksa untuk tidak boleh ambruk, dan terjatuh. Atau akibatnya akan jauh lebih menyakitkan dari ini.

Sayang sekali, tubuh Adit tak bisa lagi menopang semua sakit yang ada. Tubuh Adit hilang keseimbangan, hingga lelaki itu harus tersungkur jatuh ke lantai.

"Adit!" pekik Bimo. Emosinya kembali membuncah. Anak lelakinya yang sudah dirawat lima tahun tetap saja lemah seperti ini.

Bimo menarik lengan Adit. Memaksa anak itu untuk kembali berdiri tegap. Adit pun terpaksa bangkit berdiri seraya menahan rasa perih, dan sakit di sekujur tubuhnya.

"Anak laki-laki itu nggak boleh lemah!" geram Bimo, "kamu laki-laki apa perempuan?!"

Mulut Adit tak bisa lagi berkata-kata. Hanya ringisan sakit yang keluar dari mulutnya. Suaranya tak lagi sanggup mengeluarkan banyak kata.

"Kalau dikasih tahu itu jangan diam saja!" seru Bimo lalu melayang satu tonjokan di pipi kanan Adit.

Tubuh Adit terhuyung ke samping kanan. Aliran darah keluar dari sudut bibirnya. Air mata Adit terbendung di pelupuk matanya, hingga matanya memerah sebab menahan tetesan-tetesan itu untuk tak jatuh.

"Dasar lemah!"

Usai itu, Bimo melenggang pergi. Meninggalkan Adit tanpa ingin membantu sedikit pun. Pergi tanpa rasa bersalah.

Adit menatap kepergian Bimo. Dia tersenyum getir.

"Aku hanya butuh pembelaan diri saat harga diriku terinjak jatuh. Apa itu tidak boleh, Ayah? Adit lelah."

LELAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang