Bab 44. Tidak Ada Harapan

434 49 1
                                    

Selamat Membaca!!!

***

“Devina, boleh kita bicara?” Zidan mencegah langkah Devina di koridor, hendak menuju kantin menyusul Miranda yang lebih dulu pergi karena sudah di serang rasa lapar, sementara Devina harus ke toilet terlebih dulu untuk menyelesaikan urusannya.

Hanya anggukan yang menjadi jawaban Devina, sebelum kemudian mereka melangkah menuju taman yang tidak jauh dari kantin.

“Kenapa?” langsung Devina melayangkan tanya begitu bokongnya berhasil menyentuh kursi beton yang tersedia di taman kampusnya

“Lo balikan sama dosen itu?”

Devina tidak sama sekali terkejut dengan pertanyaan yang di lontarkan Zidan karena bagaimanapun ia dan Sadewa memang tidak terlalu menyembunyikan hubungannya, tidak juga mengumbarnya.

Mereka memilih bersikap biasa, tidak seperti pasangan pada umumnya yang ke mana-mana gandengan tangan atau tingkah-tingkah lainnya yang menandakan bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Di kampus, mereka lebih memilih bersikap profesional selayaknya dosen dan mahasiswi.

“Iya.” Singkat dan jelas, membuat sudut hati Zidan yang belum sepenuhnya rela di putuskan berkedut perih dengan kenyataan yang baru saja di dengarnya.

“Lo cinta dia?”

Selama ini Zidan tahu bahwa Devina bukanlah perempuan yang akan memungut kembali seorang mantan, itulah alasan kenapa ia bisa menyimpulkan bahwa Devina cinta pada dosennya itu. Tapi Zidan ingin langsung mendengar alasan Devina mengapa bisa mencintai Sadewa, sedangkan tidak pada dirinya. Sebenarnya apa yang Sadewa punya, tapi tidak dirinya miliki?

Sejauh menjadi kekasih Devina selama beberapa bulan, Zidan merasa bahwa ia sudah memberikan yang terbaik. Dilihat dari wajah, jelas Zidan tidak kalah tampan dari dosen itu, hanya saja warna kulitnya tidak seputih milik Sadewa. Mobil tidak kalah keren, kesetiaan bahkan Zidan janjikan. Tidak seperti Sadewa yang terkadang masih terlihat meladeni godaan mahasiswi lainnya. Lalu kenapa malah dosen itu yang Devina cintai, mungkinkah karena Sadewa lebih dewasa? Entahlah, karena jawabannya hanya ada pada Devina.

“Gue emang cinta dia, Dan. Meskipun pada awalnya gue selalu menampik itu, namun setelah acara pemutusan itu, gue sadar bahwa gue gak mau kehilangan dia. Saat memilih melepaskan lo, hati gue lega seolah tidak lagi ada beban. Tapi beda saat gue melepaskan Pak Sadewa …,” Devina menjeda ucapannya, menoleh sekilas pada Zidan hanya untuk melihat respons Zidan atas perkataannya yang ia yakini pasti menyakiti hati pria itu. Tapi mau bagaimana lagi, bukankah jujur lebih baik. “Hati gue terasa kosong.” Tambahnya kemudian, dan Devina bisa lihat bahwa Zidan terluka atas kejujurannya.

“Mungkin lo merasa ini gak adil untuk lo, tapi hati tidak bisa gue kendalikan pada siapa dia harus berlabuh. Sekuat apa pun gue berusaha suka sama lo, nyatanya getaran itu tidak sama sekali menampakan diri. Sedangkan untuk Pak Sadewa, baru mendengar namanya saja debaran itu tidak mampu gue hentikan. Gue harus apa kalau nyatanya hati ini jatuh padanya? Tidak ada yang bisa menyalahkan perasaan bukan? Jadi, maaf kalau ini tidak adil untuk lo. Gue hanya berharap akan ada seseorang yang lebih menghargai perasaan lo.”

Setelah memberikan penjelasannya Devina pergi meninggalkan Zidan seorang diri di bangku taman, dan Zidan sendiri tidak berusaha untuk mencegahnya. Sampai disini Zidan paham bahwa memang tidak pernah ada harapan untuknya sejak awal. Sedih? Tentu saja. Terluka? Bahkan sangat. Tapi ya sudahlah mungkin memang Devina bukan ditakdirkan untuknya. Kini Zidan hanya berharap seperti apa yang di ucapkan mantan kekasihnya, semoga suatu saat nanti ada seseorang yang lebih menghargai perasaannya dan tentu saja membalas cintanya. Semoga.

֎

“Dari mana aja sih lo, Dev?” dengus Miranda yang kesal karena dibuat menunggu selama ini di kantin seorang diri. Menyebalkan.

Pelabuhan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang