1. Awal Mula

6 0 0
                                    

"IHH ... KAK AKBAAAAR!!" kesal Tari pada Akbar karena hijabnya dibuat berantakan.

Pria dengan stelan jas kantor berwarna dark grey itu tertawa karena berhasil membuat adiknya kesal.

"Makanya buruan dong Gantari Maulina. Kebiasaan deh suka lama," ucap Akbar sedikit dipertegas. Dia khawatir Tari akan terlambat ke kampus kalau tidak dikomando seperti ini.

Terkadang Tari menjadi tipikal orang yang terlalu santai. Bukan malas, hanya saja dia tidak suka jika harus diburu-buru.

"Ayo!" ucap Tari ketika berjalan melewati Akbar. Mukanya yang ditekuk menandakan bahwa dia masih kesal dengan sikap Akbar tadi.

Setelah menutup pintu Akbar menyusul Tari yang terlebih dahulu masuk mobil.

"Kenapa sih mukanya cemberut gitu. Masih marah sama kakakmu yang ganteng ini?" tanya Akbar sambil menyalakan mesin.

"Ganteng dari mananya," ketus Tari membuat Akbar terkekeh.

"Ayo cepetan dong nanti aku terlambat," gerutu Tari karena Akbar tak kunjung menjalankan mobilnya.

"Iya-iya, bawel." Akbar melajukan mobilnya dengan kecepatan normal.

Di sepanjang jalan Tari tak banyak bersuara meskipun Akbar sudah mengajaknya bicara. Dia asik membaca novel yang tak pernah lupa dia bawa.

"Kamu lagi baca novel apa sih? Seru banget kayaknya," tanya Akbar sambil sedikit memiringkan kepalanya, mengintip novel yang Tari baca.

"Level tertinggi mencintai adalah mengikhlaskan." Setelah membaca quote di novel itu Akbar terdiam cukup lama.

"Kakak mau baca juga dong!" Tangan kiri Akbar berusaha mengambil alih novelnya membuat Tari langsung menoleh kesal.

"Kak Akbar ih, nyebelin banget!"

"Kamu kenapa sih marah-marah mulu, nanti cepet tua loh," canda Akbar malah membuat Tari semakin menekuk wajahnya.

Akbar terkekeh melihat sikap adiknya yang masih saja seperti anak kecil. Akhirnya Akbar memilih fokus menyetir dan membiarkan Tari yang sedang memanas.

Tak lama kemudian mobil menepi di depan Universitas Bakti Nusantara.

Tari memasukan novelnya ke dalam tas dan segera turun dari mobil setelah berpamitan pada Akbar.

Kelas yang akan dimulai sepuluh menit lagi membuat Tari panik dan refleks berlari dari gerbang masuk menuju gedung perkuliahan.

Saking terburu-burunya, Tari terjatuh karena menabrak seseorang yang tengah berjalan dengan headphone yang menempel di telinganya.

Tari menepuk-nepuk gamisnya yang sedikit kotor lalu mendongak. Dia dapat melihat pria tinggi dengan kacamata frame hitam yang bertengger di hidung mancungnya dengan gaya rambut berponi sedang berdiri di hadapannya. Kulitnya yang putih bersih sangat kontras dengan hoodie dan jeans yang dikenakannya yang sama-sama berwarna hitam.

Tari tidak berkedip untuk beberapa saat, dia seperti melihat penampakan malaikat disiang bolong. Seketika dia mengucapkan istighfar saat pria itu perlahan mendekatinya dan mengulurkan tangan.

Dengan canggung Tari berkata, "Nggak usah, terimakasih. Saya bisa sendiri."

Kening pria itu berkerut mendengar apa yang Tari katakan. Kemudian dia mengambil benda kecil semacam memory card yang berada tidak jauh dari posisi Tari. Setelah itu dia kembali melanjutkan langkahnya dan tak mempedulikan Tari sedikit pun.

Tari melongo. Orang-orang yang berada ditempat kejadian tertawa melihat semua itu. Mungkin sekarang wajah Tari sudah memerah karena rasa malu yang tiada tara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GantariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang