BAGIAN 1

223 9 0
                                    

1
Pagi masih diselimuti kabut, walau matahari mencoba mengusirnya sedikit demi sedikit. Burung-burung bercanda riang, mengisi suasana hari yang tampaknya terasa indah ini, di tepian Hutan Walang.
Dan hari yang indah ini tak dilewatkan oleh dua gadis yang bercanda riang di atas punggung kuda masing-masing. Sesekali mereka tertawa renyah. Yang seorang berbaju merah. Sedang yang seorang lagi berbaju kuning. Dan mereka sama-sama cantik, di samping terlihat tak bisa dianggap remeh. Pedang di pinggang masing-masing membuktikan kalau mereka adalah orang persilatan. Entah apa yang dibicarakan, tiba-tiba mereka menghentikan langkah kudanya.
"Kalau begitu, kita berbalap saja sampai di persimpangan jalan di depan sana. Siapa yang menang, boleh mendapatkannya," tantang gadis berbaju merah sambil tersenyum-senyum.
"Kau gila, Lastri!" cetus gadis berbaju kuning dengan wajah memerah menahan malu.
"Kenapa, Dara?" goda gadis berbaju merah yang dipanggil Lastri sambil tertawa." Kalau kau tidak berani, berarti Kang Sanja untukku."
"Terserahmulah...!" desah gadis berbaju kuning yang dipanggil. Dara seperti tak punya pilihan lain.
Lastri kembali cekikikan.
"Jadi, kau rela Kang Sanja untukku?" ledek Lastri lagi.
"Aku tidak bilang begitu!"
Lastri kembali tertawa lebar, melihat sikap sahabatnya.
"Tidak! Pokoknya aku tidak mau dengan cara-cara seperti itu. Memang dia apa, harus diperebutkan segala? Kalau kau mau, ya silakan ambil!" tukas Dara.
"Kau tidak menyesal?" goda Lastri.
"Kenapa mesti menyesal?!"
"Kang Sanja tampan dan banyak disukai gadis cantik..."
"Sudahlah, Lastri. Aku tidak mau membicarakan soal itu lagi."
"Kau sungguh-sungguh tidak mau ikut memperebutkan Kang Sanja?"
"Tidak,"
"Atau, barangkali kau telah punya pilihan?"
"Tidak! Eh, iya!"
"Jangan berbohong, Dara. Kenapa mesti malu mengatakan, kalau kau pun sebenarnya menyukai Kang Sanja?" ujar Lastri, disertai senyum.
"Tidak. Aku tidak menyukainya!" tegas Dara, lebih tegas.
"Baiklah. Kalau begitu, aku percaya! Nah! Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, kenapa? Padahal, semua gadis menyukainya. Dia tampan dan baik budi bahasanya. Lalu kenapa kau tidak tertarik?"
"Apakah mesti ada alasan?" tanya Dara seraya menggebah kudanya perlahan-lahan. Dan Lastri pun mengikutinya
"Kenapa tidak?"
Gadis berbaju kuning itu menarik napas panjang, lalu menoleh kepada Lastri sambil tersenyum. "Yaaah..., karena aku tidak suka saja!" desah Dara.
"Cuma itu?'"
Dara mengangguk
"Aku tidak percaya!"
"Syukurlah. Soalnya, aku tidak minta kau percaya...," jawab Dara sekenanya.
"Ayolah, Dara. Jangan membuatku penasaran ..."
"Apa yang harus kukatakan? Kalian mungkin saja suka kepadanya. Tapi, aku tidak. Lalu, kenapa mesti pakai alasan segala?"
"Kalau kami suka padanya, punya alasan jelas. Tapi, apa alasanmu tidak menyukainya?"
"Kenapa kau begitu penasaran?" pancing Dara tersenyum-senyum kecil.
"Aku cuma sekadar ingin tahu,"
"Baiklah. Karena..." Dara terdiam dan melirik sahabatnya itu sambil tersenyum.
"Ayo, katakan!" desak Lastri, seraya mencubit pinggang gadis berbaju kuning itu dengan gemas.
"Aduuuh! Aku tidak mau katakan...!" tolak Dara, setelah menjerit kesakitan. Setelah itu, Dara menggebah kencang kudanya seperti hendak mempermainkan kawannya.
"Heaaa...!"
"Brengsek!" rutuk Lastri. Dengan gemas gadis berbaju merah itu pun langsung menggebah kudanya, mengejar gadis berbaju kuning.
"Hihihi! Kalau kau bisa mengejarku, aku akan katakan alasannya!" teriak Dara.
"Awas kau, Dara! Aku tidak sekadar menagih alasan, tapi akan menjitakmu!"
Dara kembali tertawa renyah. Kudanya terus digebah kencang. Sementara di belakangnya, Lastri mengejar penuh penasaran.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Baru saja mereka berkejar-kejaran dengan kudanya, mendadak berkelebat satu bayangan yang langsung berdiri menghadang. Dara yang berada di depan.
Saat itu juga, gadis berbaju kuning ini cepat menarik tali kekang kudanya. Begitu kuda tunggangan berhenti, orang yang menghadang telah mendorong kedua telapak tangannya kemuka. Dara terkesiap, melihat serangkum angin kencang menuju ke arahnya. Maka buru-buru dia melompat dari punggung kuda dengan gerakan indah sekali.
"Hup!'
"Kurang ajar!" maki Dara begitu kakinya mendarat dengan manis di tanah berumput.
"Ada apa, Dara?" tanya Lastri yang baru saja turun dari kudanya.
Di depan mereka kini berdiri seorang laki-laki kurus. Punggungnya sedikit bungkuk. Dia menyeringai. Orang itu mengenakan surjan kuning, memakai blangkon berbunga-bunga coklat dengan dasar kuning. Di pinggang belakangnya terselip sebilah keris.
"Bajingan ini hendak bermain-main dengan kita rupanya," dengus Dara.
"Keparat! Dia boleh coba kalau bisa. Kalau macam-macam, biar kupenggal saja lehernya!" kata Lastri, ikut-ikutan geram.
"Hehehe...! Dua bidadari berjalan sendiri tanpa pengawal adalah kecerobohan. Hati-hati, banyak orang jahat berkeliaran. Kalau tidak keberatan, bolehkah aku mengawal kalian!" sapa laki-laki bersurjan kuning ini, disertai kekehan memuakkan.
"Bajingan busuk! Lantas, apa maksud tindakanmu tadi?!" hardik Dara.
"Ah! Rupanya kau masih marah padaku. Percayalah.... Aku tidak hanya bermain-main. Tidak ada maksud jahat sedikit pun dihatiku. Sekadar ingin berkenalan saja. Kalau tidak dengan cara itu, lalu cara bagaimana?"
"Apa kau kira kami percaya bualanmu itu? Huh!" dengus Lastri.
"Aku tidak minta kalian percaya..."
"Minggirlah! Kami tidak ada urusan denganmu!" sentak Dara, seraya kembali melompat kepunggung kudanya.
"Aku telah berada di sini. Dan aku tidak akan pergi, sebelum keinginanku terpenuhi," sahut laki-laki itu enteng.
"Keparat! Apa sebenarnya yang kau inginkan?!" bentak Dara.
"Aku menginginkan kalian berdua"
"Bajingan cabul! Enyahlah kau dari sini, sebelum kami gelap mata dan membunuhmu!" bentak Lastri. Gadis berbaju merah ini tak kuasa menahan amarah dan kejengkelannya. Tangannya yang sudah meraba gagang pedang langsung terangkat.
Sring!
Saat itu juga Lastri sudah meloloskan pedangnya yang langsung berkilatan terjilat sinar matahari pagi. Namun melihat gadis didepannya sudah mencabut pedang, laki-laki bersurjan kuning itu sama sekali tidak terlihat gentar. Dia malah terkekeh seperti mengejek.
"Kau ingin mengancamku dengan pedang itu? Hehehe...! Tidak ada seorang pun yang bisa menyurutkan keinginanku. Apalagi, hanya dua orang gadis seperti kalian."
"Huh! Kata-katamu sudah meremehkan kami berdua, Kisanak! Dan kalau kau memang sudah bosan hidup, aku akan mengabulkannya dengan senang hati! Heaaat...!" Lastri tidak bisa menahari amarahnya lagi. Tubuhnya langsung melenting, menyerang laki-laki bersurjan kuning ini.
"Uts! Ternyata kau galak juga. Aku suka sekali dengan gadis galak sepertimu!" leceh laki-laki itu seraya berkelit menghindari tebasan senjata Lastri.
Bahkan saat gadis berbaju merah itu membabatkan pedangnya kebagian-bagian yang mematikan, laki-laki bersurjan kuning ini begitu mudah menghindar dengan melompat kebelakang sambil berputar seperti gasing.
"Hiiih!"
Sementara Lastri semakin penasaran. Seketika dikejarnya laki-laki itu dengan pedang bergerak semakin cepat. Kali ini dia tidak mau bertindak kepalang tanggung. Segenap kemampuannya benar-benar dikerahkan untuk menjatuhkan lawan secepatnya.
Namun sampai sejauh itu, belum ada satu pun serangan Lastri yang mampu menyentuh kulit laki-laki bersurjan kuning ini. Setiap serangannya, selalu saja menebas angin.
"Hm... Apakah kebisaanmu hanya sampai di sini? Kalau begitu, kau perlu belajar sepuluh tahun lagi, Nisanak!" ejek laki laki bersurjan kuning, setelah baru saja menghindari tebasan pedang Lastri yang mengarah kelehernya.
Apa yang dilakukan laki-laki itu memang hebat. Meski serangan datang bertubi-tubi, tapi mampu dihindari dengan hanya meliuk-liukkan tubuhnya dan terkadang hanya melompat-lompat kecil. Bahkan sampai saat ini dia masih bertangan kosong.
"Biar kubantu kau meringkusnya, Lastri!" seru Dara, langsung meluruk dan menyerang laki-laki itu dengan tusukan-tusukan pedangnya.
"Hehehe...! Kenapa baru sekarang? Bukankah seharusnya sejak tadi kau membantunya?" ejek laki-laki bersurjan kuning ini, lagi-lagi sambil berkelit menghindari dengan melompat-lompat kecil ke kiri dan kanan.
"Tidak usah banyak mulut! Lebih baik pikirkan lehermu!" desis gadis berbaju kuning itu, sambil melepaskan sabetan pedang ke leher.
Lastri sama sekali tidak keberatan ketika Dara ikut membantu. Sebab disadari, akan sia-sia saja mendesak lawan seorang diri. Meski telah mengerahkan segala kemampuan, tetap saja laki-laki bersurjan itu tidak terlihat tanda-tanda terdesak, tapi malah bergerak ringan menghindari setiap serangannya.
Begitu juga ketika kedua gadis itu meningkatkan permainan jurusnya. Walaupun serangan mereka berdua sangat kompak dan memiliki daya serang beragam, tapi itu pun ternyata belum cukup. Apalagi bila melihat kemampuan ilmu meringankan tubuh lawannya memang amat mengagumkan.
"Hehehe...! Apakah hanya sampai di situ saja kepandaian kalian? Apakah si tua bangka Gandring tidak mengajari kedigdayaan lain?"
"Hei?! Kau mengenal guru kami? Siapa kau sebenarnya?!" tanya Dara terkesiap.
Seketika gadis itu melompat ke belakang, menghentikan serangan. Perbuatannya diikuti Lastri. Keduanya memandang laki-laki kurus berkumis tipis itu dengan seksama.
"Kenapa tidak? Si Gandring sudah kubuat keok beberapa tahun berselang. Dan aku tahu betul kepandaian macam apa yang dimilikinya! Ya! Seperti yang kalian perlihatkan itu! Picisan, dan sangat rendah!"
"Keparat!" Dara dan Lastri hampir bersamaan memaki ketika mendengar hinaan yang dilontarkan untuk guru mereka. Bagi mereka itu sudah lebih dari cukup untuk melenyapkan laki-laki bersurjan kuning ini. Namun sebelum mereka bergerak menyerang....
"Cukup! Kali ini aku yang akan menunjukkan pada kalian, bagaimana caranya menyerang yang baik!"
Baru saja selesai bicaranya, mendadak laki-laki itu melompat menerjang Lastri dan Dara. Serangan pertama ditujukan kepada Lastri. Dan ketika gadis itu coba melompat ke belakang, laki-laki ini telah mendahului dengan ayunan kepalan tangan.
"Hiiih!"
Secepat kilat Lasrri mengayunkan pedangnya, hendak memapas tangan laki-laki bersurjan kuning ini. Namun, pedang itu hanya menyambar tempat kosong, karena laki-laki bersurjan kuning telah menarik pulang pukulannya. Bahkan seketika itu pula tubuhnya dimiringkan sambil melepaskan totokan kearah bawah ketiak Lastri. Dan...
Tuk!
"Ahhh...!" Lastri kontan ambruk tak berdaya begitu totokan laki-laki bersurjan kuning ini mendarat telak di bawah ketiaknya. Tubuhnya seketika lemas seperti tak bertulang. Dan semua anggota tubuhnya sulit digerakkan.
"Bajingan keparat! Apa yang kau perbuat terhadap kawanku?!" desis Dara geram. Langsung dia melompat menyerang sambil membabatkan pedangnya.
"Hehehe... ! Kau kira apa? Kau pun akan mengalami nasib yang sama!" sahut laki-laki itu enteng.
Secepat kilat tubuh laki-laki bersurjan membungkuk, sehingga pedang gadis itu hanya memapas tempat kosong. Namun begitu, Dara tidak putus asa. Langsung kakinya diayunkan menyodok lambung.
"Uts!" Laki-laki bersurjan ini berkelit dengan memutar tubuhnya sedikit ke samping. Sehingga, serangan itu luput dan sasaran. Lalu dengan gesit ditangkapnya pergelangan kaki gadis itu.
Tap!
Bukan main gemasnya. Dara melihat keadaan ini. Apalagi ketika lawan coba membetotnya.
"Hih"
Dengan geram Dara membabatkan pedangnya kearah tangan yang mencekal kakinya.
"Putus!" bentak Dara.
"Uts!" Cepat-cepat laki-laki itu melepaskan cekalannya. Lalu mendadak tubuhnya berputar langsung melepaskan totokan yang cepat bagai kilat.
Tuk!
"Aaah...!" Dara langsung jatuh lemas tak berdaya, begitu di bagian bawah buah dadanya yang membusung terkena totokan.
"Hehehe...! Apa kataku. Tidak ada seorang pun yang bisa menahan keinginanku!" ejek laki-laki bersurjan kuning ini.
"Bajingan busuk! Lepaskan totokanmu! Aku masih mampu menghadapimu sampai seratus jurus sekali pun? Lepaskan kataku!" bentak Dara.
"Ooo..., ternyata kau pun galak juga! Hm, sungguh menarik! Dua gadis cantik dan galak. Benar-benar membuat hatiku tak tahan!"
Bola mata laki-laki itu jelalatan menghampiri kedua gadis ini dengan seringai mirip serigala lapar. Jakunnya turun naik, menelan liurnya yang hampir menetes oleh hawa nafsu. Dia lantas berjongkok mendekati Dara.
"Ouw...! Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau...!" teriak Dara marah bukan main ketika jari-jari tangan laki-laki itu dengan nakal menggerayangi dadanya yang membusung indah.
"Hehehe...! Dadamu bagus sehingga membuatku puyeng! Ah! Aku jadi tidak sabar lagi," kata laki-laki itu. Segera diangkatnya tubuh Dara dan dipindahkannya ke balik semak-semak di pinggiran Hutan Walang.
Sebentar saja, laki-laki ini telah kembali, langsung membopong Lastri ke balik semak-semak pula. Karuan saja kedua gadis itu berteriak-teriak geram sambil memaki-maki. Tapi percuma saja. Sebab semakin mereka memaki, maka semakin semangat saja tangan-tangan nakal itu menggerayangi.
"Aaah...! Kau semakin membuatku geram saja!" desis laki-laki itu kelihatan mulai blingsatan menjilati tubuh Dara dengan matanya. Kemudian tangannya bergerak cepat. Dan...
Bret!
"Aouw, kurang ajar...! Apa yang kau lakukan?! Bajingan terkutuk! Enyah kau! Lepaskan aku! Lepaskaaan...!" jerit Dara, ketika laki-laki itu merobek pakaian di bagian dadanya.
Dan mata laki-laki itu makin liar saja menjilati dada Dara yang membukit indah di depannya. Bahkan liurnya hampir menetes, Kalau tidak cepat-cepat ditelannya.
"Hehehe...! Benar dugaanku. Kau memiliki dada yang bagus. Hm... Kau tentu tahu, apa yang kuinginkan, bukan? Nah! Untuk apa tunggu lama-lama!"
Tanpa mempedulikan teriakan dan makian gadis itu laki-laki ini melucuti pakaian Dara. Sementara percuma saja gadis itu berteriak-teriak Dalam keadaan tertotok begitu, dia tidak bisa memberikan perlawanan. Apalagi, tempat ini termasuk kawasan sepi yang jarang dilalui orang. Teriakannya hanya tenggelam ditelan kesunyian. Selanjutnya, hanya angin yang tahu apa yang dilakukan laki-laki bersurjan kuning ini, setelah melepaskan pakaiannya sendiri.

***

Laki-laki itu tergelak puas sambil mengenakan pakaiannya.
"Hehehe...! Tidak kusangka, kalian benar-benar hebat! Luar biasa. Kapan-kapan kalau ada waktu, datanglah ke sini lagi. Dan kita ulangi permainan tadi!"
Lastri dan Dara yang telentang tidak begitu jauh, hanya menangis sesegukan menyesali nasibnya yang buruk. Tidak ada sesuatu pun yang bisa dilakukan untuk saat ini.
"Hahaha...! Tidak usah menangis! Toh, kita sama-sama senang. Nah! Aku pergi dulu! Ingat, bila kalian ingin mengulanginya lagi carilah aku Bajingan Gunung Merapi! Hahaha...!" leceh laki-laki itu, segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Dan sebentar saja, tubuhnya hilang dari pandangan.
Laki-laki yang menyebut dirinya sebagai Bajingan Gunung Merapi itu agaknya melupakan sesuatu, atau memang disengaja. Sebab kedua gadis itu dibiarkan masih dalam keadaan tertotok, dan tanpa penutup tubuh!
"Ohhh!" Dara menggeliat. Totokan pada tubuhnya mulai hilang. Dengan perlahan-lahan dia bangkit seraya memungut potongan bajunya yang masih bisa dipakai. Tubuhnya masih terasa lemah tak berdaya. Rasa sakit nyeri yang menggigit dirasakan pada bagian di antara kedua pahanya.
"Lastri...," panggil Dara pelan, ketika Lastri terlihat duduk terdiam pada bagian semak-semak yang tidak berapa jauh dari tempatnya.
Tidak ada sahutan. Gadis itu curiga. Perlahan-lahan tubuhnya beringsut mendekati. Dan alangkah kagetnya Dara ketika melihat apa yang diperbuat Lastri. Kaki kanannya buru-buru terayun melakukan tendangan.
Tak!
"Hentikan! Apa yang akan kau lakukan?!" bentak Dara.

***

166. Pendekar Rajawali Sakti : Bajingan Gunung MerapiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang