Decision

803 76 1
                                    

(( 🎧 )) Play the music for better reading experience. 

Tay benar-benar tak tahu apa pun. Pemuda bernama New itu benar-benar menyimpan semuanya sendiri. Kini, di hadapannya pun, New masih penuh rahasia. Matanya menatap ke luar jendela, dengan sendu menatap randu yang luruh ke tanah. Napasnya terdengar berat.

Berjuta pertanyaan ada di benak Tay. Ia ingin tahu semuanya. Ia ingin New menceritakan semuanya, mulai dari alasan apa yang membuatnya menjauh hingga kebenaran soal ayahnya. Akan tetapi, melihat keadaan New sekarang, ia mengurungkan niatnya. Ia memilih ikut diam, menunggu hingga New mau bicara.

"Masih ingin main salju?" New akhirnya bersuara. Tay sedikit tertegun. Ia lalu ikut menatap pohon randu di luar jendela. Tay ingat, ia dan New sering bermain di sana saat mereka masih kecil. Ketika randunya meranggas, mereka berimajinasi seolah-olah tengah dihujani salju. Mereka tertawa lepas, sambil melemparkan harapan-harapan untuk masa depan.

Anak kecil yang belum tahu kerasnya dunia, melemparkan harap tanpa cemas. Mungkin, Tuhan hanya terkekeh mendengarnya. Pasalnya, kenyataan menjadi dewasa perlahan akan menggerus semuanya hingga tak bersisa. Pendewasaan berjalan beriringan dengan pemakluman akan ketidakmampuan.

"Jangan tunda keberangkatanmu lagi," New memandang Tay, "sudah saatnya kau terbang bebas, Tay."

Tay tak begitu mengerti apa yang sebenarnya dimaksud New. Terbang bebas? Memangnya, selama ini ia tak terbang bebas? Apa ia berpikir, alasan Tay menunda S2-nya ke Amerika itu gara-gara dirinya? Setahun yang lalu, Tay sebenarnya sudah menyelesaikan studinya. Orang tuanya lalu menawarinya untuk melanjutkan studi ke Amerika---seperti apa yang dicita-citakannya selama ini. Namun, Tay hanya ingin beristirahat sebentar setelah bergelut dengan skripsinya. Ia masih ingin menghabiskan waktu di Thailand. Walau di satu sisi ia juga ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama New, bukan berarti New yang membuatnya tak terbang bebas, kan?

Tidak, New ... Tidak. Apa maksudmu ... kau memintaku untuk meninggalkanmu?

"Apa ... maksudmu?" Suara Tay terdengar lemah. Hanya memikirkannya saja, Tay merasa dayanya hilang.

New menarik napas, lalu tersenyum. "Terima kasih, Tay. Maaf sudah membuatmu kerepotan. Aku ..."

Belum selesai bicara, buru-buru Tay menghampiri pemuda yang 2 tahun lebih muda darinya itu. Ia mendekap pemuda itu erat, seolah takut New akan menghilang lagi dari hadapannya. New tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Bukan karena ia merasa sesak akibat dipeluk terlalu erat, melainkan karena ...

Seperti namanya, Tawan, pelukannya pun memang sehangat matahari.

"Jangan pergi ...." ucap Tay lirih. "Jangan pergi meninggalkanku lagi. Aku ... aku betul-betul menyayangimu."

New sedikit tertegun.Tapi ... kenapa? Kenapa bisa Tay menyayanginya? Pertanyaan itu terbesit dalam benaknya. Padahal, New tak ubahnya beban untuk Tay. Sudah cukup New saja yang tersesat, Tay tak boleh ikut-ikutan. Ia tak mau menyesatkan malaikat pelindungnya lebih jauh lagi. Bukankah artinya ... menjauh adalah pilihan yang terbaik?

"Maaf jika selama ini aku membuatmu risih. Maaf jika aku belum bisa menjadi orang yang kau percaya. Maaf jika aku terlalu banyak menuntut. Maafkan aku ..." Tay terus meminta maaf.

Jika Tawan adalah matahari, New mungkin Ikarus yang bodoh. Ia tahu, ia tak boleh mendekati matahari. Namun, ia tetap nekat hingga akhirnya membakar sayapnya sendiri. Kemudian, ia kini jatuh menghantam lautan. Matahari tentu tak boleh ikut tenggelam bersamanya. Tugas matahari adalah untuk menyinari banyak orang---bukan untuk melindunginya, apalagi merasa bersalah atas kebodohannya.

"Aku hanya beban bagimu, Tay. Aku-"

"Jangan dengarkan kata-kata jahat itu!" Sedikit marah, Tay kini melepaskan pelukannya. Ia memegang kedua bahu pemuda itu sambil menatap kedua matanya. "Tolong ... jangan berpikir begitu!"

"Tapi, memang itu kenyataan-"

"Tidak," Tay memotong, "kau bukan beban, New. Sama sekali bukan. Kau bukan beban untuk siapa pun. Sekalipun ada orang lain yang berpikir begitu, kau tetap berhak bahagia."

Mendengar perkataan Tay. Air mata New mendesak untuk mengalir. Benar-benar cengeng, ya? Segala kenangan soal hidupnya muncul sekelebat, kemudian melambat pada tiap memorinya bersama Tay. Senyum itu, suara itu. Semuanya terpatri dalam ingatan New.

"Aku benar-benar menyayangimu. Kau tak harus membalas perasaanku. Maaf jika aku egois, aku hanya ..." Tay meraih tangan New, menggenggamnya lembut, "... aku hanya tak ingin kehilanganmu. Tolong jangan pergi lagi, ya?"

New tertunduk. Tay kembali berbicara, "Maafkan aku yang sudah membuatmu begini. Aku berjanji, aku akan berusaha lebih keras lagi agar aku bisa mewujudkan janjiku saat pertama kali kita bertemu."

Kalau begitu, aku yang akan jaga New selalu!

Apa benar New berhak bahagia? Apa benar New berhak mendapatkan ini semua? Sebelum pertanyaan itu terjawab, Tay perlahan mendekatkan diri padanya. Tay mengecup keningnya, lalu mengusap rambutnya lembut.

Tuhan, maafkan aku.

"Maafkan aku, Tay ..."

"Kau tak salah apa-apa."

"Kau sampai pergi sejauh ini ..."

"Memang aku yang mau."

"Maaf karena kau harus mengenalku ..."

"Justru aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu."

"Padahal aku hanya membebanimu ..."

"Aku tidak pernah merasa kalau kau membebaniku."

"Kau berhak bahagia."

"Kau juga, New."

"Aku tidak sesempurnamu."

"Justru kau yang menyempurnakanku."

"Bagaimana bisa?"

"Karena kau memang selalu melengkapiku," jawab Tay. "Kalau kau tanya alasan yang lebih logis, beri aku waktu untuk menemukan jawabannya karena saat ini aku hanya mengikuti apa kata hatiku saja."

Tuhan, maafkan aku.

New melihat keluar jendela lagi. Tampak ayahnya berdiri menatap ke arahnya. Ekspresinya tak tertebak; Ia tersenyum, tetapi tatapannya sendu.

"Jika kau belum memercayaiku sekarang, tak apa." Tiba-tiba Tay melanjutkan perkataannya. "Asalkan kau tidak meninggalkanku lagi, itu sudah lebih dari cukup."

Tuhan, aku benar-benar minta maaf.

"Tay, aku ..."

"Tenangkan dulu dirimu," Tay mengusap punggung tangan New dengan ibu jarinya, "usir kata-kata jahat itu dari pikiranmu," lanjutnya.

New terdiam sejenak. Ia menggigit bibirnya, berusaha agar air mata tak meleleh dari matanya lagi. Melihat Tay yang menatapnya lembut, hatinya pun terasa melunak.

"Tay ..."

"Ya?"

"Terima kasih ..." New berusaha untuk tersenyum, "terima kasih karena selalu berusaha untukku."

Kali ini, terima kasih yang jauh berbeda dari sebelumnya. Terima kasih yang melegakan hati Tay---juga New sendiri.

***

Imperfection x TayNew (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang