Lima

591 44 6
                                    

Percaya atau tidak, saat ini aku dan Kak Irham sudah berada di atas pelaminan, bukan sebagai tamu undangan, melainkan sebagai mempelai pengantin yang baru saja mengucap janji suci untuk sehidup semati.

Sudah dua bulan aku mengenal Ka Irham. Baik, buruknya dia, sedikit demi sedikit aku sudah mengetahui sosok lelaki yang kini sedang bersanding denganku.

Awalnya aku memang ragu untuk melangkah kepelaminan bersamanya. kalau bukan karena dirinya yang terus meyakinkan diriku akan ketulusannya, dan kalau bukan karena kesabarannya yang luar biasa menghadapi sikap ku selama dua bulan terakhir ini, mungkin aku tidak akan mau menerima lamaran dirinya.

Sikapnya yang ramah, penyayang, dewasa dan selalu mengalah. Mungkin itu nilai plus untukku.

Satu hal yang membuat aku tak ragu lagi untuk menerimanya khitbah nya.
Tentu kalian juga penasaran dengan apa yang terjadi di malam pertemuan pertama kami.

"Apapun yang Ukhti Anisa tanyakan pada saya, Insya Allah saya akan menjawabnya. Sebisa mungkin saya akan menjawabnya dengan jujur," kata Ka Irham dengan nada yang begitu santun dan formal tanpa berani menatap wajahku secara langsung. "Tapi sebelumnya apa boleh saya memanggil Ukhti Anisa dengan sebutan De Nisa aja?" tanya Ka Irham yang membuat ku terdiam untuk sesaat. "Kakak tidak punya maksud lain, kok. Agar bisa lebih santai saja. Soalnya bingung juga mau panggil apa."

"Apapun itu, kalau memang itu membuat Kak Irham nyaman. Tapi, apa tidak sebaiknya panggil aku Anisa saja? Bukankah itu lebih enak," ucapku.

"Lebih enak, De Nisa. Lebih sopan," jawabnya seraya merangkai senyuman indah.

"Astagfirullah, senyumannya..." batin ku yang tak kuasa menahan pesonNya dan memilih merekatkan mata untuk sekejap.

Aku yang sudah menyiapkan beberapa pertanyaan untuk dirinya pun lansung melempar pertanyaan yang sedari tadi berkeliaran dalam benakku.

"Kak Irham!" Panggilku ku yang membuat dirinya langsung menoleh ke arahku. "Maaf sebelumnya. Tapi Anisa pengen tau banget tentang kebenaran ucapan Kak Irham beberapa hari lalu di tempat seminar. Kakak bilang kalau Kakak kenal aku satu tahun lalu. Apa itu benar? Atau itu hanya alasan?" tanyaku yang membuat Kak Irham menghela napas berat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan yang ku lontarkan.

"Lebih tepatnya satu tahun lebih enam minggu. Siang itu aku melihat seorang perempuan cantik yang baru keluar dari toko buku. Wanita itu berkerudung putih dengan gaun berwarna biru laut. Dia begitu cantik dan mempunyai sinar di wajahnya, bahkan senyumannya saja mampu membuatku tak bisa berhenti untuk menatapnya. Namun tak lama setelah ke luar dia berlari cepat untuk membantu seekor kucing berwarna putih yang hendak menyebrang jalanan dan hampir tertabrak oleh pengendara jalan."ucapnya tersenyum kecil seakan membayangkan kembali kejadian waktu itu.

Bahkan ucapannya mampu membuat aku terdiam dan mengingat masa lalu yang sama persis dengan apa yang aku alami dan dengan yang ka Irham ceritakan.
"Bahkan perempuan cantik itu tidak memikirkan nyawanya sendiri. Sampai akhirnya ..."

"Sampai akhirnya datang seorang lelaki yang entah dari mana asalnya, dia datang secara tiba-tiba untuk menolongku yang hendak terserempet motor, lelaki itu berpenampilan tertutup di bagian wajahnya karena masih menggunakan half finger, dan masker ala ninja, tapi salahnya dia malah menenteng jaket kulit tanpa ia kenakan, dan itu mengakibatkan dirinya terluka, andai saja jaket kulit itu dia kenakan pasti lelaki itu tidak akan mengalami luka di bagian tangannya" ucapku menyela sembari membayangkan kembali kejadian beberapa tahun silam, yang memang belum aku lupakan sama sekali setiap detail kejadiannya.

"Iya, saat itu aku harusnya memakai jaket itu. Tapi saat aku hendak mengenakan jaket tersebut, aku malah tak bisa menahan raga ku untuk menolong perempuan itu dan malah berlari kencang untuk menolongnya," jawab Kak Irham yang membuat aku dan dirinya terdiam untuk sesaat.

Namun, setelahnya kami pun tertawa lecil saat mengingat kejadian itu kembali. Saat itulah aku melihat Kak Irham untuk pertama kalinya, dan aku baru mengingat itu semua.

Awal bertemu di acara seminar memang wajahnya sedikit familiar seperti pernah aku lihat sebelumnya, tapi aku sendiri mencoba menyangkalnya karena merasa tidak yakin akan hal itu.

Dan ternyata Ka Irham lah, lelaki yang dulu menolongku. Bahkan kecelakaan itu mengakibatkan tangan sebelah kirinya terluka parah. Dan mengharuskan dirinya untuk di jahit.

Bagimana mungkin aku bisa mengingat sosok Kak Irham, sedangkan dia saja dulu berambut panjang, alias gondrong. Sangat berbeda sekali dengan penampilannya sekarang ini, dia yang begitu tertata rapih dalam penampilannya.

Aku memang membawanya ke rumah sakit terdekat saat itu. Tapi saat itu juga aku langsung buru-buru pulang karena ada telepon dari Bunda yang mengharuskan pulang tanpa bertukar nama terlebih dahulu.

Aku hanya menitipkan selembar kertas yang berisi ucapan terimakasih ku atas pertolongannya, dan tanda tangan yang berisi nama di bawahnya.

Setelah itu aku pun tidak tau dengan apa yang terjadi lagi padanya, yang aku ingat, aku kembali pada malam harinya dengan Bang Fahri untuk bertanggung jawab. Tapi sayangnya dia sudah tidak ada di tempat.

"Satu tahun lamanya, saya mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaan saya pada perempuan berkerkerudung putih itu. Selama satu tahun juga saya mencari tahu tentang sosok dirinha, dan semakin hari semakin bertambah juga rasa kagum saya pada sosok ..." ka Irham menunjukkan jempolnya mengarah padaku dengan santun tanpa menatap.

Mungkin yang dia maksud itu, Aku. Aku wanita yang dia kagumi. Bahkan sampai saat ini Ka Irham lelaki pertama yang berani mengagumi ku dalam diam. Namun diam nya dia mempuatku penasaran akan sosok dirinya.

"Anisa bingung harus bicara apa. Saat itu Anisa juga belum sempat berterimakasih pada Kak Irham, jadi terimakasih banyak karena Kak Irham sudah pernah menolong Anisa waktu itu. Dan, maaf juga kalau Anisa tidak menyadari kehadiran Kak Irham," kataku sedikit sungkan.

Ka irham malah tersenyum tanpa menjawabnya. "Terus De nisa mau tanya apa lagi sama Kakak?" tanya nya. Membuatku menggelengkan kepala.

Rasanya aku sudah kehabisan kata-kata untuk kembali bertanya pada Kak Irham. Awalnya memang aku sudah menyiapkan beberapa pertanyaan, tapi pertanyaan itu dalam seketika melebur.

"Lalu ..., bagaimana jawaban De Nisa?" tanya Ka Irham yang membuatku sedikit menundukkan kepala.

"Jangan di paksakan, kalau memang Ade tidak bersedia menerima ajakan Kakak. Yang terpenting saat ini adalah kebahagiaan De Nisa. Dan saya juga sudah merasa lega karena sudah jujur dan berterus terang tentang semua perasaan yang lama tersimpan."

Entah kenapa saat Ka Irham bicara seperti itu, dadaku sedikit sesak. Apa mungkin aku berharap ada kata-kata lain dari bibirnya. Tapi apa? Entahlah aku sendiri saja bingung dengan apa mau ku.

Ka Irham pun mengangguk kecil seakan mengerti dengan diamku. Sebelum akhirnya dia bicara. "Baiklah, kalau begitu Kakak mau panggil orang tua Kakak dulu," katanya mencoba beranjak.

"Aku mau. Aku mau terima ajakan Kak Irham," kataku merekatkan kedua mata karena begitu malu.

Kulihat ka irham seperti tak percaya dengan apa yang aku lontarkan, karena raut wajah Ka Irham mampu menjawab itu semua, dia seakan kaget dengan apa yang aku ucapkan.

Begitu juga dengan aku yang begitu malu, dengan apa yang sudah aku katakan. Mungkin saat ini wajahku sama persis dengan kepiting rebus atau bahkan salmon yang siap santap.

Saking tak percayanya, Ka Irham kembali bertanya akan apa yang aku ucapkan.

Aku yang sedikit malu-malu pun, mencoba mengulang kembali ucapan itu. Setelahnya Ka Irham tersenyum dan menghela napas lega.

Semua Karena CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang