Bab 30

619 81 6
                                    

Flashback sebelum kecelakaan.

"Fahri, kau tahu tidak, om itu masih ingat saat umur kau tujuh tahun." Paman Abduh memulai bercerita saat mobil baru saja melaju membelah jalanan.

"Apa yang Om ingat? Dulu, waktu Fahri belum pindah ke Jakarta?" Fahri merespons dengan segera.

Paman Abduh mengangguk cepat. "Iya, waktu kau main ayun-ayunan sama si Iyya teman kau. Terus kau jatuh, nangis lari sama Mamak kau. Hahaha."  Tawa paman Abduh cukup kencang sehingga suasana di dalam mobil tidak membosankan.

Abdurahman, atau biasa dipanggil Abduh. Pria paruh baya berusia 45 tahun itu adalah adik dari mamanya Fahri. Beliau tinggal di kota Binjai, Sumatera Utara. Kenangan bersama Fahri adalah yang paling selalu beliau ingat. Katanya, Fahri sudah seperti putranya sendiri, apalagi sejak ayah anak malang itu meninggal.

"Kalau nggak ada Mama, Fahri sudah guling-gulingan di atas tanah Om." Rani ikut menimpali diselingi tawa.

Merasa dianggap lucu, yang bisa Fahri lakukan hanya ikut terkekeh. Tidak apa-apa, jika hal itu membuat mereka bahagia. Terlebih sang mama, Fahri masih menyimpan rasa bersalah di hatinya sejak kejadian tadi. Namun, melihat beliau tertawa walau hanya sedikit, Fahri cukup tenang dibuatnya. Sebenarnya Fahri sedang takut. Andai selama ini ia berpikir, barangkali tidak pernah melakukan kesalahan lebih dari sedikit, tetapi justru ia sedang mengukir coretan dosa yang tidak disadari. Berkembang semakin besar tak terkendali. Naudzubillah mindzalik.

"Tapi sekarang kau sudah besar, mau menikah pula. Untung saja kakak kau tidak mempermasalahkannya karena kau langkahi."

"Iya, dong, Om, Kak Rani berhati luas." Mendapat pujian dari Fahri, Rani spontan menepuk-nepuk dadanya.

"Nanti kau harus berterima kasih sama Kakak kau ini Fahri, awas saja kau jadi kacang yang lupa kulitnya." Rani menirukan nada bicara pamannya, seketika membuat suasana di dalam mobil semakin menggelakkan.

Cukup lelah karena banyak tertawa, mereka akhirnya diam bersama-sama. Sebelum akhirnya Paman Abduh mengusap kepala Fahri. "Jadilah suami yang baik Fahri, sebagaimana ayahmu dulu sangat baik padamu dan keluarga. Bimbing mereka, dan jangan sekalipun menyakiti hati istrimu, karena istrimu adalah ratu di rumahmu."

Fahri mengangguk, tentu saja Fahri akan berusaha menjaga hati sang pujaan hatinya. Walau dia tetap bukanlah manusia sempurna yang tentu saja tidak luput dari salah, tetapi Fahri juga akan selalu berusaha membahagiakannya.

"Tentu saja, Om, apalagi Om juga panutan untuk Fahri."

Paman Abduh tentu saja merasa tersentuh, sontak tangannya menepuk pundak Fahri berkali-kali. "Aish, janganlah buat om terbang, nanti om tidak tahu caranya turun lagi sangking senangnya. Hahaha."

Pembicaraan sedikit humor itu masih berlanjut, sebelum sebuah truk tiba-tiba saja melaju kencang di depan mereka. Terbelalak, Paman Abduh segera menginjak rem, tetapi naas, rem blong sepertinya. Mobil melaju tak terkendali dan rasa takut pun memutari. Sedangkan tidak ada yang paling dipahami saat takdir rupanya berpihak pada yang lain.

Tiiiiiiinnnnnnn! Brakkk!

***

Satu hari setelah kecelakaan.

Hidup seperti berjalan di padang gurun, ketika kau kehausan maka kau mencari pohon untuk berteduh, sejenak saja, sampai letih yang membelenggu hilang walau sedikit. Air yang tesisa kau habiskan, embusan angin menyapu wajahmu yang memerah. Sinar matahari berbisik lembut di balik dedaunan, meminta kau untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang