(Pasangan yang Sempurna)
Orang tua mana yang tak bahagia, memiliki putra yang penurut, cerdas, tampan dan hapal beberapa surah di dalam Al-Quran. Dia adalah Aiman, satu-satunya putra Hamzah dan Sunarsih. Aiman memiliki suara yang sangat merdu. Di usianya yang baru menginjak tujuh tahun ia sudah menjadi muadzin di Masjid komplek tempat tinggalnya. Selain itu Aiman pernah memenangkan lomba azan se-Provinsi Lampung
Hamzah dan Sunarsih sangat bersyukur atas karunia yang Allah berikan kepada mereka. Keluarga kecil ini memang dikenal paling dermawan di Kecamatan Sidomulyo sampai Candipuro. Hamzah adalah pengusaha hatchery (pembenihan udang) yang terkenal agamis. Pemasok terbesar benur udang windu dan vanamei di Bumi Dipasena Utama, Rawajitu Timur, Lampung.
Semakin banyak harta yang didapat, semakin banyak pula harta yang ia keluarkan untuk sedekah. Baginya, harta yang didapat ada hak orang miskin dan anak yatim piatu. Karena kedermawannya banyak orang yang tak segan meminta tolong padanya. Seperti orang yang terjerat hutang riba. Mereka meminta tolong pada Hamzah, dan pria itu akan membantu melunasinya. Dengan catatan tidak boleh meminjam uang riba lagi.
Namun keberadaannya di tengah masyarakat yang menyayangi keluarga ini, justru ada rasa iri di hati Karsa, kakak dari Hamzah. Meski mereka sama-sama diberi harta warisan yang adil setelah kedua orang tuanya meninggal, kehidupan Hamzah jauh lebih maju dibanding Karsa. Rumah mereka berdekatan. Hanya berselang satu rumah di Prumnas Seloretno Sidomulyo.
Rutinitas yang tak pernah Hamzah tinggalkan adalah melaksanakan salat duha. Setelah itu menghapal Al-Quran di teras rumahnya yang asri, beberapan pohon buah-buahan seperti jambu air, mangga, kelengkeng, jambu batu dan lain sebagainya tumbuh subur di tanah pekarangannya yang luas. Tanahnya hijau berselimut rumput jepang yang tertata rapi. Beraneka macam warna bunga menghiasi rumahnya yang besar dan megah.
“Istriku, jika aku pergi duluan menghadap Allah, apakah kau siap hidup miskin?” tanya Hamzah pada Sunarsih saat wanita itu duduk di sampingnya, sembari meletakan segelas kopi.
“Kenapa Abi bicara begitu? Kita akan membesarkan Aiman bersama-sama, jangan bilang begitu!” Sunarsih cemberut. Hamzah nampak tersenyum, ia menatap istrinya dengan penuh cinta. Lalu meraih tangan Sunarsih lembut. Tangan itulah yang tak pernah lelah menengadah berdoa kepada Allah, dan mengurus segalanya untuk kebaikan keluarga.
“Maafkan segala salahku ya,” kata Hamzah sambil mengecup kedua tangan istrinya. Sunarsih menatap suaminya berbinar. Di matanya, Hamzah adalah sosok suami dan ayah bagi anaknya yang sempurna. Jika kepada orang lain ia sangat baik, kepada keluarganya Hamzah jauh lebih baik. Sunarsih sangat beruntung. Dulu ia hidup sebatangkara dengan segala kekurangan. Bisa kuliah karena mendapat beasiswa. Kini ia merasa seperti ratu di hadapan Hamzah. Saking suaminya itu begitu memuliakannya sebagai istri.
“Kau begitu sempurna di mataku Abi, tak ada kesalahan yang perlu dimaafkan” lirih Sunarsih, matanya berkaca-kaca ketika ingat perjuangan Hamzah mempelajari Islam demi syarat bisa meminangnya. Dan kini mereka berada dalam barisan yang sama di jamaah dakwah.
Mereka saling menggenggam dan menatap penuh cinta. Hingga suara lembut Aiman terdengar memanggil.
“Assalamualaikum Umi, Abi!” Aiman memberi salam di gerbang rumah yang terkunci. Sunarsih tersenyum dan menjawab salam sembari membukakan pintu gerbang.
“Anak shalih Umi ko sudah pulang sekolah? Emhh...”
“Maaf Umi, jangan seuzon, Aiman sudah sampai sekolah. Tapi, kami disuruh pulang semua Umi, karena para ustazah dan ustaz mau pada rapat,” jawab Aiman tegas. Aiman Berkata jujur. Anak kecil ini tak pernah berbohong. Sesuatu yang Sunarsih syukuri, didikannya sejak dalam kandungan akhirnya berbuah juga.
“Oh begitu, ya sudah, kita lanjutkan belajar di rumah ya,” kata Sunarsih yang disambut anggukan cepat dari Aiman. Tak lupa Aiman mencium tangan ayahnya begitu sampai teras rumah.
Hamzah menahan tangan Aiman, ditatapnya wajah putranya yang teduh. Aiman menampakan gigi putihnya yang rapih.
“Nak, kelak dewasa kau jaga umi mu ya,” lirih Hamzah. Aiman mengangguk tersenyum.
“Hapalan Qurannya sudah sampai mana?”
“Surat Al Mujadalah Abi.”
“Coba bacakan, Abi akan menyimak.”
Tanpa dipaksa Aiman membaca taawudz lalu lisannya dengan lancar dan fasih membaca surah Al Mujadalah dengan begitu indah. Suara itu menyentuh kalbu, membuat hati Hamzah bergetar. Buliran bening tak mampu tertahan di pelupuk mata.
Pandangannya kini beralih, dari menyimak Al Quran kepada Aiman yang sedang melafazkan ayat-ayat Allah. Betapa bahagia hatinya dikaruniai anak seperti Aiman. Meski saat balita Aiman sangat cengeng, dan cenderung keras kepala tapi dengan kesabaran kedua orang tuanya, serta izin dari Allah, Aiman bisa memenempatkan keras kepalanya pada hal-hal yang bersifat kewajiban dari Allah.
“Abi meridhoimu Nak,” lirihnya sambil mengusap air mata. Sunarsih yang menyaksikan ikut meneteskan air mata. Lalu memilih masuk. Sejak sebulan terakhir, tingkah suaminya sangat aneh. Sering membicarakan kematian. Sunarsih menepis jauh-jauh pikiran buruk tentang suaminya.
“Bukankah memang setiap saat manusia harus mengingat kematian?” gumam Sunarsih menenangkan diri.
****
Cuaca pagi di bulan Januari selalu cerah. Namun, akhir-akhir ini bila sudah menjelang waktu ashar hujan akan turun dengan deras. Di Perum Seloretno Kecamatan Sidomulyo, rumah Hamzah adalah rumah terbesar dan megah dengan pekarangan yang luas. Tidak banyak pepohonan tinggi di sini. Dan rumahnya langsung menghadap matahari terbit. Pagi itu, Hamzah kedatangan tamu. Yaitu Karsa dan juga istrinya.
“Assalamualaikum,” ucap mereka bersamaan. Sunarsih yang sedang berbenah menjawab salam dan membukakan pintu rumah. Kebetulan gerbangnya tidak dikunci.
Betapa senangnya Sunarsih melihat kakak iparnya berkunjung ke rumah. Sesuatu yang tidak biasa. Usai salat duha, Hamzah segera menemui mereka yang berada di ruang tamu. Ia juga teramat bahagia, sebab kakaknya sudi mampir ke rumahnya.
“Ini kami bawakan pancake durian. Kue kesukaan Hamzah bukan?” kata Serin, istrinya Karsa. Ia terlihat tersenyum sambil menyodorkan sekotak kue itu pada Hamzah.
“Alhamdulillah, saya sangat suka Ngah, dan di keluarga hanya Hamzah yang suka durian,” jawab Hamzah tersenyum.
Tak lama Sunarsih keluar dari dapur membawa dua gelas teh hangat dan makanan ringan.
“Silakan Ngah, Kiayi diminum dulu,” kata Sunarsih senang.
Sunarsih memanggil kerabat Hamzah seperti panggilan Hamzah kepada mereka yang asli dari suku Lampung. Ngah adalah panggilan mereka untuk kakak ipar perempuan, dan kiayi untuk memanggil Karsa sebagi kakak kandung lelaki.
Serin dan Karsa saling tatap saat melihat Hamzah memakan pancake durian dengan lahap. Setelah meneguk hampir seperempat isi gelas, mereka pamit dengan wajah bahagia. Hamzah dan Sunarsih tak pernah melihat wajah mereka sebahagia ini. Mereka keluar dari rumah Hamzah.
“Alhamdulillah Bih. Kiay dan Ngah sudah mau main ke rumah. Biasanya kita yang selalu berkunjung ke rumahnya. Dan itu pun tak mereka hiraukan.”
“Iya Alhamdulillah. Apapun perlakuan mereka, kita tidak dapat dosanya sayang. Asalkan niatkan ikhlas menjalin silaturahmi karena Allah. Insyaallah kita tetap berpahala.” Ungkap Hamzah. 15 menit kemudian di tengah-tengah perbincangan dengan sang istri, tiba-tiba dada Hamzah terasa sesak.
Ia menarik napas dengan pelan sekali.
“Astagfirullah, Abi kenapa Bi? Kita ke rumah sakit saja ya,” kata Sunarsih panik.
Hamzah menggelengkan kepala tanda tak setuju.
“Tidak Sayang, mungkin aku hanya kelelahan.” Hamzah masih mengajur napas. Dadanya terasa disilet-silet lalu dihimpit batu berton-ton. Napasnya semakin berat. Ia mulai kesusahan bernapas.
“Abi!” Sunarsih menjerit saat mata Hamzah terbelalak dan tubuhnya kejang.
“Ya Allah!” teriakan Sunarsih mengundang para tetangga berdatangan. Mereka segera membawa Hamzah ke rumah sakit.
Sampai di RSUD Dr. H. Bob Bazar Kalianda, Hamzah segera mendapatkan perawatan. Tak berselang lama, Serin dan Karsa datang dengan wajah panik.
“Gimana Sun? Ko bisa Hamzah sakit. Bukankah tadi masih sehat,” tanya Serin. Sunarsih hanya diam dan menggeleng, bibirnya pucat, namun hatinya terus berzikir memohon pertolongan dariNya.
Aiman juga tak henti membaca salawat memohon kepada Allah agar ayahnya selamat.
Dua puluh menit kemudian, Sunarsih dan Aiman dipanggil dokter. Mereka masuk ke dalam ruangan. Dan dokter meminta agar Sunarsih membimbing Hamzah bersyahadat sebab kondisinya sudah sangat kritis.
“Astagfirullah,” Sunarsih dan Aiman berjalan lunglai menuju ranjang suaminya.
“Abi, bangun Abi, sebentar lagi zuhur. Abi belum salat. Abi,” lirih Sunarsih. Air matanya berkali-kali diseka. Tangan kanannya menghapus keringat di dahi suaminya. Ia yakin kepada Allah bahwa suaminya pasti sembuh dan mendapat keajaiban. Ia tak mau berpikir negatif.
Sedangkan Aiman masih berdiri mematung di samping ibunya. Tanpa disuruh lisan itu membaca surat Al Mulk. Aiman membaca ayat demi ayat dengan suara bergetar. Terlebih saat melihat tubuh ayahnya mengejang kembali, napasnya tersengal-sengal.
“Abi kuat! Abi!! Astagfirullah. Abi, ikuti umi ya. Ashadu.. Alla... Illaha illallah, wa ashhadu anna muhammadaar...rasulullah,” Sunarsih melafazkan di telinga Hamzah. Lelaki itu masih tersengal-sengal, tapi bibirnya mengikuti kalimat yang dibacakan oleh istrinya. Tangan Hamzah mencengkram erat lengan Sunarsih, sudut matanya mengeluarkan air dan dahinya berkeringat.
Perlahan cengkraman pun mengendur, bibir Hamzah menyungging senyum dan detak jantungnya benar-benar telah tiada. Dan Hamzah berhenti bernapas. Ia telah berpulang, dan tak akan mungkin bisa kembali ke dunia. Tinggal amalnya lah yang menemani di alam kubur.
“Suamiku! Jangan pergi! Jangan pergi! Tolong bangunlah!” Sunarsih menjerit hingga tak sadarkan diri. Sedangkan Aiman hanya menangis.
“Abi, Abi, Abi, jangan pergi Abi, Abi ingin lihat Aiman jadi hafiz Quran kan? Jangan pergi dulu Bi, Abi!”Aiman mengguncang badan ayahnya. Ia menciumi tangan Hamzah yang mulai dingin. Tangan kecil Aiman mengelap keringat dan air mata di wajah ayahnya. Ia masih terus menangis.
“Abi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aiman
General FictionAiman pemuda miskin yang jatuh cinta pada anak majikannya.