D U D U K di tepi meja operasi, aku nggak mengenakan apa pun selain selembar jubah biru tipis yang menutupi bagian depan tubuhku.
Sepertinya ada lebih dari sepuluh orang di ruangan superdingin ini. Mereka berdiri bersedekap di depan peralatan yang menjadi tanggung jawab masing-masing sembari menonton aksi dokter anestesi yang sedang berusaha menjebol tulang belakangku.
"AW!"
Kasih aba-aba, kek!
"Bengkok lagi...," gumam dokter itu, nadanya menggerutu. "Ini sudah jarum keempat, loh."
"Tenang, ya, Bun," ucap perawat perempuan yang sedari tadi berdiri tepat di depanku. Dan sedari tadi juga, dia merengkuh kedua pundakku supaya tetap pada posisi yang diharuskan.
Saat aku masuk ke ruangan ini, jam pada dinding di kiriku menunjukkan pukul dua belas lewat lima. Sekarang, sudah lewat tiga puluh lima dan ... pak dokter anestesi belum berhasil. Perawat di depanku ini pun sepertinya sudah kehabisan topik. Ya, dari tadi dia banyak bertanya ini dan itu, yang ringan-ringan, ramah sekali.
Pak dokter kembali menggerutu, "Kenapa tulang belakangmu, Mbaaak, Mbak."
Mana aku tahu!
"Jarum nggak pernah bisa nembus." Masih aja terdengar menggerutu!
"Aku keturunan Gatotkaca, Dok. Ototku baja, tulangku besi."
Mereka terkekeh.
Aku nggak sedang mengajak mereka bercanda. Tulang belakangku kayak apa pun juga, silakan kalau mau terkekeh, mau diam, asalkan jangan menggerutu. Kerjakan aja sampai bisa. Gerutuan-gerutuan itu justru bikin hatiku yang kebas. "AW!"
"Kamu jangan bergerak, dong, Mbak! Tuh, bengkok lagi."
"Aku nggak kesakitan, Dok!" Dari jarum pertama sampai yang barusan, nggak ada yang menyakitiku sama sekali. "Aku tuh kaget. Makanya, kasih aba-aba, dong, biar aku siap-siap." Kan. Muntab aku dibuatnya.
"Yaaa. Coba lagi, ya."
No, dia nggak langsung mencoba lagi. Sebaliknya, aku justru menahan sakit ampun-ampun karena dia menyusuri tulang belakangku, mulai dari leher ke bawah, dengan cara menekan tiap ruasnya kuat-kuat pakai ... silet?
"Kak...," bisikku pada perawat di depanku. Aku yakin dia melihat air mataku, karena itu dia serta-merta memelukku.
"Kenapa, Sayang?" Dia balas berbisik.
"Sakit banget, itu apaan?"
"Dokternya nyari celah tulang pakai kuku."
Dem! Agaknya pak dokter ini sudah 9 bulan 10 hari nggak potong kuku!
Cekit, cekit, sakitnyaaa!
"Nah, ternyata, ya...," tangan pak dokter, dari siku hingga ujung-ujung jemarinya, terjulur maju melampaui pundakku. "Tulangmu nggak lurus, agak melintir," dia sedikit memutar tangannya ke kanan, "beberapa derajat kayak gini."
I don't care. Selama 28 tahun, aku nggak pernah tahu dan hidupku baik-baik aja dengan tulang melintir kayak gini. Kalau sekarang aku meringis, aku cuma ngilu membayangkan kuku Mr. Sarmento, kucingku dulu, yang ada di balik sarung tangan karet itu.
Dan kuku-kuku itu kembali menelusuri tulang belakangku.
"Duuuh ... sakit banget, Kak," rintihku.
"Dok, kukunya bikin sakit, nih," ucap perawat itu dengan nada ringan. Pasti nggak mau bikin dokternya bete.
Pak dokter nggak menanggapi. Terus aja tuh kukunya beraksi. Mungkin dia nggak punya pilihan lain. Silakan, deh, Dok. Yang penting, cepat. Kalau kelewat lama, ruangan sedingin ini akan membekukan badanku yang pada dasarnya almost-nude. Kalau sudah beku, yah ... nggak usah repot-repot membius apalagi membedahku. Cukup ketok perutku pakai palu, pyarrr, pecah. Nah, keluarkanlah dedeknya.