Guillain-Barré Syndrome, penyakit yang Lionel idap, adalah satu dari banyak penyakit di dunia yang manusia belum dapat ungkap apa penyebabnya secara tepat. Namun, keluarga Lionel bersyukur, setidaknya ada dua jenis terapi yang telah terbukti mampu mengatasi penyakit ini pada penderita-penderita yang lain. Salah satunya adalah memasukkan cairan berisi antibodi. Cairan itu rutin diterima tubuh Lionel. Dari sekelumit penjelasan dokternya, Lionel memahami bahwa antibodi itu bertugas untuk melawan kerja imunnya sendiri. Sistem imun yang sudah berkhianat menyerang sel-sel sarafnya.
Setiap kali terapi tersebut usai, Lionel terbaring di kasur sambil berdoa dalam hati. Semoga sistem imunnya berhenti mengenali diri sendiri. Semoga antibodinya mampu melakukan tugas yang baik. Semoga saraf-sarafnya kembali bekerja dengan sempurna. Semoga otot-ototnya cukup kuat untuk berkontraksi.
Begitu banyak hal yang ia sesali, tentang bagaimana ia menggunakan beberapa bagian tubuhnya selama sehat dulu. Terutama, bagian di antara selangkangannya yang kini terkulai lemas setiap saat, terhubung dengan kateter untuk menampung urin. Maka, dalam setiap napasnya yang susah payah, Lionel tak henti-hentinya mengucap ampun pada Tuhan.
"Tuhan masih sayang aku nggak ya, Bun?" tanya Lionel pada suatu sore yang sepi. Hari itu, ruang ICU lebih lengang dari biasanya.
Yuni menggenggam tangan Lionel erat. "Pasti, pasti, Nak."
Suara Yuni mendadak parau, teringat malam-malamnya yang ia habisnya di musholla rumah sakit, bersujud dan bersimpuh dengan air mata mengalir deras, memohon ampunan Tuhan untuk putra tercintanya. Memohon supaya sakit yang telah didera Lionel mampu menghapus noda-noda hitam dalam buku amalnya, tapi juga memohon supaya sakit itu segera diangkat.
"Bener, sih. Tuhan sayang aku, kok. Aku percaya. Soalnya Bunda masih di sini sama aku."
Yuni mengangguk kuat-kuat. Sebagian hatinya lega Lionel menjadikan kehadirannya alasan untuk tidak berputus asa dari kasih sayang Tuhan.
"Juga Adara. Adara mau jengukin Lio, itu pertanda Tuhan masih sayang sama Lio, Bun."
Yuni mengusap kening Lionel. Semakin hari, semakin ia disadarkan betapa sesosok gadis manis dan penuh kasih itu berpengaruh besar pada putranya. Kini, Lionel berpegang pada harapan ingin bersama gadis itu ketika sembuh. Yuni hanya bisa ikut berharap, Adara akan mau melakukan hal yang sama.
-
Keajaiban itu datang pada hari ketiga puluh Lionel terhubung ke alat bantu pernapasan.
Dadanya menjadi lebih ringan.
Pergelangan tangannya bisa sedikit digerakkan.
Pandangannya yang sempat memburam, kini kembali cerah.
"Kita bisa hentikan penggunaan ventilator secepatnya, Ibu," Dokter Hariadi berujar yang membuat Yuni meneriakkan hamdalah dan nyaris berurai air mata kebahagiaan. Dokter itu kemudian menyapa Lionel, memberikan pujian akan semangat hidup Lionel yang masih membara sampai detik ini. "Lionel keren," pungkas Dokter Hariadi sambil mengacungkan ibu jari.
Lionel tidak tahu apakah ia layak menerima pujian. Namun, setidaknya, ia merasakan gelegak harapan dari dalam diri saat mendengar kabar bahwa keadaannya jauh membaik. Mungkin, itu pertanda yang cukup membuktikan ia masih menginginkan kehidupan.
Of course I want to live, batin Lionel di ujung kesadarannya. Zat anastesi mulai mengaliri setiap pembuluh darah Lionel, sebab proses pengangkatan saluran alat bantu pernapasan akan dimulai sebentar lagi.
I want to meet her. I want to be with her.
-
Ruang audio visual Garda Bangsa penuh oleh siswa-siswi kelas sebelas. Adara datang sedikit terlambat karena mampir sebentar ke toilet. Sebagai akibatnya, ia kehilangan Patricia dan teman-teman sekelas yang lain. Gadis itu menghela napas, matanya memindai kursi kosong mana yang sebaiknya ia tempati.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Genç KurguAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...