07| Aldebaran

97 24 2
                                    

Selain bingung, aku juga memendam perasaan takut. Bagaimana kalau anak itu, salah satu dari pembbuly? Siapa sih aku? Remaja yang menyimpan banyak ketakutan. Terutama pada anak-anak. Tapi, jika dipikir-pikir, kenapa aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Yang jelas, pasti bertemu banyak orang, orang yang mungkin tidak kusuka. Atau jangan-jangan, Ayah menyuruhku pergi sendirian itu agar aku bertemu banyak orang?

Oh ayolah, apa aku perlu terus berdiri di sini? Sedangkan kursi yang di dekat si anak, terkesan menggiurkan. Baik, sudah kuputuskan, akhirnya langkah ini mengantarku semakin menemui anak itu.

“Hai,” sapaku canggung.

Dia menatapku. “Hai.”

Aku menyeret kursi dan memutuskan untuk benar-benar duduk di sampingnya. Kemudian melirik buku yang ada di depan si anak, buku itu kecil dan dalam keadaan terbuka. Aku melihat bait-bait puisi di dalamnya.

Dia menatap ke arahku. Lebih tepatnya ke arah buku yang sedang kupegang. “Kakak baca apa?” tanyanya.

Aku meletakkan buku yang dia maksud di atas meja, dan membeberkan judul.

Dia mengangguk paham.

“Kamu sedang baca apa? Puisi?”

“Hem, bukan. Puisi cuman ada di bab ini aja.”

“Lalu, apa judulnya?”

Anak berambut lebat itu menutup bukunya. Sampai aku melihat judul dari buku yang ditulis dengan huruf besar-besar. ‘SERATUS PERSEN BERHASIL PDKT'.

Aku tersenyum. Masih bertanya-tanya, anak sekecil ini? Serius? Apa dia tahu arti PDKT? Aku meragukan.

“Kenapa kakak senyum-senyum, kakak mau baca juga?”

“Oh tidak, aku cuman aneh denganmu. Kamu menyukai seseorang?”

Lantas dia menjawab, “Iya.”

Sedikit heran dengan mulut ternganga. Aku berusaha menetralkan diri, mengambil kotak kecil dari sakuku. Dari dalam kotak, kukeluarkan kacamata. Dan langsung menenggerkannya ke hidung.

“Apa zodiakmu?” tanyaku.

“Tidak tahu.”

“Kalau perempuan yang kamu suka?”

“Aku juga tidak tahu.”

Aku terus membalik halaman. Sempat melihat daftar isi dan memutuskan untuk ke lembar ramalan zodiak. Seharusnya aku yakin dapat membantu jika saja dia tahu zodiak dia dan gadisnya. Siapa tahu ramalan di buku ini benar-benar menakdirkan mereka untuk bersama.

“Siapa sih perempuan yang kamu suka?” tanyaku dengan pandangan masih fokus pada buku.

“Dia guru les matematikaku.”

“Ha? Teman les, kan?”

“Bukan, dia Bu Guru. Kami beda 8 tahun, tapi aku tidak peduli. Dan akan tetap pacaran dengannya.”

Kali ini aku sungguhan shock. Imajinasi tentang gadis seusia yang lucu dan menggemaskan kabur begitu saja. Maafkan aku, tapi bagiku cintanya pada Bu Guru terkesan menjijikkan. Ya, walau mengakui kalau dia masih anak-anak jadi tidak apa berkhayal sedikit.

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang