09| Bintang Neutron

78 20 4
                                    

Bu Guru duduk di lantai ruang tamu sembari mengawasi Aldebaran yang tengkurap dan terlihat sibuk menulis. Tidak menyangka sama sekali, ketika Aldebaran dengan ocehan juga cinta nyelenehnya membuatku beranggapan kalau dia tidak akan ada apa-apanya dalam urusan belajar. Tapi, kutarik ucapanku. Aldebaran begitu serius, Bu Guru sering melempar senyum bangga kepadanya.

Ibu muncul dari pintu dapur sambil membawa tekon dan dua cangkir bening di atas nampan. Ibu berbincang singkat dengan Bu Guru. Ibu yang nampaknya sadar kalau sedang mengganggu kegiatan belajar, segera pamit ke dapur.

Jika tidak ada buku ramalan di tanganku, mungkin aku akan mati kebosanan. Kuperhatikan jam dinding beberapa kali, ternyata sudah satu jam. Kapan mereka akan selesai? Buku yang sedang kubaca tinggal beberapa halaman lagi. Tidak cukup jika menunggu lebih lama.

Aku kembali menunduk, fokus dengan buku ramalan yang seratus persen tidak mau aku percaya, apalagi rata-rata isinya tentang zodiak. Ramalan itu hanya permainan psikologi. Mereka menggunakan sifat-sifat manusia secara umum, sehingga mayoritas orang beranggapan kalau itu benar terjadi pada diri mereka. Dibuku tertulis kalau Gemini cenderung memilih pasangan dengan selektif. Apakah itu benar? Bisa jadi. Namun, kalau ditelaah lagi, sebenarnya semua yang berzodiak apa pun pasti memilih pasangan dengan selektif. Tidak ada yang mau punya pasangan nyeleneh, bukan?

“Selesai!”

”Bagus Aldebaran. Tapi jangan lupa belajar lagi nanti malam.”

Aku menurunkan sedikit bukuku sehingga dapat melihat Aldebaran mengangguk. Belajar lagi nanti malam, apa nilai Aldebaran buruk? Barangkali pemikirkkanku yang kolot, kata belajar lagi belum tentu nilai sebelumnya buruk. Lagi pun, waktu aku masih sekolah aku selalu belajar di rumah.

Aldebaran dan Bu Guru berdiri. Bu Guru menoleh ke arahku, “Eggy, saya permisi mau pulang dulu.”

Aku mengangguk.

Ibu keluar dari pintu dapur, lagi. “Eh sudah mau pulang?”

“Iya, terima kasih, Ibu Eggy sudah beri izin belajar di sini.”

“Kalau mau, besok juga boleh belajar di sini lagi,” kata Ibu sambil tersenyum.

“Terima kasih.” Kemudian Bu Guru menoleh ke arahku. Jeda beberapa detik, lalu dia berkata, “Itu Eggy, dia kelas berapa?”

Aku sama sekali tidak punya niat untuk menjawab, terutama Ibu yang sepertinya agak ragu. Dia diam, sampai Bu Guru benar-benar menatapnya lama.

“Eggy, dia belum punya rencana untuk sekarang. Nanti masih dipikirkan dia mau lanjut ke mana.”

"Saya punya saran. Bagiamana kalau Eggy sekolah ke luar pulau saja? Tadi tidak sengaja keliling kamarnya, di situ saya liat kalau Eggy punya minat pada astronomi, dan sekolah di sana benar-benar mendukung untuk itu."

Ibu tersenyum kaku. "Entahlah, kami mau bicara dulu dengan ayahnya."

Bu Guru meletakkan tasnya di meja. Kemudian mengajak Ibu untuk duduk seraya merangkul bahunya. "Di sekolah itu ada seleksinya. Saya tidak keberatan kok, Bu kalau harus bantu Eggy belajar. Kebetulan saya punya adik yang seusia Eggy, dia pengin masuk di sekolah itu juga."

Ibu hanya mengangguk samar. "Bayar?"

Bu Guru tidak menjawab, dia hanya menggeleng sembari tersenyum.

"Kalau begitu terima kasih banyak. Nanti saya akan bujuk ayahnya Eggy. Eh, Eggy bagaimana? Kamu mau sekolah ke luar pulau?"

Kujawab dengan anggukan tiga kali.

Apa ini sebuah kabar yang membahagiakan? Aku akan bersekolah, bukan di desa ini tapi ke luar pulau? Ini seperti mimpi, tapi kenapa Ibu begitu percaya dengan embel-embel tidak bayar. Bodo amatlah, yang penting sekolah. Ada bidang astronomi lagi. Semoga saja itu benar, aku siap menagih janji pada mereka.

NEBULA [15+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang