Peringatan:
Semua kejadian di cerita ini, nama tokoh, tempat, dan suasana di sini hanyalah rekayasa. Apabila ada kesamaan dari nama tokoh, tempat, dan suasana tersebut, itu hanyalah ketidaksengajaan. Mohon dimaklumi.Banyak perkataan yang sedikit menyinggung, jadi saya mohon maaf sebelumnya
Pada hari itu, di bawah awan hitam yang memberi tanda akan segera hujan, tampak seorang pemuda temgah berdiri di atas jembatan penyebrangan, melihat dalam-dalam laju mobil yang berlalu lalang. Dengan kulit putih, tubuh yang tidak terlalu berisi, dan dibalut seragam SMA putih abunya yang dikeluarkan, dan lengan baju yang dilipat, serta rambut yang entah kapan terakhir kali ia rapikan, ia pun mengangkat langkah penuh penekanan terlihat mengambil ancang-ancang hendak melompat ke jalan bebas hambatan.
Netra pemuda itu beralih menatap langit yang mulai menjatuhkan rintikan demi rintikan, hati dan pikirannya sudah berada di ujung jalan. Kini matanya terpejam kuat seakan bersiap merasakan kematian.
Ia bernama Adrian Adinata, lahir 18 tahun silam, pada bulan Juli, di sudut kota. 5 tahun yang lalu, ia merupakan seorang siswa yang duduk di bangku SMP. Ia tumbuh sebagai siswa yang nakal. Ia melakukan kenakalan dengan teman-teman sekelasnya. Bersama dengan kedua sahabat karibnya: Chandra, seorang siswa berbadan gemuk, dengan rambut cepak, dan juga Rafi, seorang siswa kurus, tatapan sayu, dengan senyum sarkastik, mereka bertiga sering melakukan kenakalan, seperti menendang mobil sehingga memunculkan bunyi alarm yang bising, lalu memencet bel rumah, lalu berlari menjauhi rumah itu. Benar-benar anak-anak yang nakal.
Cerita bermulai dari Lavender, seorang siswi kelas 1 SMP berkacamata, dengan rambut hitam lurus, bulu mata lentik, bibir merah muda, dan pipi yang lembut. Ia pergi ke sekolah diantar menggunakan mobil oleh kakaknya, Iqbal.
Sesampainya di depan sekolahnya, ia berjalan menuju pintu depan dari sekolahnya, usai menutup pintu belakang mobil berwarna hitam milik kakaknya. Usah bayangkan sekolah yang ramai, sekolah ini adalah sekolah swasta yang memiliki 6 kelas setiap angkatannya. Musabab, sekolah ini berada di pinggir kota.
Lavender berjalan menyusuri lorong sekolah dengan situasi ramai, dan pencahayaan yang hanya bersumber dari mentari pagi serta lampu depan kelas – yang entah lupa dimatikan, atau memang sengaja.
Sesampainya di kelas, teman sekelasnya melihat Lavender, lalu membisikan tentangnya. "Eh itu dah datang dia! Cepet cepet cepet!" ujar salah satu siswi di kelasnya.
Lavender pun berjalan ke tempat duduknya, sembari ditatap oleh teman-temannya itu.
Sungguh malang. Saat hendak duduk, kursinya ditendang jauh dari Lavender, sehingga Lavender yang hampir dalam posisi duduk, terjatuh ke lantai. Tangannya tak sengaja memegang kaki meja, yang membuat mejanya tergeser.
Teman-temannya tertawa. "Hahahaha! Rasain! Emang enak?!" ucap siswi, yang juga tadi membisik tentangnya.
*Mungkin mereka bukan teman yang baik bagi Lavender.
siswi yang sama dengan yang sebelumnya mendatangi Lavender. Gadis itu bernama Maya. "Gak usah ngerasa paling pinter karena lo bisa segala hal!" ucap siswi tinggi dengan rambut ikal tersebut.
Dari pintu masuk kelasnya, terdapat bocah laki laki dengan baju yang keluar, dan lengan baju yang dilipat, bersama kedua temannya menghampiri Lavender. Ia adalah Adrian. "Hai Lavender! si segala bisa! Aku harus cium kaki gak?" ucap Adrian.
Komplotannya pun tertawa tapi Lavender hanya bisa menahan tangis, karena tak tau harus berbuat apa, menghadapi kejinya perbuatan mereka.
"Nangis mulu! Air matanya bisa bikin pinter gak nih!?" ucap Adrian sambil tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lavender
RomanceAku merasa bahagia saat bertemu dengamu. Tapi, mengapa segala sesuatu terada amat pilu? Kenangan yang menoreh luka, membawaku menjadi manusia yang tak layak diampuni Jika terus begini, lebih baik aku menjadi sebuah debu yang berterbangan saja Maka...