HOW IT BEGAN

35 3 0
                                    

Bunyi pintu terbuka membuat kedua mataku batal menutup. Kulirik jam didekat kasur, tepat jam 1 malam. Segera kuturunkan kaki ke lantai yang dingin, memakai sendal dan buru-buru keluar kamar. Punggung Octa terpampang didepan standing mirror diruang tengah.

"Belum tidur, Mona?" tanyanya tanpa berpaling. Jas hitamnya sudah dilempar sembarang diatas sofa. Ada memar keunguan disepanjang punggung kirinya. Tanpa menjawab, aku segera mengambil peralatan pertolongan pertama dari lemari di kamar.

"Thanks," Octa menerima kotak itu, membiarkanku membantunya mengoles salep penghilang rasa sakit. Setelah dia mengompres sebentar lukanya dengan kain hangat.

"Kamu belum jawab pertanyaanku, Mona."

"Aku baru selesai kirimin revisi akhir. Feelingku nggak enak akhir-akhir ini, makanya aku nungguin kakak pulang."

Itu benar. Aku tidak bohong. Saat mencoba terpejam, hal pertama yang masuk dalam pikiranku adalah keberadaan kakakku. Ketakutan akan keselamatannya membuatku tidak bisa tidur belakangan. Satu sisi, aku terlalu malu mengakui kalau aku sangat takut kehilangan dirinya. Disisi lain, aku ingin sekali terlepas dari kehidupan kecil kami yang menyiksa.

Octa tersenyum tipis. "Its alright, Udah sekarang tidur. Besok pagi kuantar ke kampus."

Aku menggeleng kecil. Tanpa beranjak, aku memberanikan diri menatap kakak kandungku ini. "Kak, ada yang mau aku omongin." Kataku sambil pura-pura membereskan peralatan yang dipakai Octa dan meletakkannya diatas pangkuanku.

Dia menatapku dengan alis terangkat. "Ada apa?"

"Ng... aku sudah memikirkan omongan Tn Herry, kalau memang ada waktu senggang, aku ingin menggantikan kakak bekerja untuk keluarga Decode. Sementara saja, kalau memang diizinkan."

Octa menarik tusuk konde dari pangkal rambutnya membuat semua helaian rambut maroonnya terurai ke pungungnya. Satu tangannya mengacak sebagian sisi kiri kepalanya. "Mona, listen." kata Octa pelan tapi tegas, "Aku ingin tanya satu hal dari kamu, apa yang membuat kamu pikir kerja buat keluarga Decode itu menyenangkan. Kamu tidak lihat apa yang kualami tiap kali pulang? Jangan dengarkan Herry atau siapapun, Mona. Mereka hanya ingin keuntungan tanpa memikirkan nasib kita."

"Tapi kak, aku..."

"No! Sampai kapan pun aku tidak akan izinkan kamu ikut campur dengan keluarga Decode. Jangan membuatku membahas hal ini lagi." Octa berdiri dari sofa dan melangkah menuju kamarnya. Menutup rapat pintu dan air mataku ikut menetes. Kulihat foto keluarga diatas meja dan sungguh, aku ingin bersimpuh dibawah kaki bunda andai beliau masih ada.

^

"Udah cukup, Mon." Han menahan pukulanku dengan kedua tangannya. Kutepis tangannya dan tanpa sadar ingin membalas lagi namun Han segera mengunci kedua tanganku dibelakang punggung. "Gue bilang cukup, OK."

Aku menghela napas panjang sebelum melepaskan diri darinya.

"Lo kenapa sih?" tanyanya sambil memberi botol air mineral yang isinya hampir setengah.

Kutatap dia dengan tajam, "Ini siapa yang minum air gue?" protesku mulai mengedarkan pandangan ke arah tempat Latihan namun tidak ada orang selain kami berdua.

Han menggeleng cuek, "Lo ingat kan, gue sama-sama lo dari tadi. Ngga lagi PMS kan, malas gue deket-deket lo." Han segera berdiri dan membiarkanku duduk selonjoran diatas ring. Sudah hampir jam empat sore, sesi Latihan kami berakhir namun ada yang aneh saat gelagat Han tak kunjung membereskan barang-barangnya. Alih-alih melakukannya dia malah membersihkan tangannya dan menggunakan sarung tangan baru. Kebiasaan tiap kali akan memulai satu set Latihan.

THE POLAR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang