With all due respect, aku akan menjawab 'tidak mau' kepada semua orang yang mengajak aku untuk keluar di hari minggu. Pertama, jadwal tidur terlama yang bisa aku nikmati hanya hari itu. Kedua, aku punya rutinitas untuk merampungkan bacaan ensiklopedia unggas yang belum selesai aku baca. Ketiga, aku tidak bisa membiarkan Jack meraju karena cemburu aku lebih memilih menghabiskan waktuku bersama orang lain dari pada memberinya makan dan mengajaknya ke The Cat Cabin.
Ralat. Aku berpikir dua kali untuk mengajak Jack ke The Cat Cabin. Ia menjadi kucing jantan paling menyebalkan di bumi karena kebelet nikah. Aku yakin ia baru saja jatuh cinta dengan kucing persia putih saat aku membawanya ke sana minggu lalu. Aku tidak bisa membiarkan Jack menghamili kucing persia imut itu, aku tidak tega. Tidak akan aku biarkan Jack menjadi kucing jantan yang sembarang menaruh benih di musim kawin. Ia harus aku didik terlebih dahulu untuk menjadi kucing penuh tanggung jawab, tidak seperti kucing jantan lainnya yang datang hanya untuk menghamili lalu pergi seperti bang toyib, tidak pulang-pulang.
Intinya, aku tidak akan keluar ke manapun di hari minggu selain mengantar Jack bertemu dengan kekasihnya. Tapi tidak untuk hari ini. Aku kedatangan mimpi buruk. Ia menarik pergelangan tanganku lalu kami duduk dibangku, berhadap-hadapan. Aku bisa merasakan semua perempuan yang melihat kedatangan kami di tenda ini sedang menatap mimpi buruk yang duduk di hadapanku sekarang.
"Lo jadinya pesan teh hangat atau air?" kata dia.
"Air saja." jawabku.
Ia kemudian mengangguk paham. Lalu, aku masih dapat mendengar ketika ia berbisik kepada Mas Broto- penjual bubur ayam terenak nomor satu menurut versiku yang kami datangi pagi ini saat ia menjemputku paksa untuk lari pagi, dengan senyum kecil yang terbit di bibirnya, "doain saja ya, Mas Broto." begitu katanya.
Aku sengaja menulikan telinga. Toh, aku juga tidak penasaran dengan apa yang dia maksud 'doain saja ya Mas Broto'. Yang jadi konsenku sekarang adalah menghabiskan bubur, lalu pulang, lalu memandikan Jack, dan kembali tidur setelah membaca ensiklopedia unggas.
"Lo baru pertama kali kemari ya?" tanyanya. Sambil bertopang dagu, aku melihat ia juga masih mempertahankan senyumnya. Well, aku akui ia cukup manis karena lesung pipi yang ia miliki.
"Kedua kalinya." jawabku singkat.
"Ah, begitu. Yang pertama kali pergi dengan siapa kalau boleh tahu?"
Aku menyerngitkan dahi, apa perlu dia menanyakan hal tidak sepenting itu? tapi aku tetap saja menjawabnya demi nilai kesopanan,"Dengan Jack." kataku.
Ngomong-ngomong soal Jack, aku harus segera kembali ke apartemen secepatnya sebelum ia bangun. Aku lupa menyiapkan sarapan paginya. Mimpi buruk yang selalu aku hindari ini datang terlalu pagi menjemputku. Dengan terburu-buru, aku menghabiskan bubur yang baru saja di antar oleh Mas Broto.
"Apa Jack, um, dia orang spesial buat lo?" tanyanya di sela aku menyantap buburku.
Aku berpikir sebentar, lalu mengangguk "Iya." Yeah, walaupun kebenarannya Jack-ku bukan orang, tapi dia spesial.
"Apa gue bisa jadi orang spesial buat lo juga?"
Dia mengatakan itu dengan gamblang. Aku tersedak buburku. Ia menyodorkan air botol yang sebelumnya sudah ia buka tutupnya, "Lo nggak apa-apa? Ini minum dulu," katanya.
"Sorry, gue nggak bermaksud buat lo tersedak. Apa gue salah nanya? Muka lo kelihatan shock gitu. You fine?" ia terus bertanya dengan nada panik.
"Saya nggak apa-apa." ucapku setelah meminum air.
"Syukur, deh. Gue khawatir banget. Apa gue salah nanya?" tanyanya kembali.
"Iya,"
"Sorry kalau pertanyaan gue buat lo nggak nyaman," ucapnya dengan nada bersalah.
"Ajakan kamu sudah buat saya nggak nyaman. Duduk di sini dengan kamu apalagi. Bisa kamu bilang sebenarnya tujuan kamu apa?" Ucapku blak-blakan.
Ia tersenyum ke arahku, padahal aku tidak pernah menunjukkan wajah bersahabat padanya.
"Gue tertarik sama lo,"
Aku bisa meduga ia akan mengatakan itu. "Harusnya, nggak ada hal menarik dari diri saya yang buat kamu tertarik. I have an extraordinary boring in life."
"That's actually incredibly exciting," jawabnya dengan senyum lebar. Ia masih sambil menyantap bubur ayamnya sembari menatapku saat mengatakan itu.
"...."
"You're pretty, smart, and ignoring me. So you obviously my type,"
"Sorry, kamu baru saja bilang apa?" kataku menatapnya seolah tidak percaya.
"Perfect." lantas ia menertawaiku. Menyebalkan.
"Saya menyarankan kamu untuk tidak menyukai saya. Just don't."
"Kenapa?" tanyanya.
"Saya nggak punya cinta yang tersisa untuk dibagi."
"Lo boleh nggak suka sama gue, boleh nolak gue, tapi tolong jangan suruh gue berhenti. Karena dari semua kemungkinan yang nggak pasti, masih ada probabilitas 0.01% lo akan jatuh cinta suatu saat nanti,"
"...."
"Gue suka lo yang begini, yang apa adanya, yang lo jadi diri lo sendiri adalah suatu hal yang menarik di mata gue. Lo layak untuk apapun, termasuk untuk diperjuangkan. So, can you give me a chance?"
Setiap manusia dalam kehidupannya punya suatu rules. Semacam principle of life dari perwujudan beberapa aturan mengenai pelaksanaan hidup yang sesuai dengan realisasi value diri. Baiklah, aku punya sepuluh peraturan pokok. Aturan pertama, jangan percaya siapapun.
Dan pagi ini, aku baru saja melanggar aturan pertama dari sepuluh panduan hidup yang aku buat. Jangan percaya siapapun, tapi aku membiarkan diriku percaya dengan ucapannya. Harusnya tidak seperti itu, harusnya aku mengatakan bahwa dia harus berhenti, harusnya aku lebih berani.
Aku tidak pernah tahu bahwa pagi ini adalah awal dari segala mimpi burukku datang. Bukan hanya peraturan pertama, tapi aku membiarkan dia menghancurkan segala-galanya yang aku punya. Sepuluh peraturan hidupku tidak lagi berlaku setelah ia menerobos masuk dan menghancurkan dinding-dinding pembatas yang aku buat.
Ia berhasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Even if, Breakup
Teen FictionDi hari ke-14 nya bermain petak umpet bersama Nebula, Luna mendapati amplop baronial dengan penutup bunga kering diatasnya. Hari itu, tepat hari dimana Luna akan pergi kerumah Nebula untuk mengakui kekalahan. Untuk mengatakan kepada laki-laki itu...